"Santri seharusnya berperan besar bagi tegaknya sistem Islam dalam kehidupan, mengempaskan segala bentuk penjajahan pemikiran dan ideologi atas negeri ini, serta menjadi corong bagi tersuarakannya Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan yang layak diterapkan dan ditegakkan dalam sebuah institusi, Khilafah Islamiah."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.SSantri
(Redaktur Pelaksana NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-"Saat ini kita telah merdeka
Mari teruskan perjuangan ulama
Berperan aktif dengan dasar pancasila
Nusantara tanggung jawab kita"
Begitulah penggalan lirik lagu Hari Santri Nasional pada 22 Oktober kemarin. Menggelorakan semangat juang dan bakti kepada negara. Begitulah hakikatnya santri, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya orang yang mendalami agama Islam, orang yang beribadah sungguh-sungguh dan orang yang salih. Maka, sudah menjadi tugasnyalah membangun negara dengan segala potesi yang dimilikinya. Tentu saja hal tersebut sejalan dengan ajaran Islam yang agung yang memerintahkan untuk umatnya berjuang melakukan amal salih dalam kehidupan, termasuk menjadi penegak kebenaran di tengah umat.
Ya, jika dalam lirik lagu tersebut ada seruan untuk melanjutkan perjuangan para ulama, itu artinya santri diharapkan mampu menjadi corong-corong penyeru syariat Islam di tengah umat, serta pion-pion perubahan yang akan senantiasa menjadikan akidah Islamiah sebagai napas geraknya. Namun sayangnya, esensi peran santri tergerus ambisi sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan. Potensi kaum Santri dibajak demi penyelamatan ekonomi kapitalisme. Sebagaimana diberitakan oleh Viva.co.id (22-10-2021) bahwa pada peringatan hari Santri kemarin yang digelar secara virtual, Presiden Jokowi memberikan sambutan yang berisi harapannya agar lebih banyak bermunculan para wirausahawan dari kalangan santri untuk menggerakkan perekonomian yang inklusif. Dalam sambutannya juga,Presiden Jokowi mengulas terkait pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia yang kian merangkak naik. Beliau mengutip data dari The States of Global Islamic Economy Indicator Report yang menyebutkan bahwa peringkat ekonomi syariat pada tahun 2020, berada di peringkat ke-empat dunia. Dengan alasan itulah, pada akhirnya di momen hari Santri, pemerintah menggelorakan semangat santri untuk menghidupkan perekonomian
bangsa.
Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Abdul Halim Iskandar selaku Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), yang menyatakan bahwa kaum santri memiliki peran besar dalam menggerakkan ekonomi desa. Beliau juga mengungkapkan bahwa keberadaan pondok pesantren yang sebagian besar berada di tengah-tengah desa mempunyai arti penting secara spiritual, sosial, dan ekonomi bagi warga desa. (INews.id/22-10-2021)
Hakikat Peran Santri
Peringatan Hari Santri Nasional 2021 telah diperingati pada tanggal 22 Oktober lalu. Penetapan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 2015 sebagai bentuk pengingat seruan Resolusi Jihad Nahdatul Ulama (NU). Adapun, berdasarkan fakta sejarah, Resolusi Jihad muncul karena adanya semangat para santri untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Adalah KH. Hasyim Asy'ari tokoh ulama yang pertama kali menyerukan Resolusi Jihad tersebut, yang berarti perang suci (jihad). KH.Hasyim Asy'ari lah yang berinisiatif menggerakkan para santri untuk menolak datangnya kembali Belanda di Indonesia yang tergabung dalam NICA. Untuk hal tersebut beliau melakukan rapat konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura di Bubutan, Surabaya.
Dengan demikian, berdasarkan penelusuran akar tercetusnya Hari Santri Nasional, tentu saja tak bisa dilepaskan dengan semangat jihad para ulama. Adapun dalam kondisi saat ini, jihad dapat diimplementasikan dengan menolak segala bentuk pemikiran dan ideologi asing yang terus-menerus disusupkan ke negeri ini, sebab jihad fisik tentu saja tidak relevan, mengingat negeri ini tidak lagi dijajah secara fisik.
Kapitalisme-Sekularisme Musuh yang Nyata
Realitanya negeri ini masih dalam cengkeraman sistem kufur, kapitalisme liberalisme. Padahal sejatinya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa keharaman paham Sipilis, yakni sekularisme, pluralisme, liberalisme, dan komunisme pada Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2005 silam. Namun, paham tersebut nyatanya masih diadopsi oleh negeri ini.
Lihat saja dalam segala aspek kehidupan, aturan Islam dipinggirkan. Seolah Islam hanya boleh mengatur perkara individu saja, yakni terkait hubungan hamba dengan Tuhannya. Adapun dalam urusan publik, seperti politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, budaya, dan lain-lain aturan tak digunakan. Dalihnya, negeri ini bukan negara Islam. Begitulah, pada akhirnya hegemoni sistem kufur kapitalisme-liberalisme lah yang menguasai negeri ini.
Kapitalisme-Sekularisme Membawa Petaka
Di bawah naungan sistem kapitalisme sekularisme, karut marut di segala bidang pun tercipta. Tak hanya terpuruk secara ekonomi, melainkan juga sektor-sektor kehidupan lainnya. Betapa tidak, segala bentuk kebijakan terlahir dari akal manusia semata, bukan berdasarkan pada wahyu sang Maha Pencipta.
Dalam ekonomi, Indonesia di ambang resesi. Lebih-lebih sejak dihantam pandemi, ekonomi kian terpuruk, pengangguran meningkat, kemiskinan pun melonjak. Meski tanpa pandemi pun, sebetulnya negeri ini sudah sekarat. Terlilit utang luar negeri, yang bahkan bunganya saja tak kunjung terbayarkan. Begitulah, saat sistem ekonomi yang diadopsi adalah kapitalisme, menjadikan negeri ini terbelenggu pada nafsu para korporat. Menempatkan keuntungan materi di atas segalanya. Tak heran, jika segala aspek kehidupan diproyeksikan untuk mendulang profit. Implementasinya, layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan dijadikan komoditas bisnis. Padahal semua itu adalah kebutuhan dasar rakyat yang semestinya dijamin penuh oleh negara.
Atas nama penyelamatan ekonomi akhirnya berbagai kalangan dirangkul menjadi penggeraknya, termasuk para santri. Padahal jelas hal tersebut akan menggeser peran utama santri sebagai penerus perjuangan para ulama, sebagaimana terefleksi dalam Revolusi Jihad yang tidak dapat dilepaskan dari lahirnya Hari Santri Nasional. Dengan demikian, pembajakan potensi santri demi penyelamatan ekonomi selayaknya diwaspadai. Santri seharusnya berperan besar bagi tegaknya sistem Islam dalam kehidupan, mengempaskan segala bentuk penjajahan pemikiran dan ideologi atas negeri ini, serta menjadi corong bagi tersuarakannya Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan yang layak diterapkan dan ditegakkan dalam sebuah institusi, Khilafah Islamiah.
Ingatlah, bahwa hakikatnya tugas para santri bukan sekadar menghapal dan mempelajari Al-Qur'an, melainkan juga mengamalkannya dan mendakwahkannya. Adapun mengamalkannya tak hanya dalam lingkup individu, tetapi juga lingkup masyarakat dan negara. Jika saat ini, kondisinya negara berasaskan sekularisme, maka menjadi tugas santri dan seluruh kaum muslimin untuk berjuang mengembalikan kehidupan Islam demi terciptanya baldatun toyyibatun WA robbun gofur. Jadi, jangan sampai potensi santri terbajak ambisi kapitalisme, sehingga mengikis idealisme dan militansi perjuangannya untuk mengembalikan sistem Islam yang agung. Wallahu'alam bi shawwab.[]