"Jika sudah jelas bahwa khamar, minol, miras, atau apa pun namanya itu diharamkan, mengapa kita masih melegalkannya? Jika sudah tampak jelas keburukan yang diakibatkannya, mengapa kita menggunakannya untuk menarik wisatawan mancanegara? Padahal, pariwisata dapat dikembangkan tanpa bantuan minol."
Oleh. Mariyatul Qibtiyah, S.Pd.
NarasiPost.Com-"Sia-sia jika kita memegang omongan orang yang sedang jatuh cinta, mabuk, atau berkampanye." (Shirley MacLaine)
Pernyataan Shirley MacLaine itu cukup menarik. Bisa jadi, aktris berkebangsaan Amerika Serikat pemenang Academy Award for Best Actress tahun 1983 itu sering menyaksikan hal itu. Faktanya, orang yang sedang mabuk, akan kehilangan akal sehatnya. Sebab, saat seseorang mabuk, akalnya tidak lagi berfungsi dengan baik. Maka, omongannya menjadi ngelantur sehingga tidak dapat dipegang.
Hal itu terjadi karena kandungan etanol pada minol memang dapat memicu kerusakan otak. Akibatnya, penyaluran informasi pada saraf akan terlambat. Karena itu, pecandu alkohol akan mengalami gangguan perilaku, mood swings (perubahan suasana hati secara ekstrem) halusinasi, hilang ingatan, bahkan kejang. Meski dampak negatif yang ditimbulkannya cukup besar, masih banyak orang yang mengonsumsi minol. Mereka beralasan bahwa mengonsumsi minol membuat mereka merasa lebih relaks setelah bekerja seharian. Banyak juga yang mengonsumsinya karena menghilangkan stres akibat beban hidup yang berat, terlebih pada masa pandemi ini.
Berdasarkan hasil studi FKUI-RSCM, konsumsi minol di masa pandemi mengalami peningkatan. Sebanyak 25,7% responden mengaku mengonsumsi alkohol lebih banyak selama pandemi. Sebab, pandemi semakin menambah beratnya beban psikologis pada mereka.
Di negeri ini, minol termasuk komoditas yang dibatasi peredarannya. Ada batas minimal usia bagi yang mengonsumsi, yaitu 21 tahun. Kemudian, ada aturan terkait kandungan etanol pada minuman yang boleh beredar. Di samping itu, ada batasan jumlah impor.
Baru-baru ini Kemendag telah mengubah aturan terkait minol. Melalui Permendag Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan Pengaturan Impor, pemerintah menambah kuota minol yang boleh dibawa dari luar negeri. Peraturan baru tersebut, secara otomatis telah mengubah peraturan lama yang tertuang dalam Permendag Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 mengenai Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. (cnnindonesia.com, 08/11/2021)
Dalam aturan yang lama, masyarakat hanya diizinkan untuk membawa minol sebanyak 1 liter, sedangkan dalam peraturan yang baru, mereka diizinkan membawa 2,25 liter minol dari luar negeri. Aturan bagi penumpang dari luar negeri ini akan diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2022.
Pemerintah berharap, perubahan peraturan ini akan meningkatkan jumlah wisatawan dari luar negeri. Sebab, mereka yang fanatik dengan minol dapat membawanya sendiri saat berkunjung ke Indonesia. Tentu, kebijakan baru ini mengundang reaksi dari masyarakat. Salah satunya dari Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH. Muhammad Cholil Nafis. Beliau beranggapan bahwa penambahan kuota minol yang boleh dibawa masuk ke tanah air ini akan merugikan anak bangsa, mengurangi pendapatan negara, dan cenderung memihak kepada wisatawan asing.
Saat ini, banyak negara yang menggantungkan pendapatannya dari pariwisata, termasuk Indonesia. Sebab, negara-negara berkembang ini tidak memiliki penghasilan lain. Padahal, banyak sumber daya alam yang dimiliki.
Indonesia misalnya, mempunyai sumber daya alam yang sangat besar, baik berupa barang tambang, hutan, kekayaan laut, dan sebagainya. Sayangnya, sebagian besar tidak dikelola sendiri. Yang mengelola justru pihak swasta, baik swasta pribumi maupun asing. Negara hanya mendapatkan bagi hasil yang jumlahnya sangat sedikit.
Karena itulah, pemerintah berupaya untuk mencari pendapatan lain. Di samping menggenjot pajak, pemerintah berusaha untuk menaikkan devisa melalui pariwisata. Pada tahun 2018, Indonesia berhasil meraup devisa sebesar Rp229,5 triliun. Namun, keuntungan yang diperoleh tidaklah sepadan dengan kerugian yang dialami. Meskipun sudah mencanangkan program sustainable tourism (pariwisata yang berkelanjutan), fakta di lapangan belum mencerminkan hal itu.
Banyak kerusakan alam, budaya, bahkan moral pada masyarakat sebagai akibat dari pariwisata. Misalnya, rusaknya padang rumput Gililawa di Nusa Tenggara Timur akibat kebakaran yang diduga berasal dari puntung rokok. Rusaknya puncak Rinjani karena penumpukan sampah para pengunjung. Rusaknya kawasan hutan mangrove di Nusa Penida, Bali, rusaknya terumbu karang di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, dan lain-lain.
Dampak lain dari pariwisata adalah rusaknya moral masyarakat di sekitar tempat wisata. Wisatawan yang datang, terutama wisatawan asing, membawa pengaruh yang sangat besar. Kebebasan mereka dalam pergaulan, minum-minuman keras pun diadopsi oleh penduduk sekitar.
Pandemi yang terjadi telah menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Akibat pandemi, Indonesia diperkirakan kehilangan lebih dari Rp10 triliun pada tahun 2020 dari sektor pariwisata. Karena itulah, pemerintah berharap dapat menaikkan kembali devisa melalui pariwisata. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melonggarkan aturan terkait minol yang boleh dibawa oleh para wisatawan.
Dalam Islam, minol sangat jelas keharamannya. Ada banyak ayat maupun hadis yang menyatakan hal ini. Misalnya, dalam Al-Qur'an Surat al-Baqarah [2]: 219 disebutkan bahwa khamar (minuman keras) mengandung banyak mudarat dibandingkan manfaatnya. Bahkan, dalam Surat al-Maidah [5]: 90 Allah Swt. juga mengingatkan bahwa meminum khamar termasuk perbuatan setan. Karena itu, kita diperintahkan untuk menjauhinya.
Rasulullah saw. juga mengingatkan kita dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani. Dari Abdullah bin Amru bin 'Ash, Rasulullah saw. bersabda,
الْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَاىِٔثِ فَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ تُقْبَلْ صَلَاتُهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فَإِنْ مَاتَ وَهِيَ فِي بَطْنِهِ مَاتَ ميْتَةً جَاهِلِيَّةً
"Khamar adalah induk dari berbagai perbuatan keji. Maka, siapa saja yang meminumnya tidak diterima salatnya selama 40 hari. Jika ia mati, sedangkan terdapat khamar di dalam perutnya, maka matinya adalah mati jahiliah."
Pengharaman terhadap minol ini juga disertai dengan sanksi bagi pelakunya. Dalam kitabnya, Nidhaam al-'Uqubaat, Abdurrahman al-Maliki menyebutkan bahwa hukuman bagi para peminum khamar adalah hukuman cambuk sebanyak 40 atau 80 kali.
Jika sudah jelas bahwa khamar, minol, miras, atau apa pun namanya itu diharamkan, mengapa kita masih melegalkannya? Jika sudah tampak jelas keburukan yang diakibatkannya, mengapa kita menggunakannya untuk menarik wisatawan mancanegara? Padahal, pariwisata dapat dikembangkan tanpa bantuan minol.
Berwisata merupakan salah salah satu cara kita dalam mentadabburi alam. Melalui ayat-ayat kauniyah-Nya, kita akan semakin merasakan kebesaran Sang Pencipta. Dengan memperhatikan berbagai keindahan alam ciptaan-Nya, akan semakin kuatlah iman kita kepada-Nya. Semestinya, konsep inilah yang dijadikan sebagai landasan dalam mengembangkan destinasi wisata. Bukan sekadar mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Terlebih, keuntungan ekonomi bagi para pemilik modal.
Wallaahu a'lam bishshawaab.[]
Umat Islam seharusnya sadar betapa besarnya bahaya miras ini dan tidak bisa mengandalkan sistem demokrasi Kapitalisme yang hanya memikirkan keuntungan materi tanpa memperdulikan hukum Allah