"Lemahnya hukum ditambah dengan cengkeraman sistem kapitalisme yang begitu kuat di negeri ini menjadi angin segar dan lahan subur bagi para mafia karantina untuk terus melancarkan aksinya. Mereka tidak merasa bersalah ataupun jera terhadap tindakan yang dilakukannya."
Oleh. Neneng Sri Wahyuningsih
"NarasiPost.Com-Untung itu penting, berkah lebih penting", (Dewa Eka Prayoga).
Setiap orang yang melakukan bisnis baik itu berupa barang maupun jasa, pastilah tujuan utamanya adalah meraih keuntungan. Hanya saja, untung bukanlah segala-galanya. Terlebih kita sebagai seorang muslim. Ada yang lebih penting dari sebatas mengeruk keuntungan, yakni keberkahan dari Sang Pencipta. Tanpanya, bisnis menjadi sia-sia meski harta berlimpah.
Jamak diketahui, saat ini seluruh dunia dilanda badai pandemi. Berbagai aturan protokol kesehatan pun dibuat guna menekan laju penambahan kasus. Sayangnya, demi meraup keuntungan pribadi, jasa ilegal dilakoni. Tak segan-segan aturan yang telah dibuat pun berani dilanggar dan tak peduli apakah tindakannya tersebut akan menimbulkan bahaya bagi negeri ini ataupun tidak.
Viral di media sosial kasus mangkirnya seorang selebgram berinisial RV dari kewajiban karantina. Seharusnya sekembalinya dari New York, ia menjalani masa karantina selama delapan hari. Akan tetapi, ia hanya melewatinya tiga hari saja. Tentu ia bisa lolos karena ada oknum yang membantunya (Kompas.com, 18/10/2021).
Mengungkap Mafia Karantina
Mengacu pada SE Nomor 18 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional pada Masa Pandemi Covid-19, setiap orang, baik itu WNI maupun WNA yang masuk ke negeri ini, harus menjalani karantina terlebih dahulu. Adapun, masa karantina awalnya berlangsung selama lima hari. Kemudian berganti regulasi jadi delapan hari. Kini, kembali ke regulasi awal dengan karantina selama lima hari.
Ironisnya dalam kesempatan ini, ada saja yang mengambil peluang bisnis, sebut saja mafia karantina. Mereka melancarkan aksinya untuk 'membantu' pendatang dari luar negeri agar bebas dari keharusan karantina. Pendatang tinggal menyodorkan segepok uang, akhirnya bisa bebas menerobos aturan yang telah ditetapkan dan langsung melanjutkan perjalanannya di negeri ini.
Kasus mafia karantina bukanlah kasus baru. Tertangkapnya selebgram yang memiliki pengikut sekitar 6,8 juta orang ini, telah menambah daftar orang yang berhasil bebas karantina sepulangnya dari luar negeri. Sebelumnya kasus serupa terjadi pada bulan April. Saat itu ada WNI yang baru pulang dari India, dengan menyogok sebesar Rp6,5 juta akhirnya bebas dari karantina. Masih di bulan yang sama, terdapat lima WN India yang lolos dari kewajiban karantina (Kompas.com, 29/4/2021).
Kejadian yang sama pun terulang lagi di bulan Agustus. Sebanyak 14 tersangka yang terdiri dari 7 orang WN India dan 7 orang WNI, terlibat kasus penyelundupan WNA agar terbebas dari karantina (Liputan6.com, 31/8/2021). Ini baru kasus-kasus yang tertangkap media, mungkin saja di luar sana ada kasus serupa tapi tidak terungkap media.
Jika kondisi tersebut dibiarkan, maka akan berdampak buruk dan menambah panjang masa pandemi di negeri ini. Bisa dimungkinkan tsunami gelombang ketiga pun terjadi. Senada dengan yang disampaikan Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono bahwa adanya mafia karantina di bandara ini akan berakibat fatal terhadap penularan virus Covid-19 di Indonesia (Kompas.com, 29/4/2021).
Butuh Hukuman yang Tegas
Mendapati kasus tersebut, beberapa pihak menuntut ditegakkan hukum yang tegas. Pasalnya, di dalam negeri sudah berusaha menaati protokol kesehatan dengan baik. Namun, dalam waktu bersamaan hadir oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan memicu kembali bertambahnya jumlah kasus Covid-19 di negeri ini.
Sayangnya lagi, hukum yang berlaku untuk menindak kasus tersebut lemah. Betapa tidak, berdasarkan UU kekarantinaan kesehatan, hukuman penjara hanya 1 tahun. Dikarenakan masa tahanan di bawah 5 tahun, maka pihak kepolisian pun akhirnya membebaskan mereka.
Padahal menurut pakar hukum pidana, Asep Iwan Iriawan, seharusnya para pelaku ini dikenai pasal berlapis. Di antaranya bisa dijerat lewat UU Keimigrasian, Pasal KUHP terkait penipuan, atau bisa juga terkait penyuapan kalau statusnya penyelenggara negara. Jika hanya dijerat dengan UU Kekarantinaan Kesehatan saja yang hukumannya di bawah 5 tahun penjara, tentu tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkannya (Kompas.com, 29/4/2021).
Coba bayangkan, seandainya yang mereka loloskan ini ternyata positif corona serta membawa varian baru. Maka akan mengguncang negeri dan menimbulkan klaster baru. Tentu kondisi yang demikian sangat berbahaya dan mengancam bangsa ini, bukan?
Sistem Kapitalisme Suburkan Mafia Karantina
Miris. Para oknum ini meraup keuntungan untuk kepentingan pribadinya. Mereka acuh dan bertindak seenaknya. Tanpa berpikir, adakah dampak yang ditimbulkan atas keegoisannya tersebut?
Ketidakpedulian ini tentu tidak bisa dilepaskan dari paradigma berpikir yang diadopsi bangsa ini, yakni sistem kapitalisme. Dalam sistem tersebut, segala sesuatu dinilai dengan materi. Pun dalam berbisnis tujuannya semata-mata hanya untuk meraih materi. Oleh karena itu, berbisnis apa pun dibolehkan, asal mendatangkan keuntungan. Maka tidak heran, jika akhirnya mereka menghalalkan segala cara. Tidak memperhatikan kondisi pandemi yang tengah mencekam di negeri ini. Bahkan aturan yang telah dibuat pun ditabrak demi tercapainya tujuan untuk mendapatkan materi atau kesenangan pribadi.
Lemahnya hukum ditambah dengan cengkeraman sistem kapitalisme yang begitu kuat di negeri ini menjadi angin segar dan lahan subur bagi para mafia karantina untuk terus melancarkan aksinya. Mereka tidak merasa bersalah ataupun jera terhadap tindakan yang dilakukannya.
Bisnis Berkah Sesuai Syariah
Sebagai seorang muslim, hendaknya setiap perbuatan yang dilakukan hanya untuk mendapatkan rida Allah, termasuk dalam hal bisnis. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhori, Rasulullah saw. telah menegaskan bahwa, "Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa roddun”, yang bermakna barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak didasari perintahku maka amalan itu ditolak.
Begitu pun firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 29, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu".
Pakar Ekonomi Islam, Dr. Dwi Condro Triono menjelaskan bahwa makna dari ayat di atas adalah syarat pertama dalam bisnis itu harus sesuai syariat-Nya, jika tidak maka aktivitas tersebut batil. Sedangkan syarat kedua yakni adanya dasar suka sama suka antara penjual dan pembeli. Dalam praktiknya, syarat pertama ini harus dipenuhi terlebih dahulu. Jika tidak, maka syarat kedua tidak berlaku dan akhirnya aktivitas tersebut termasuk batil.
Ya, dalam Islam, perihal bisnis tidak hanya berbicara tentang untung dan rugi saja tetapi juga dunia dan akhirat. Ketika menjalankan bisnis tidak sesuai syariat-Nya, maka konsekuensinya akan berat. Harta yang diperoleh di dunia tidak akan berkah, pun pelakunya mendapatkan dosa dan kelak di akhirat akan mendapatkan balasannya.
Berangkat dari prinsip tersebut, maka seorang muslim yang terjun di dunia bisnis tidak akan menghalalkan segala cara hanya demi meraup keuntungan. Apalagi jika caranya itu ternyata bisa menghantarkan bahaya bagi orang lain, pasti dihindari. Mereka memahami bahwa kesehatan jiwa dan keselamatan manusia jauh lebih berharga dibandingkan yang lain.
Dengan demikian, segala bentuk bisnis yang akan membahayakan nyawa seseorang akan dihindari, dilarang oleh negara dan ketika ada yang melanggarnya, maka diberikan sanksi yang tegas agar mereka jera dan tidak mengulanginya lagi. Hukuman tegas pun mampu mencegah orang lain untuk tidak melakukan tindakan yang sama. Pelaksanaan bisnis penuh berkah karena sesuai syariat ini tentu akan berjalan sempurna ketika ada sistem yang menaunginya, yakni Daulah Khilafah Islamiyah yang sesuai metode kenabian.
Wallahu a'lam bishshowab[]