Kapitalisme Suburkan Miras, Akal Kian Tak Waras

Di negeri mayoritas muslim ini, miras seakan tak pernah menjadi barang haram. Jika sudah mendapat izin produksi dan edar, maka boleh dikonsumsi. Hanya miras oplosan yang diburu dan dianggap berbahaya oleh pemerintah. Wajar saja kapitalisme menyuburkan miras, sekularisme alias pemisahan agama dari kehidupan menjadi tameng kuat. Sehingga, halal-haram tak dijadikan pondasi aturan, tapi keuntungan materilah yang terus memebelenggu penguasa negeri. Miras dianggap sebagai komoditas ekonomi.

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-"Minuman keras (miras)
Apa pun namamu
Tak akan kureguk lagi
Dan tak akan kuminum lagi
Walau setetes (setetes)"

Penggalan lirik lagu Bang Haji Rhoma Irama ini sudah hits di tahu 90-an. Amanat lagu ini jelas mengajak siapa pun untuk meninggalkan miras. Sayang sejuta sayang, ajakan kebaikan menghilang di antara rimbunnya kebijakan.

Aturan miras terus bergulir deras. Setelah kontroversi UU Omnibus Law tentang pelonggaran miras mereda, kini muncul lagi isu baru. Kementerian Perdagangan (Kemendag) menambah kuota masyarakat untuk membawa miras dari luar negeri untuk konsumsi secara pribadi yang awalnya boleh membawa 1 liter menjadi 2.250 mililiter atau 2,25 liter per orang. Tambahan kuota ini termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan Pengaturan Impor. (CNNIndonesia.com, 8/11/2021).

Negeri dengan mayoritas penduduk muslim kembali terbelalak. Jelas miras adalah minuman yang nirmanfaat, justru merusak akal sehat. Masih dari laman CNNIndonesia.com, Muhammad Cholil Nafis selaku Ketua Bidang Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak Kemendag untuk membatalkan aturan penambahan minuman beralkohol (minol) alias miras. Lebih jauh, beliau menilai bahwa Permendag ini cenderung memihak wisatawan asing, merugikan anak bangsa, dan pendapatan negara.

Akar Masalah Miras

Miras tumbuh subur bak jamur terguyur hujan. Mayoritas penduduk muslim tak jadi jaminan masyarakat terhindar dari peredaran miras. Apalagi, pelonggaran dan pelegalan miras didukung pemangku kebijakan. Seakan tak habis ide pemerintah untuk melonggarkan dan melegalkan miras agar tetap diproduksi, diedarkan, dan dikomersilkan. Sontak, masyarakat merasa santai mengonsumsi miras yang telah melewati proses perizinan.

Jika Permendag Nomor 20 Tahun 2021 ini tak dibatalkan, tentu akan menjadi jalan tol bagi penikmat dan pebisnis miras. Namun, inilah watak kapitalisme. Meski miras banyak mendatangkan bencana dan ketidakwarasan peminumnya, tetap dijadikan lahan basah untuk bisnis. Selain faktor kebeasan yang digaungkan, asas manfaat begitu melekat pada negeri yang menerapkan sistem kapitalisme ini.

Di negeri mayoritas muslim ini, miras seakan tak pernah menjadi barang haram. Jika sudah mendapat izin produksi dan edar, maka boleh dikonsumsi. Hanya miras oplosan yang diburu dan dianggap berbahaya oleh pemerintah. Wajar saja kapitalisme menyuburkan miras, sekularisme alias pemisahan agama dari kehidupan menjadi tameng kuat. Sehingga, halal-haram tak dijadikan pondasi aturan, tapi keuntungan materilah yang terus memebelenggu penguasa negeri. Miras dianggap sebagai komoditas ekonomi.

Miras Induk Kejahatan

Tak ada yang mengelak bahwa miras adalah biangnya kejahatan. Saat miras menjadi candu dan dianggap kebutuhan, maka fungsi akal akan berkurang, bahkan akan menggiring pemiliknya pada ranah tidak waras. Konsumsi miras bisa mengakibatkan berbagai kerusakan dan kejahatan.

Fakta miras sebagi induk kejahatan sangatlah banyak di negeri ini. Kriminalitas terus meningkat di Papua karena dipicu miras. Begitupun di Sulawesi Utara, ada 70% kriminalitas dipicu miras pada tahun 2011. Kasus lainnya, saat seorang oknum aparat dalam keadaan mabuk, ia menembak empat orang, satu selamat dan tiga orang meninggal, salah satunya anggota TNI. (Kompas.com, 26/2/2021)

Miras sungguh merusak siapa pun yang bergelut dengannya, terutama peminumnya. Kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya pada personal peminumnya saja, namun juga sangat berpotensi merusak orang lain. Mereka yang akalnya tak waras karena miras berpotensi melakukan berbagai kejahatan, bermusuhan dengan keluarganya, berzina, membunuh, mencuri, dan lainnya. Pantas saja Baginda Nabi saw. menyebut miras (khamr) sebagai ummul khabaits (induk dari segala induk kejahatan). Sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani berikut:

اَلْخَمْرُ أُمُّ الْفَوَاحِشِ، وَأَكْبَرُ الْكَبَائِرِ، مَنْ شَرِبَهَا وَقَعَ عَلَى أُمِّهِ، وَخَالَتِهِ، وَعَمَّتِهِ

"Khamr adalah induk kejahatan dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminumnya (khamr) bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari bapaknya."

Islam Tegas Mengharamkan Miras

Islam menjaga akal umat manusia. Oleh karenanya, Islam tegas mengharamkan miras. Tak ada perdebatan di kalangan jumhur ulama bahwa miras adalah haram. Allah Swt. berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 90 berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Hai orang-orang beriman, sungguh meminum khamr (miras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah termasuk perbuatan setan. Karena itu, jauhilah semua itu agar kalian memperoleh keuntungan."

Keharaman khamr (miras) ini juga termaktub dalam Hadis Nabi Muhammad saw. yang diriwiyatkan Imam At-Tirmidzi:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِى اْلخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا وَ مُعْتَصِرَهَا وَ شَارِبَهَا وَ حَامِلَهَا وَ اْلمَحْمُوْلَةَ اِلَيْهِ وَ سَاقِيَهَا وَ بَائِعَهَا وَ آكِلَ ثَمَنِهَا
وَ اْلمُشْتَرِيَ لَهَا وَ اْلمُشْتَرَاةَ لَ
هُ

"Rasulullah saw. telah melaknat khamr dalam 10 golongan: pemerasnya, yang minta diperaskan, peminumnya, pengantarnya, yang meminta diantarkan, penuangnya, penjualnya, yang menikmati harganya, penjualnya, pembelinya, dan yang minta dibelikan."

Apa pun jenis mirasnya, dalam pandangan Islam tetap haram. Bagi peminum miras akan ada sanksi tegas berupa hudud, yakni di cambuk 40 kali atau 80 kali (Abdurrahman Al-Maliki, Nidzamul 'Uqubat). Sedangkan sanksi bagi pihak yang tidak meminum miras berupa ta'zir. Bentuk dan kadar sanksinya diserahkan pada khalifah atau qadhi sesuai syariat. Namun, bagi produsen sebaiknya mendapat sanksi lebih berat dari peminum miras. Sebab, produsen membuat kerusakan dan mendatangkan kemudharatan lebih besar lagi.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Moderasi Beragama: Buah Persekongkolan Devide et Impera dan Liberalisme
Next
Episentrum Penyebaran Corona Berpindah, Akankah Indonesia Waspada?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram