Hukuman Mati bagi Koruptor, Jargon Jantan Retorika Tanpa Bukti

"Hukuman mati bagi koruptor, agaknya masih jauh untuk diterapkan di Indonesia. Bahkan, jika memandang memori penegakan hukum bagi korupsi di Indonesia, maka hukuman mati hanyalah sekadar teori."

Oleh. Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Semua orang pastilah setuju, bahwa korupsi merupakan musuh bersama. Masalahnya di negara ini, korupsi bagai penjual gorengan di pinggir jalan, mengular sepanjang jalan. Parahnya kebijakan yang diambil justru terkesan pro korupsi. Namun, tak lama ini, jargon hukuman mati bagi koruptor mencuat di tengah-tengah masyarakat. Benarkah jargon ini bisa dipertanggungjawabkan ataukah hanya sekadar retorika tanpa bukti?

Mencuatnya jargon hukuman mati bagi koruptor ramai setelah Jaksa Agung ST. Burhanuddin memberi pernyataan bahwa pihaknya sedang mengkaji hukuman mati bagi koruptor. Pernyataan ini seia sekata dengan pidato Presiden Joko Widodo ketika menyambangi pentas drama bertajuk ‘Prestasi tanpa Korupsi’ pada 9/12/2019 lalu. Jargon jantan, seakan hendak menindak tegas para tikus berdasi. Padahal, tak perlu mengkaji lebih dalam, Indonesia telah mempunyai UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) yang mengatur tentang hukuman mati bagi koruptor.

Namun, mungkin pejabat tersebut lupa hingga tak pernah menjadikan hukuman mati sebagai pilihan ketika dana bansos corona dipangkas di tangan Juliari Batubara. Sebab, menurut UU Nomor 20 Tahun 2001, hukuman mati diambil ketika melakukan korupsi saat negara dalam keadaan genting atau terkena musibah. Inilah retorika pemberantasan korupsi, alih-alih memperkuat lembaga penindak korupsi, kini Komisi Pemberantasan Korupsi malah kian terdegradasi.

Korupsi Membudaya

Masyarakat Indonesia yang masih kental dengan ewuh-pakewuh, atau rasa sungkan dan ingin membalas budi, terkadang menjadi bumerang. Satu sisi ingin berterima kasih ketika sudah dibantu dalam penyelesaian administrasi, sisi lain rasa terima kasih dengan salam tempel maupun bingkisan menjadi titik tolak dalam tindak suap dan korupsi.

Maka tak heran, korupsi dan suap akan ditemui dalam skala terkecil pemerintahan di desa, hingga skala pemerintahan pusat. Bahkan seakan budaya turunan leluhur, tak pernah benar-benar dihilangkan meski telah terbentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab lain suburnya korupsi adalah minimnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah. Juga gaji yang dinilai kurang untuk memenuhi kebutuhan dan gaya hidup menjadi salah satu alasan tindak korupsi dilakukan.

KPK Termarginalkan

Parahnya, kekuasaan KPK terus termarginalkan dengan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah terkait pemberantasan korupsi. Mulai dari pelemahan KPK dengan merevisi UU nomor 30 Tahun 1999, diganti dengan UU Nomor 19 Tahun 2019. Dalam undang-undang tersebut, status pegawai KPK beralih menjadi ASN, yang artinya lembaga KPK tak lagi berstatus independen. Hal ini mempengaruhi secara langsung kinerja KPK dalam memberantas korupsi di tengah pejabat negara.

Lagi, indikasi marginalisasi KPK terbukti dari adanya TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) yang berakhir dengan pemecatan 51 anggota KPK yang diakui kredibilitas dan keuletannya dalam menyelami kasus korupsi di Indonesia. Maka wajar, jika Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia semakin merosot sejak tahun 2019. Berakhir dengan mendekamnya Indonesia dalam urutan 102 dari 180 negara.

Sistem Kapitalis Suburkan Korupsi, Hukuman Mati Hanyalah Teori

Hukuman mati bagi koruptor, agaknya masih jauh untuk diterapkan di Indonesia. Bahkan, jika memandang memori penegakan hukum bagi korupsi di Indonesia, maka hukuman mati hanyalah sekadar teori. Kasus Pinangki Mirna Malasari cukup menjadi bukti, bahwa kejaksaan terkesan tebang pilih ketika menindak anggotanya sendiri.

Belum lagi banyaknya remisi yang diterima para koruptor seakan menguatkan bahwa negeri ini menjadi surga bagi mereka. Para koruptor mestinya ditindak tegas, karena kerugian yang dibawa tak hanya bagi negara, tapi juga bagi masyarakat umum.

Nyatanya dalam sistem kapitalisme, sekularisme begitu kental menyentuh sendi-sendi kenegaraan. Agama yang harusnya berfungsi sebagai kontrol, malah ditinggalkan dan ditempatkan pada wilayah peribadatan dan pernikahan saja. Otomatis, nafsu bagaikan rem blong, tak bisa dikontrol. Akhirnya, korupsi tumbuh subur layaknya rumput di tengah padang.

Islam Hapus Korupsi

Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (TQS. Al-Anfal ayat 27)

Amanah yang dimandatkan pada para pemangku jabatan, dengan sumpah mengambil Al-Qur’an sebagai timbangan, menjadi formalitas tanpa arti. Sebab, kebijakan yang diambil adalah kebijakan berorientasi kapitalis. Apalagi banyak rekayasa data yang bisa diotak-atik, sehingga besaran biaya yang dikeluarkan negara tak sejalan dengan kualitas yang diberikan. Lantas bagaimana Islam mengatur agar korupsi tidak tumbuh subur dalam sistemnya?

Syariat Islam yang diterapkan dalam sebuah institusi bernama Khilafah, mempunyai beberapa mekanisme agar para pejabatnya jauh dari korupsi. Pertama, Islam menjaga akidah dan keimanan individu muslim. Diperoleh baik dari pendidikan keluarga, pendidikan formal, maupun lingkungan yang kondusif, hingga ia selalu merasa diawasi oleh Allah dalam setiap aktivitasnya. Ia juga sadar bahwa secuil amalnya akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Hal ini menjadi pencegah bagi setiap individu untuk melakukan maksiat. Kedua, Islam mengharamkan rasywah atau suap terjadi pada pejabatnya. Jika ditemukan adanya harta yang berlebih tanpa jelas sumbernya, maka ia akan diselidiki dan ditindak sesuai dengan beratnya kasus.

Tiga, gaji yang sepadan dan pemenuhan kebutuhan hidup. Salah satu alasan koruptor mengambil uang rakyat adalah gaji yang tak sepadan dengan kerja, atau kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi. Negara Islam akan selalu hadir untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Terkadang tiga hal ini yang menjadi sumber habisnya harta di alam kapitalisme. Namun, ketika tiga hal tersebut menjadi tanggungan negara, rakyat hanya perlu memikirkan sandang, pangan dan papan yang tentunya juga mudah didapat dan terjangkau bagi seluruh rakyat Khilafah.

Keempat, hukuman yang setimpal. Ketika tiga mekanisme tak bisa menjadi penghalang, maka sanksi menjadi jalan terakhir yang diharapkan mampu membuat jera para pelaku korupsi. Sanksi akan diberikan sesuai besaran dan beratnya korupsi yang dilakukan. Sanksi ini akan diputuskan oleh kadi dan Khilafah. Demikianlah, mekanisme Islam dalam mencegah dan memberantas korupsi dalam ketatanegaraannya. Dengan empat mekanisme yang dilakukan, insyaallah para pejabat mempunyai rasa tanggung jawab dan kejujuran yang menjadi modal bagi mereka untuk menjalankan amanah yang diberikan. Allahu a’lam bish showwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Dia Dwi Arista Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Kisah Penjual Rebung Mengubah Hidupku
Next
Baitul Hikmah, Mercusuar Ilmu Pengetahuan Dunia di Era Khilafah Abbasiyah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

3 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram