"Pengelolaan dengan sistem kapitalisme inilah yang menciptakan petaka abadi bagi aset-aset negara seperti BUMN. Ketidakcakapan pengelola, tidak adanya pengawasan, dan manajemen kapitalistik mendorong ambruknya aset negara. Imbasnya tentu akan menyentuh lapisan terbawah pada masyarakat."
Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Negara mempunyai banyak badan usaha yang ada di bawah kendali pemerintah. Kebijakan kapitalistik diambil untuk mengurus berbagai badan usaha ini. Namun, tak semua badan usaha asuhan negara mengucurkan keuntungan, sebagian dari badan usaha tersebut malah membuat negara bagai kerja bakti. Suntikan dana yang selalu diberikan ternyata tak sebanding dengan pemasukan yang didapat negara. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo merasa 'penat' selalu merogoh kocek guna menambal kehidupan para BUMN sakit tersebut. Akhirnya keputusan pembubaran diambil sebagai jalan keluar. (cnnindonesia.com, 19/10/2021). Lantas, apa yang salah dalam pengelolaan badan usaha ini hingga terus merugi?
BUMN dan Tujuan Pendirian
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), merupakan perusahaan yang kepemilikannya dikuasai oleh negara. Baik seluruhnya, maupun sebagian. Adapun tujuan pendirian BUMN secara umum menurut laman kompas.com (05/05/2021), adalah untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.
Sedangkan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, menjelaskan tujuan didirikannya BUMN adalah pertama, secara khusus memberi sumbangan pada pendapatan negara, secara umum bermaksud memberi sumbangan untuk perekonomian nasional. Kedua, mengejar keuntungan. Ketiga, menyediakan layanan umum berupa barang dan jasa dengan mutu tinggi bagi masyarakat. Keempat, perintis berbagai kegiatan usaha yang belum tersentuh oleh swasta dan koperasi. Kelima, turut andil membimbing dan membantu pengusaha kecil, koperasi, dan masyarakat. Keenam, BUMN menjadi penyelenggara perekonomian nasional untuk menciptakan kesejahteraan sebagaimana yang disebutkan oleh UUD 1945.
Faktor Pendorong Kerugian BUMN
BUMN yang dimiliki negara ternyata tak selamanya bisa memonopoli berbagai jenis perekonomian dalam negeri. Banyak BUMN yang kerap dikucuri dana oleh pemerintah namun sepak terjangnya malah kian melemah. Hingga tujuan negara dalam meraup keuntungan, malah berbalik merugi. Bahkan tak hanya sekali suntikan dana dilakukan, namun hasil masih tetap sama, yang akhirnya membuat pemerintah merasa jengah untuk terus menghidupi para BUMN yang sakit ini.
Jika dilihat dari dekat, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kerugian dari BUMN. Diambil dari laman kompas.com (23/01/2015), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menyebutkan faktor-faktor penyebab kerugian BUMN, antara lain adalah investasi sia-sia. Miss invest berdampak pada beratnya pengeluaran yang tak sebanding dengan pemasukan. Hal lain, yakni telatnya pembayaran PSO (Public Service Obligation) oleh pemerintah, juga disinyalir sebagai alasan kerugian berbagai BUMN. Ketika PSO tidak dibayarkan maka akan membebani BUMN yang ada, hingga kerugian tak terhindarkan.
Begitupula yang diwartakan oleh laman m.rri.co.id (04/12/2019). Pengamat Ekonomi, Jhon Palinggi mengatakan jika kerugian BUMN disebabkan adanya niat jahat dari orang yang mengurus perusahaan tersebut. Selain itu, ia juga mengatakan ruginya BUMN disebabkan kurangnya pengawasan dari Menteri BUMN.
Ia menjelaskan lebih lanjut, bahwa kerugian sebagian BUMN karena kecerdikan pengelola dalam merekayasa laporan keuangan, ditambah dengan minimnya kontrol, menjadikan PMN (Penyertaan Modal Negara) dan subsidi dari pemerintah yang selalu dikucurkan, ambruk. Sedangkan partisipasi parpol juga memperparah anjloknya pendapatan BUMN.
Masih pada laman yang sama, Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengungkapkan jika regulasi yang tidak optimal dan salah kelola menjadi penyebab meruginya perusahaan milik negara yang mendapat kucuran dana PMN tersebut.
Faktor-faktor diataslah yang menjadi pandangan para pakar sebagai pelaku utama dalam kerugian sebagian BUMN negara. Namun, apakah faktor tersebut adalah alasan utama meruginya BUMN, atau justru faktor diatas adalah imbas dari diterapkannya manajemen kapitalistik dalam pengelolaan perusahaan negara?
Manajemen Kapitalistik
Penggunaan kapitalisme dalam kebijakan-kebijakan negara, tak ayal juga berpengaruh pada kebijakan ekonomi. Ekonomi Indonesia diatur dengan karakter khas kapitalistik. Begitu pula dengan manajemen BUMN. Hal ini bisa ditilik dari UU Nomor 19 Tahun 2003 pada pasal 2, ayat 1, huruf a dan b, yang menyebutkan jika pendirian BUMN bertujuan untuk memberi keuntungan pada penerimaan negara dan mencari keuntungan.
Menurut Agus Trihatmoko, pengajar hukum ekonomi Universitas Surakarta, mengatakan bahwa terdapat penyimpangan pelaksanaan UU nomor 19 Tahun 2003. Hingga pelaksanaan ekonomi cenderung bersifat kapitalistik, liberalistik, dan cenderung ke neo-liberalisme. (hukumonline.com, 18/05/2018).
Agus Trihatmoko juga mengungkapkan bahwa BUMN cenderung mengutamakan orientasi keuntungan dengan pemodalan kapitalistik yang bertentangan dengan sifat kepemilikan publik. Peran BUMN juga kian jauh dari kesertaan masyarakat dalam pengelolaannya. Hingga pemerintah terlihat sebagai kelompok penguasa bisnis dalam sistem kapitalisme, tanpa adanya partisipasi rakyat. Akhirnya frasa 'mengejar keuntungan' hanya akan dipusatkan pada keuangan pemerintah saja, bukan sebagai keuntungan yang dapat dinikmati bersama.
Begitu pula dengan pengaturan BUMN yang dapat diprivatisasi, menunjukkan bahwa aset negeri ini sudah banyak dikendalikan oleh swasta, yang tentu rakyat, sebagai pemilik sahnya tidak akan mendapat keuntungan dari BUMN tersebut. Kekayaan yang mengalir, hanya bermuara di tengah para elite penguasa dan pengusaha. Maka tak heran jika masyarakat Indonesia masih berada dalam kemiskinan struktural, sebagai akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis.
Pengelolaan dengan sistem inilah yang menciptakan petaka abadi bagi aset-aset negara seperti BUMN. Ketidakcakapan pengelola, tidak adanya pengawasan, dan manajemen kapitalistik mendorong ambruknya aset negara. Imbasnya tentu akan menyentuh lapisan terbawah pada masyarakat. Sebab tujuan BUMN sejatinya adalah memenuhi kebutuhan masyarakat luas, namun ketika sudah masuk pada pusaran kapitalis, kecil kemungkinannya masyarakat mendapat seteguk keuntungan.
Pendapatan negara akan berkurang jika swasta sudah menguasai sebagian besar BUMN. Akibatnya, negara akan mencari sumber pemasukan lain dengan cara utang dan menaikkan pajak, hingga menaikkan harga barang produksi sebagaimana yang terjadi saat ini.
Pengurusan Aset Negara dalam Islam
Disebutkan dalam kitab ‘An-Nizham Al-Iqtishady fi Al-Islam’ karangan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, bahwa kepemilikan dibagi menjadi tiga, kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Mengenai aset negara dan sumber daya alam maka masuk pada lingkup kepemilikan umum. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Ahmad, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu, padang rumput, air dan api.”
Ketiganya merupakan hal yang dibutuhkan oleh khalayak. Maka hasil dari pengelolaannya harus dikembalikan kepada masyarakat. Negara hanya bertugas untuk mengelola dan mengatur distribusi kekayaan tersebut secara merata, dalam bentuk yang paling dibutuhkan oleh rakyat, semisal jalan tol, rumah sakit, sekolah, listrik, hingga minyak tanah atau bensin.
Tersebab kepemilikannya yang bersifat umum, maka haram hukumnya dikelola oleh individu atau swasta. Pengelolaan harta umum oleh individ atau swasta hanya terjadi pada sistem kapitalisme. Islam sendiri akan mengatur semua harta kepimilikan dengan tujuan menyejahterakan rakyat, bukan menyokong peningkatan kekayaan bagi individu maupun swasta.
Dengan pelaksanaan aturan ketiga kepemilikan ini, negara akan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Sebab, kebutuhan pokok rakyat yang berupa sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan dan pendidikan akan terpenuhi. Negara yang menerapkan aturan kepemilikan ini disebut Khilafah, yang menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya hukum yang diterapkan dalam negara.
Khatimah
Pengelolaan aset negara dengan manjemen kapitalistik cenderung merugikan rakyat, sebab sifat kapitalis adalah mengutamakan kesejahteraan pemilik modal bukan rakyat. sehingga ketika BUMN dengan manajemen kapitalistik merugi, negara akan dengan mudah meninggalkan aset tersebut, daripada membenahi secara total, bukan hanya mengucuri dana dan lepas tangan. Ujung-ujungnya pemenuhan kebutuhan rakyat didapat dari membuka saluran impor. Sebab aset negara ini adalah aset yang dibutuhkan oleh masyarakat luas, begitu pula status kepemilikannya adalah milik rakyat. Maka, negara tidak berhak untuk membubarkan bahkan menjual aset-aset tersebut. Allahu a’lam bis-showwab.[]