Algoritma Kurasi, Globalisasi, dan Moderasi di Era Post-Truth

"Dengan kepribadian Islami, seorang muslim akan mampu membedakan mana yang benar dan salah, baik itu di mata Allah Swt. maupun di mata sesama manusia; dapat berlaku adil kepada orang lain; hingga tidak mudah terjerumus pada hoaks dan informasi yang menyesatkan karena Islam mengajarkan tabayyun atau klarifikasi berita yang didapatkan."

Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
( Kontributor Tetap NarasiPost.com
)

NarasiPost.Com-Dari masa ke masa, perkembangan dunia seakan tak ada ujungnya. Apa yang terdengar utopis satu dekade yang lalu, justru menjadi hal yang mungkin tidak bisa dihindari saat ini. Komputer yang dahulu membutuhkan ruang sebesar kamar tidur, kini bahkan bisa dijinjing dan dibawa ke mana pun. Berita yang dulu membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan untuk tersebar, kini hanya perlu hitungan detik, maka apa yang terjadi di sisi barat dunia sudah dapat diketahui oleh manusia di sisi timur dunia.

Perkembangan teknologi yang demikian adalah dampak langsung dari fenomena globalisasi yang melingkupi dunia hari ini. Meskipun bertajuk “globalisasi” yang bermakna sangat luas, namun pada faktanya dunia menjadi semakin sempit, batas-batas yang semula ditetapkan oleh manusia kini bisa diterobos oleh kecepatan internet. Sayangnya, masifnya perkembangan teknologi dalam agenda globalisasi ini berjalan di bawah payung sekularisme, yang saat ini memang dominan menjadi ideologi yang dipegang oleh banyak negara di dunia.

Selain itu, kehidupan hari ini juga disebut berada di era post-truth. Post-truth atau dikenal dengan istilah era pascakebenaran memiliki beberapa karakter, seperti samarnya informasi yang benar dan yang salah; serta objektivitas fakta dapat digeser oleh emosi dan perasaan seseorang. Bahkan, Ralph Keyes dalam bukunya yang berjudul “The Post-Truth Era” menyebutkan bahwa ada kategori ketiga selain kebenaran dan kebohongan, yakni pernyataan ambigu yang bukan merupakan kebenaran namun lebih mendekati suatu kebohongan. Implikasi dari hidupnya manusia di era ini adalah bahwa pandangan seseorang sangat dapat dibentuk oleh wacana yang disebarkan ke tengah-tengah publik, meskipun wacana tersebut berpotensi keliru.

Masih istikamahnya pandemi hingga hari ini juga berpengaruh pada ketergantungan berbagai aktivitas manusia pada internet, termasuk dalam hal pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga ke perguruan tinggi. Sebagaimana yang diwartakan oleh Kompas, baru-baru ini pemerintah meminta setiap perguruan tinggi untuk mewaspadai fenomena algoritma kurasi yang marak terjadi di kampus. Algoritma kurasi dikhawatirkan dapat menimbulkan disinformasi di kalangan mahasiswa, mengingat algoritma yang dimiliki oleh search engine atau mesin pencari ini akan menyuguhkan informasi sesuai dengan kecenderungan pencarian dari pengguna, yang berarti informasi yang dimunculkan lebih bersifat subjektif daripada objektif.

Selain itu, wapres Ma’ruf Amin menyampaikan bahwa algoritma kurasi dapat membuat orang atau kelompok meyakini informasi yang dipasok oleh kelompoknya sendiri sebagai kebenaran. Hal ini dikhawatirkan akan dapat memperbesar celah perpecahan dan keterbelahan dalam tubuh bangsa. Atas dasar kekhawatiran tersebut, pemerintah memberikan rekomendasi kepada perguruan tinggi untuk menangkal potensi kerusakan yang dapat ditimbulkan algoritma kurasi agar para mahasiswa dibekali pendidikan karakter berkebangsaan yang tetap mengacu pada Pancasila dan bernalar kritis. Harapannya, dibekalinya mahasiswa dengan pendidikan karakter berkebangsaan ini, mahasiswa bisa lebih toleran dan mampu menangkal nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila.

Masalah dari rekomendasi tersebut adalah definisi Pancasila mana yang dijadikan pegangan? Jika yang dimaksud nilai-nilai Pancasilais adalah sebagaimana yang diarusutamakan beberapa tahun terakhir, seperti membenarkan pluralisme serta moderasi beragama dan menolak wacana pelaksanaan syariat dalam kehidupan, maka rekomendasi tersebut dapat dikatakan salah alamat, alias tidak koheren dengan problematika teknologi yang dikhawatirkan.

Di lain sisi, Islam memiliki perangkat aturan untuk mencetak generasi yang kritis dan istikamah memegang teguh kebenaran di tengah derasnya arus informasi digital, yakni dengan pembinaan aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap) secara intensif dan menyeluruh sehingga terbentuk syakhsiyyah Islamiyah atau kepribadian yang Islami. Kepribadian Islami inilah yang akan mampu menjaga pribadi muslim dari terjerembap dalam berbagai kekeliruan, karena pemikiran dan sikapnya dilandaskan hanya pada Islam semata.

Dengan kepribadian Islami, seorang muslim akan mampu membedakan mana yang benar dan salah, baik itu di mata Allah Swt. maupun di mata sesama manusia; dapat berlaku adil kepada orang lain; hingga tidak mudah terjerumus pada hoaks dan informasi yang menyesatkan karena Islam mengajarkan tabayyun atau klarifikasi berita yang didapatkan.
Akhirnya, sebagaimanapun apiknya pendidikan karakter yang dicanangkan, namun landasannya masih menurut sudut pandang manusia, maka akan sulit terbentuk generasi yang diharapkan akan menjadi pelita untuk umat. Dengan demikian, hidupnya manusia di era post-truth ini, ada atau tidak adanya fenomena algoritma kurasi, seyogianya dijadikan dorongan oleh kaum muslimin untuk semakin kuat dalam memegang agamanya, karena semangat sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan di balik topeng globalisasi, sangat mampu membuat umat menanggalkan identitas keislamannya.

Maka dari itu, diperlukan pembinaan yang terintegrasi, bahkan oleh negara kepada generasi kaum muslimin, karena memang hal tersebut merupakan salah satu kewajiban yang dimiliki negara. Abainya negara dalam proses pembinaan hakiki ini akan berpengaruh buruk dalam membentuk karakter publik. Hanya saja, ketika jujur saat melihat kondisi pendidikan, termasuk di perguruan tinggi hari ini, apakah kita masih bisa berharap pada negara yang tak menjadikan Allah sebagai pengatur kehidupan ini untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik? Allahu a’lam bisshawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Iranti Mantasari BA.IR M.Si Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Mengendus Arogansi Negara Kapitalis dalam Skema Carbon Trade demi Atasi Climate Change
Next
Knight Templar Knight of Christ (Konspirasi Berbahaya Biarawan Sion Menjelang Armagedon)
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram