Warisan Kolonial, Kambing Hitam Sistem yang Buram

Bukan semata karena warisan utang dari Belanda yang membuat Indonesia hingga hari ini tak sejahtera, namun karena terus mempercayakan pengaturan kehidupan secara keseluruhan kepada kapitalisme-demokrasi.


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih (Institut Literasi dan Peradaban)

NarasiPost.com -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengenang perjalanan perekonomian Indonesia dalam pelaksanaan upacara peringatan Hari Oeang Republik Indonesia yang ke-74.  Ia mengatakan sejak dirayakannya Hari Oeang Republik Indonesia pada 30 Oktober 1946 dan dibentuknya Kementerian Keuangan, perjalanan perekonomian nasional terbilang tidak pernah mudah.

Pada awal pelaksanaan pemerintahan yang berdaulat, kas keuangan negara harus dihadapi beban-beban dari perang dan penjajahan. Kolonialisasi yang sempat dialami Indonesia disebut Sri Mulyani turut andil mengakibatkan perekonomian nasional hancur.

"Tantangan perekonomian yang kita hadapai sangat berat, perekonomian kita hancur akibat perang dan warisan dari penjajahan dan kas negara dalam situasi yang tiada," katanya (kompas.com, 31/10/2020).

Apa yang disampaikan oleh Menteri Sri Mulyani tak salah, sebab menanggung warisan utang Belanda, Indonesia hingga kini tak pernah sejahtera, APBN saja tak pernah surplus. Perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) atau Nederlands Indonesische Rondetafelconferentie adalah suatu pertemuan tingkat tinggi berlokasi di Deen Haag, Belanda mulai 23 Agustus – 24 November 1949 antara perwakilan dari Republik Indonesia, Belanda dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg).

BFO bertindak sebagai perwakilan dari berbagai negara Belanda di kepulauan Indonesia yang dibentuk setelah  sejarah perjanjian Renville. Konferensi meja bundar dilaksanakan setelah usaha – usaha Belanda untuk menggagalkan kemerdekaan Indonesia melalui cara kekerasan seperti agresi militer 1 dan agresi militer 2 tidak berhasil dan mendapatkan kecaman keras dari dunia internasional.

Sejarah mencatat, banyak hal dibicarakan hanya agar keinginan Belanda dan Indonesia segera tercapai. Perdebatan  alot khususnya  terjadi dalam kasus hutang Hindia Belanda dan kasus Papua Barat. Delegasi Indonesia tidak puas dan mempertanyakan mengapa RI harus membayar hutang yang justru digunakan Belanda untuk melakukan tindakan militer terhadap Indonesia.

Karena itu berarti sebenarnya Indonesia lah yang banyak dirugikan. Namun pada akhirnya Amerika Serikat mengintervensi, sehingga Indonesia menyadari bahwa itu adalah harga yang harus dibayar agar mendapatkan kedaulatan yang diperjuangkan selama ini sebagai dampak perjanjian KMB. Dan benarlah, 71 tahun kemudian, perekonomian Indonesia kian terpuruk. Bahkan Menteri Sri Mulyani mendeskripsikan dengan hancur.

Namun benarkah perekonomian Indonesia hancur hanya karena utang warisan? Kita tahu sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, negara kita telah mengadopsi sistem warisan kafir pula. Masa kepemimpinan Soekarno merupakan masa perbaikan pasca penjajahan, pada masa itu pemerintah menggunakan sistem ekonomi liberal. sistem ini berubah menjadi sistem sosial setelah dekrit presiden 5 juli 1959.

Berikutnya,  masa Soeharto, pemerintah menerapkan sistem ekonomi campuran yaitu sosial dan liberal. Pada masa itu meski Indonesia mandiri pangan namun korupsi, kolusi dan nepotisme sangat marak terjadi karena aparatur negara memanfaatkan pola pemerintahan sentralistis sehingga mereka menyalahgunakan kepercayaan publik yang diserahkan kepada mereka.

Jangan dikata lagi masa-masa sesudah kedua kepala negara legendaris di atas, sebab presiden-presiden selanjutnya hanya sekadar melanjutkan. Bahkan lebih menonjolkan sistem kapitalis sebagai pijakan sistem perekonomiannya. Demokrasi sebagai sistem politiknya turut menguatkan hegemoni kapitalis ini, sebab melalui wakil rakyat yang dipilih rakyat setiap lima tahun sekali ini disahkan banyak Undang-undang yang justru melemahkan peran negara sebagai pengurus urusan umat.

Sumber daya alam makin mudah dikuasai asing. Jenisnya pun beragam. Indonesia tak lagi berdaulat hingga singkong atau garam saja harus impor. APBN sebagai anggaran negarapun didominasi pajak dan utang luar negeri. Sungguh mengerikan, Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Agustus 2020 ini meningkat. Tercatat, posisinya meningkat menjadi 413,4 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 6 .076,9 triliun (kurs Rp 14.700).

Jika bukan riba mungkin lebih ringan, namun ini utang berbasis riba, yang membuat nilai pokok pinjaman tenggelam dalam angka perhitungan riba. Hingga Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, artinya jika dibagi 270-an juta penduduk Indonesia maka setiap warga Indonesia menanggung Rp20,5 juta utang pemerintah, bahkan sejak bayi baru lahir.

"Permasalahannya adalah dalam beberapa tahun sebelumnya ini ada kenaikan utang per kapita cukup tinggi, karena dua tahun sebelumnya masih Rp16-17 juta ditanggung per orang, bahkan bayi baru lahir pun juga sudah menanggung utang pemerintah karena ada konsekuensi pembayaran pajak dan semacamnya," ujar Bhima (PRFM News Channel, 20 Oktober 2020).

Penghargaan Dunia bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai menteri keuangan terbaik sedunia sesungguhnya adalah racun, yang mampu menjebak Indonesia masuk ke dalam perangkap utang yang tak ada habisnya. Maka, jelaslah, bukan semata karena warisan utang dari Belanda yang membuat Indonesia hingga hari ini tak sejahtera, namun karena terus mempercayakan pengaturan kehidupan secara keseluruhan kepada kapitalisme-demokrasi. Bukan Islam, padahal mayoritas penduduknya memeluk Islam.

Islam tidak melarang utang, hukumnya mubah. Namun dengan tegas mengharamkan riba, sebab segala sesuatu yang dilandaskan pada riba pasti akan menimbulkan mudharat. Islam menggantinya dengan sistem yang lebih riil yaitu dengan pengelolaan kepemilikan negara dan umum yang sepenuhnya dikelola negara, dikembalikan kepada umat baik secara barang maupun manfaatnya. Berikutnya juga pos-pos pendapatan lain dalam Baitul mal yang berasal dari zakat, fai, jizyah, kharaz dan lain-lain yang itu semuanya menjamin kestabilan pendapatan negara untuk pembiayaan seluruh kewajiban negara. Wallahu a'lam bishshawab.[]

Picture Source by Bing Images

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Menyoal Kebebasan Berekspresi
Next
Bank ASI Mengaburkan Ibu Susu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram