Sikap para Khalifah sangat bertolak belakang dengan sikap rezim saat ini. Demokrasi yang digadang-gadang sebagai jembatan pemersatu berbagai perbedaan, hanyalah sebuah omong kosong. Seorang penguasa tidak boleh anti kritik. Aktivitas mengontrol dan mengoreksi penguasa adalah bagian dari syariat yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Oleh: Irma Sari Rahayu, S.Pi
NarasiPost.com -- Mencengangkan. Sebuah survei yang dilakukan oleh Lembaga Indikator Politik Indonesia yang mencoba memotret kondisi demokrasi di Indonesia menyatakan sebanyak 79,6 persen warga semakin takut menyuarakan pendapatnya, 73,8 persen merasa semakin sulit melakukan demonstrasi atau protes dan 57,7 persen menilai aparat semena-mena dalam menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan negara. Survei dilakukan dengan menanyakan respon publik khususnya tentang hak menyatakan pendapat (merdeka.com, 22/10/2020).
Hasil survei tersebut sungguh di luar dugaan. Sehingga layak dipertanyakan hak mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh sistem demokrasi saat ini. Benarkah hak mengeluarkan pendapat itu ada? Apakah hak memgeluarkan pendapat hanya untuk kubu yang sejalan dengan penguasa saja?
Hak mengeluarkan pendapat sebenarnya ada legitimasi hukumnya dan dijamin secara konstitusional di dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat." Mengeluarkan pendapat juga menjadi bagian dari hak asasi manusia yang tertuang dalam pasal 23 ayat (2) Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang berbunyi: "Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai dengan hati nuraninya secara lisan dan tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan negara."
Kenyataan yang terjadi sungguh jauh panggang dari api. Masyarakat mulai merasakan adanya tekanan dan tidak bebas lagi dalam berpendapat. Bahkan muncul tudingan bahwa rezim yang saat ini berkuasa tak ada bedanya dengan gaya kepemimpinan era orde baru dan menjuluki rezim otoriter.
Tudingan ini cukup mendasar. Demokrasi yang diagung-agungkan justru melahirkan watak rezim otoriter, rezim polisi dan rezim korporasi. Hal bisa dikonfirmasi dengan sikap rezim dalam merespon keluhan dan kritikan publik dengan ujaran ngawur dan "asbun" yang jauh dari rasa empati. Bukannya memberikan solusi, tetapi malah memperkeruh situasi.
Pengaruh rezim dalam memanfaatkan aparat untuk melindungi stabilitas keamanan dan politik sangat kuat. Fakta ini terpampang kasat mata. Aparat tak segan melakukan tindakan represif dalam menangani setiap aksi demonstrasi dan mudah melakukan penangkapan terhadap pihak-pihak yang bersebrangan arah pandang politiknya dengan rezim.
Terbentuknya rezim korporasi semakin memperparah sulitnya masyarakat menyuarakan himpitan hidup akibat kebijakan yang dibuat lebih berpihak kepada korporasi. Terbukti dengan lahirnya undang-undang yang resmi diketok palu, sarat dengan kepentingan korporasi. Seperti undang-undang minerba, pelemahan tubuh KPK dan UU omnibus law.
Dalam sistem politik Islam, menyuarakan pendapat dan mengkritk kebijakan penguasa adalah bagian dari aktivitas amar ma'ruf dan muhasabah lil hukam. Negara Islam tidak alergi terhadap kritik, bahkan sangat terbuka. Sistem pemerintahan Islam memiliki majelis umat atau majelis syura sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan. Merekalah yang mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan. Aktivitas ini pernah dilakukan oleh Rasulullah yang selalu meminta pendapat perwakilan sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor.
Para Khalifah setelah Rasul sangat terbuka terhadap kritik. Khalifah Umar bin Khattab bahkan menerima kritikan seorang wanita yang disampaikan di depan umum ketika beliau menetapkan batasan mahar bagi kaum wanita. Beliau berkata, “Wanita ini benar dan Umar salah,” setelah mendengarkan argumentasi kuat si Muslimah tadi yang membacakan surat An-nisa’ ayat 20.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, beliau menggagalkan hukuman rajam bagi seorang wanita yang melahirkan dengan usia kehamilan enam bulan dan menolak tuduhan zina. Pembatalan ini beliau lakukan pasca mendapat nasehat dari Ali bin Abi Thalib yang berdalil dengan Al Quran Surat al-Ahqaf ayat 15 dan al-Baqarah ayat 233.
Sikap para Khalifah sangat bertolak belakang dengan sikap rezim saat ini. Demokrasi yang digadang-gadang sebagai jembatan pemersatu berbagai perbedaan, hanyalah sebuah omong kosong. Seorang penguasa tidak boleh anti kritik. Aktivitas mengontrol dan mengoreksi penguasa adalah bagian dari syariat yang diperintahkan oleh Allah SWT. Jika syariat ditegakkan, maka keselamatan dan keberkahan negeri akan diraih.[]
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected].