Pengadaan vaksin di negeri ini yang terus disuarakan menteri investasi terlihat ada indikasi kepentingan ekonomi para koorporasi, bukan kepentingan ekonomi rakyat. Sehingga ngotot memberikan vaksin pada masyarakat disaat suara pakar masih menyangsikan keaamanan dan keefektifan vaksin tersebut.
Oleh : Adibah Nur Fauziah (Komunitas Penulis Bela Islam AMK)
NarasiPost.Com – Kondisi dunia saat ini berada dalam tarap kekacauan, kesengsaraan, kezaliman, serta keterpurukan dalam segala hal. Diantaranya, kesehatan akibat pandemi yang belum usai jua. Hampir delapan bulan sudah, belum ada tanda-tanda yang menunjukkan pandemi ini akan berlalu.
Berbagai upaya dan kebijakan dilakukan pemerintah, belum ada yang sampai pada tataran penyelesaian, sebaliknya menuai biang penderitaan umat secara umum. Parahnya, adanya sederet kebijakan yang diterapkan tak lepas dari kebijakan yang berkutat pada kepentingan koorporasi dan oligarki kekuasaan. Tak heran, jika seluruh permasalahan di negeri ini semakin sulit akibat kebijakan kontraproduktif, termasuk pengadaan vaksin yang sejatinya bukan untuk kemaslahatan rakyat.
Dirilis dari PRFMNEWS, Pemerintah mengaku tengah mengawal akselerasi Vaksin Merah Putih yang dikembangkan 6 perguruan tinggi dan lembaga penelitian terkemuka di Indonesia. Vaksin ini pun dijadikan senjata pamungkas dalam menyelesaikan masalah kesehatan dan ekonomi rakyat saat ini.
Padahal, World Health Organization (WHO) sendiri mengatakan vaksin seharusnya tidak dipandang sebagai solusi pamungkas menangani pandemi Covid-19. Direktur kedaruratan WHO, Michael Ryan mengatakan vaksin tidak akan tiba pada waktunya buat menanggulangi gelombang kedua pandemi. Keliru jika menganggap vaksin bisa menyelesaikan masalah. "Jika kita memiliki vaksin dan melupakan hal lainnya, Covid tidak akan menjadi nol," seperti yang dikutip dari laman CNN Indonesia.
Lain lagi dengan Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito berharap, bibit Vaksin Merah Putih dapat diserahkan kepada PT Bio Farma pada tahun 2021. Sehingga Bio Farma segera melakukan uji klinis tahap 1 hingga 3. Harapannya, bisa didistribusikan di tahun 2022.
Wiku pun menyinggung uji klinis tahap 3 pada ribuan kandidat vaksin Covid-19 dari Sinovac, perusahaan milik China, dikirim ke Indonesia untuk diuji klinis di laboratorium dalam negeri yang saat ini sedang berjalan. Menurutnya sejauh ini tidak ditemukan adanya Gejala Ikutan Paska Imunisasi (KIPI). Hal-hal tersebut disampaikannya melalui kanal youtube Sekretaris Presiden.
Banyak para ahli yang menyarankan agar berhati-hati terhadap kebijakan vaksinasi. Jangan sampai ada pertimbangan lain selain sains dalam memilih suatu vaksin. Karena hal ini berkaitan dengan nyawa manusia. Semisal apa yang disampaikan oleh pakar epidemiologi FKM UI, Pandu Riano yang menilai bahwa obsesi terhadap pengadaan vaksin dengan mengatasnamakan keadaan darurat justeru menimbulkan kekhawatiran yang berhubungan dengan keamanan dan efektivitas vaksin (cnnindonesia.com 31/10/2020).
Demikian pula Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mengirimkan surat pada Kementerian Kesehatan RI berisi tiga poin rekomendasi yaitu : keamanan, imunogenisitas dan keefektifan vaksin dalam rencana imunisasi vaksin Covid-19 agar aman. Para ahli pun khawatir pemerintah tidak mengikuti tahapan-tahapan penting tersebut.
Pengadaan vaksin di negeri ini yang terus disuarakan menteri investasi terlihat ada indikasi kepentingan ekonomi para koorporasi, bukan kepentingan ekonomi rakyat. Sehingga ngotot memberikan vaksin pada masyarakat disaat suara pakar masih menyangsikan keaamanan dan keefektifan vaksin tersebut.
Ngototnya pemerintah dalam pengadaan vaksin di akhir tahun ini, juga suara para ahli yang tidak didengar, memberikan dugaan kuat ada pertimbangan lain selain sains dalam menetapkan kebijakan. Hal ini wajar dalam sistem kapitalisme demokrasi yang tak menjadikan rakyat sebagai objek yang harus diurusi. Jika penguasa serius menginginkan rakyatnya sehat dan terlepas dari pandemi, harusnya serius pula upaya menanggulangi pandemi secara benar. Bukan malah memunculkan polemik di masyarakat tapi fokus terhadap kesehatan umat.
Dalam hal ini, pemerintah bukan sekedar mengawal pembuatan vaksin, namun harus memberikan dukungan nyata terutama dari sisi pendanaan terhadap riset dan pengembangan vaksin, sehingga dihasilkan vaksin yang benar-benar aman bahkan halal yang bisa diberikan kepada masyarakat.
Gagalnya sistem kapitalisme dalam menyelesaikan berbagai persoalan, diantaranya penanggulangan pandemi. Sistem batil yang menjadikan akal manusia sebagai pemutus perkara, telah mengantarkan pada kebijakan yang hanya mengakomodasi kepentingan penguasa yang selalu disetir para korporasi.
Berbeda dengan Islam, sistem aturan yang dibuat Allah Swt. yang menjadikan syariat yang dibawa Nabi saw. menjadi pemutus seluruh perkara. Sehingga para penguasa dalam Islam hanya tunduk pada aturan Allah Swt saja. Seluruh kebijakannya independen, terbebas dari dominasi pihak manapun. Dan menjadikan kemaslahatan umat sebagai fokus utamanya.
Demikian pula dalam masalah vaksinasi. Mulai dari pengadaan, penelitian hingga pemakaian oleh umat, sudah melalui tahapan maksimal dan hasil yang menjamin keamanan dan keselamatan umat. Tidak seperti sistem kapitalis yang hanya memperhatikan keuntungan dan kepentingan, bukan keselamatan umat.
Bagaimana Vaksin Dalam Pandangan Islam?
Vaksinasi dalam Islam berbeda dengan vaksinasi ala kapitalis yang lebih beraroma kepentingan korporasi daripada keselamatan rakyat. Dalam Islam, vaksinasi murni untuk keselamatan rakyat/umat.
Vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin (bakteri/virus yang telah dilemahkan) ke dalam tubuh manusia dengan tujuan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Imunisasi pun bisa disebut sebuah proses untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Tetapi imunisasi lebih umum daripada vaksinasi, karena imunisasi dapat juga diperoleh tanpa vaksinasi.
Misalnya, pemberian ASI oleh seorang ibu kepada bayinya yang dapat membantu meningkatkan kekebalan pada bayi. Jadi, vaksinasi itu bagian dari imunisasi, sedangkan imunisasi belum tentu vaksinasi karena imunisasi banyak macamnya.
Secara syar'i hukum vaksinasi adalah sunnah (mandub/mustahab), karena termasuk dalam aktivitas berobat (at tadaawi) yang hukumnya sunnah. Asalkan memenuhi dua syarat, yaitu ; Pertama, bahan vaksinnya tidak mengandung zat najis seperti enzim babi. Karena terdapat larangan syariah untuk berobat dengan zat yang haram/najis, meski jatuhnya makruh bukan larangan haram.
Sabda Nabi saw : " Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram." (HR Abu Dawud, no 3376).
Kedua, Vaksinasi yang dilakukan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) bagi orang yang divaksinasi. Diikarenakan terdapat larangan untuk menimbulkan bahaya (dharar) dalam segala bentuknya, sesuai hadis Nabi saw, "Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bahaya bagi orang lain." (Arab "laa dharara wa laa dhiraara"). (HR. Ahmad).
Dalam hadis lain disebutkan, "Sesungguhnya ketika Allah menciptakan suatu penyakit, Allah pun menciptakan obatnya, maka berobatlah." (HR. Ahmad). Wallahu a'lam bi ash-shawab
Pictures by google.
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email [email protected]