Sosoknya mampu mengisi kekosongan kepemimpinan di hati masyarakat. Tidak hanya kaum muslim yang cinta padanya, non muslim pun menghormatinya. Tentu saja, mereka yang hatinya terbuka pada kebenaran dan murka pada ketidakadilanlah yang mendukungnya.
Oleh: Isna Yuli (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
NarasiPost.Com – Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, kita bisa merasakan bahwa permasalahan kehidupan yang diangkat dan dibesarkan oleh media mainstream adalah isu-isu terkait Islam dan umat Islam. Sedangkan permasalahan utama yang membelit negeri ini kerap kali tertutupi dan atau sengaja ditutupi dengan kegaduhan berlabel Islam. Mulai dari isu terorisme, bom bunuh diri, penyimpangan ajaran Islam (aliran sesat), pelecehan agama, Islamophobia, radikalisme, serta berbagai macam kasus yang memecah belah persatuan umat.
Merasakan semua ketidaknyamanan beragama ini, memunculkan satu perasaan di tengah masyarakat bahwa mereka, kita, umat Islam khususnya sebagai kelompok mayoritas negeri ini, butuh pemimpin kharismatik, berpegang teguh pada syariat Islam, lantang menyuarakan kebenaran, serta tidak mudah diajak berkompromi dengan penguasa. Terlebih, penguasa yang berselingkuh dengan cukong. Beberapa kali masyarakat terjebak oleh sosok yang terlihat sempurna saat pemilu, namun berkali-kali itu juga masyarakat tertipu oleh janji manis kampanye. Atau, masyarakat sudah patah hati ketika sosok oposisi yang digadang-gadang mewakili aspirasi rakyat justru masuk dalam kabinet pemerintahan, sendiko dawuh* kepada lawan politiknya semasa kampanye. Remuk redam perasaan masyarakat menerima kenyataan ini.
Masyarakat terombang-ambing dalam kenestapaan akibat pemimpin yang terpilih justru melahirkan kebijakan yang tidak pro rakyat. Disisi lain, saat muncul ditengah-tengah umat sosok yang kharismatik mengisi kekosongan kepemimpinan di hati masyarakat, seketika itu masyarakat melabuhkan hati kepadanya. Dia yang dianggap berbahaya bagi pemegang kekuasaan, dia yang tak memiliki jabatan pemerintahan namun sosoknya ditakuti oleh pemerintah. Dia yang pergerakannya mampu menyedot perhatian pemerintah, sepertinya tengah berusaha keras untuk dibekukan, menyusul Ormas HTI yang dicabut izin BHPnya.
Kepulangannya disambut hangat oleh masyarakat, tapi sambutan dingin diberikan pemerintah kepadanya. Tidak hanya mengkritik pengabaian protokol kesehatan (prokes) saat penjemputannya di bandara, namun pemerintah juga mewacanakan munculnya klaster baru dari kejadian tersebut. Tidak cukup dengan serangan media, pemerintah juga melakukan Show of Force di sekitar markas besar miliknya.
Berbagai kesalahan terkait prokes dialamatkan padanya, padahal jika pemerintah bisa jujur, sebelum aksi penjemputan di bandara tersebut, telah terjadi beberapa kerumunan massa yang tak tersentuh hukum. Hukum pun berat sebelah dengan tidak memproses dan memperkarakan prokes kerumunan dari aktifitas keturunan penguasa negeri ini. Dengan dalih kerumunan tersebut sudah dilindungi Undang-Undang.
Besarnya pamor sang Habib rupanya dimanfaatkan untuk menggeser perhatian publik akan berbagai persoalan pelik yang sedang terjadi. Adanya pandemi dimanfaatkan segelintir orang untuk membungkam kemunculan bibit-bibit Islam politik. Aroma politisasi Habib juga terasa kental sekali, tidak sedikit pejabat yang berseberangan dengan kepentingan penguasa terdampak oleh politisasi sang Habib. Bahkan TNI yang seharusnya mengayomi dan melindung rakyat, kini seakan dihadapkan dengan rakyat.
Pada faktanya banyak Ulama dan Habib di negeri ini, namun tidak semua diperlakukan istimewa oleh negara. Sebagaimana Habib yang di media sosial pun tak boleh disebutkan namanya. Ketegasan beliau dalam menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar semakin dicintai oleh umat dan dibenci oleh penguasa zolim. Sosoknya mampu mengisi kekosongan kepemimpinan di hati masyarakat. Tidak hanya kaum muslim yang cinta padanya, non muslim pun menghormatinya. Tentu saja, mereka yang hatinya terbuka pada kebenaran dan murka pada ketidakadilanlah yang mendukungnya.
Jika banyak orang yang menolak bahwa hari ini tidak sedang terjadi kekosongan kepemimpinan, lalu kemanakah kepemimpinan negeri ini bersembunyi? Sehingga, urusan rakyat terabaikan. Sedangkan kepentingan-kepentingan kaum penjajah dilayani menggunakan karpet merah.
Lebih dari itu, umat butuh kepemimpinan shahih. Kepemimpinan yang mampu menghantarkan umat pada kehidupan hakiki. Kehidupan yang penuh pengabdian kepada Rabb-nya. Dan, kepemimpinan itulah yang dinanti, agar umat tak kembali kecewa atau bahkan menelan pil pahit dari setiap dukungannya yang parsial. Wallahu 'alam bishawab[]
-----
*Sendiko dawuh dulunya biasa dipakai oleh abdi dalem (pelayan) kerajaan ketika menerima perintah atau titah dari raja, saya patuh kepada perkataan raja.
Pictures by google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email [email protected]