Apakah kita patut berbangga dengan prestasi hutang yang mendunia? Membengkaknya utang luar negeri Indonesia, menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan ekonomi.
Oleh : Nora Putri Yanti (Aktivis Dakwah Kampus)
NarasiPost.Com — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali dinobatkan sebagai menteri keuangan Indonesia terbaik di Dunia. Keberhasilan terbarunya adanya kesepakatan perpanjangan masa cicilan utang pada acara The 5th G20 Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting yang diselenggarakan secara daring pada Jumat, (20/11/2020)
Dengan dalih mendukung berbagai kegiatan penanggulangan pandemi Covid-19 yang sampai sekarang masih seakan jalan di tempat, pemerintah tak henti-hentinya bermain dengan hutang. Dalam rentang waktu kurang dari dua minggu saja sudah menambah utang baru sebesar Rp24,5 riliun. Utang baru tersebut merupakan kategori pinjaman bilateral dengan rincian utang luar negeri dari Australia Rp15,45 triliun dan utang bilateral dari Jerman Rp9,1 triliun. (www.kompas Tv, 21/11/2020)
Jangan kaget dan terheran-heran lagi dengan pemecahan permasalahan ekonomi dari kaca mata kapitalis sekuler yang seakan gali lobang tutup lobang. Utang merupakan komponen harta. Dimana harta adalah utang ditambah modal. Maka wajar jika memperbanyak utang (termasuk bunga riba) merupakan jalan "halal" yang ditempuh sistem ekonomi ini dalam menambah hartanya.
Negeri kaya tapi rakyatnya miskin dan sengsara. Sebab, sumber daya alam yang sangat melimpah, justru direlakan untuk diangkut oleh negara-negara asing sebagai pemodal.
Dalam Islam, utang memang boleh saja asalkan tidak ada riba di dalamnya. Utang ribawi termasuk dosa besar. Di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 275, Allah SWT secara tegas menyatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ – فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
"Hai orang-orang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan tinggalkan sisa-sia riba jika kalian benar-benar kaum Mukmin. Jika kalian tidak melakukan itu (meninggalkan riba), berarti kalian telah memaklumkan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya." (QS al-Baqarah [2]: 278-279)
Apakah kita patut berbangga dengan prestasi hutang yang mendunia? Membengkaknya utang luar negeri Indonesia, menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan ekonomi. Jelas ini bukanlah sebuah prestasi, sekalipun diberi tepuk tangan dan puji. Justru semakin menguatkan lilitan intervensi pihak pemberi hutang di negeri ini.
Ketika berbicara mengenai kebijakan Utang Luar Negeri (ULN) yang menjadi kebijakan suatu negara, sudah seharusnya suatu negara tersebut memperhatikan kedaulatan negaranya dengan kebijakan yang dipilihnya. Dalam sistem Islam (Khilafah) ada beberapa cara dalam mengatasi Utang Luar Negeri (ULN).
Pertama, Khilafah akan memisahkan utang luar negeri Pemerintah sebelumnya dengan utang pihak swasta (baik perorangan maupun perusahaan). Kedua, sisa pembayaran utang luar negeri hanya mencakup sisa cicilan utang pokok saja, tidak termasuk bunga, karena syariat Islam mengharamkan bunga. Ketiga, meski diwajibkan untuk melunasi sisa cicilan pokok utangnya, Khilafah perlu menempuh berbagai cara untuk meringankan bebannya. Keempat, utang sebelumnya akan dibayar negara dengan mengambil seluruh harta kekayaan yang dimiliki secara tidak sah oleh rezim sebelumnya beserta dengan kroninya. Kelima, utang luar negeri yang dipikul swasta (baik perorangan maupun perusahaan) dikembalikan kepada mereka untuk membayarnya. (Sumber: KH. Hafidz Abdurrahman).
Demikianlah langkah-langkah yang diambil oleh Khilafah disaat terjebak utang luar negeri, tanpa mengambil harta kekayaan rakyat yang dapat menyengsarakannya.
Lalu apakah ada sistem keuangan tanpa riba? Jika kita lihat sekarang walau bank yang berlabel syariah saja tetap ada tambahannya. Kalau mencari jawaban dengan pandangan kapitalis sekuler tentu jawabannya tidak, namun dalam kacamata Islam tentu ada. Karna Islam bukan hanya sebagai agama tapi juga sebuah ideologi yang melahirkan aturan mengenai perbuatan hamba mulai dari bangun tidur sampai bangun negara.
Dalam kitab Al Amwal, karya Abdul Qadim Zallum, dijelaskan bahwa ada tiga pos pendapatan negara. Bukan bersumber dari pajak dan juga utang sebagaimana kondisi keuangan negara kapitalis liberal.
Petama, bagian Fa’i dan Kharaj. Bagian ini menjadi tempat penyimpanan dan pengaturan arsip-arsip pendapatan negara. Meliputi harta yang tergolong fa’i bagi seluruh kaum muslim, dan pemasukan dari sektor pajak (dharibah) yang diwajibkan bagi kaum muslim tatkala sumber-sumber pemasukan baitul mal tidak mencukupi.
Kedua, bagian Pemilikan umum. Seperti sumber daya alam yang melimpah digolongkan menjadi kepemilikan umum, bukan milik negara. Negara tidak boleh memberikannya pada asing atau privatisasi. Negara hanya berhak mengelola dan hasilnya diperuntukan bagi kemaslahatan umat sepenuhnya. Bisa dalam bentuk biaya kesehatan, biaya pendidikan, dll.
Ketiga, bagian zakat. Bagian ini menjadi tempat penyimpanan harta-harta zakat seperti zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak. Pos ini hanya didistribusikan pada delapan asnaf sesuai firman Allah SWT. Skema pembiayaan ini menjadikan kas negara, yaitu baitulmal menjadi relatif stabil dan tidak mudah defisit.
Sebenarnya, tidak ada alasan bagi kaum muslim untuk menolak ajaran Islam kaffah dengan sistem khilafahnya. Apalagi masih memilah-milah hukum syariah sesuai hawa nafsunya. Atau masih jalan di tempat dengan bergelimangan hutang? Pilihan ada di tangan kita, mau jadi pemain dalam dakwah untuk segera menerapkan hukum syariah-Nya, atau menjadi penonton dan pengekor sistem rusak dengan kebijakannya yang merusak pula. Walllau 'alam bishawab []
Pictures by google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email [email protected]