UU ITE Direvisi, Membebaskan atau Membungkam?

UU ITE di Revisi, Membebaskan atau Membungkam

UU ITE dalam negara demokrasi merupakan alat yang digunakan oleh penguasa untuk membungkam suara-suara kritis masyarakat.

Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Perubahan kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali menjadi perdebatan dalam diskusi yang terselenggara pada Jumat, 11 Oktober 2024 di Hotel Tentrem, Yogyakarta. Pasalnya, perubahan kedua UU ITE yang harusnya memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, tetapi justru berpotensi untuk mengkriminalisasi, mengekang kebebasan berekpresi, dan membungkam sikap kritis masyarakat.

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia Profesor Masduki mengungkapkan kekecewaannya terhadap perubahan kedua UU ITE ini. Ia menjelaskan bahwa UU ITE saat ini bukan untuk memperkuat perlindungan HAM kepada masyarakat, tetapi justru dijadikan kontrol negara terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi rakyatnya (tempo.com, 12-10-2024).

Pasal Kontroversial UU ITE

Dalam perubahan kedua UU ITE ini, ada beberapa pasal yang masih dianggap kontroversial, bahkan berpotensi menjadi alat pukul baru bagi negara untuk membungkam masyarakat yang kritis. Beberapa pasal tersebut adalah Pasal 28 ayat 1 dan 2 yang mengatur tentang penyebaran kebencian berdasarkan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) melalui media elektronik.

Kemudian Pasal 27A terkait penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Lalu Pasal 27B tentang ancaman pencemaran. Kedua pasal ini berpotensi mendiskriminasi masyarakat yang bersuara kritis sebab penjelasan dalam pasal tersebut masih multitafsir dan juga bersifat lentur.

Selanjutnya, ada penambahan pasal yang memberikan wewenang kepada penyidik dan pemerintah untuk menutup akun media sosial jika dianggap mengganggu ketertiban dan melanggar hukum. Aturan tersebut termaktub dalam Pasal 40 dan Pasal 43 UU ITE terbaru. Pasal ini merupakan bukti makin kuatnya UU ITE menjadi kontrol negara untuk mengatur kebebasan berpendapat, sebab penguasa memiliki wewenang besar untuk menutup akun media sosial seseorang yang dianggap melanggar hukum sesuai versi mereka.

Sejatinya, masih banyak pasal-pasal kontroversial lainya pada perubahan kedua UU ITE yang justru merugikan masyarakat dalam menyampaikan kebenaran di ranah digital.

Makin Membungkam Rakyat

Pemerintah melahirkan UU ITE dengan niat untuk menjaga keamanan dan perdamaian di dunia digital. Hanya saja, UU ITE ini nyatanya justru dijadikan kurungan kebebasan berpendapat bagi masyarakat. Walaupun penguasa berupaya untuk merevisi UU ITE dari versi lama ke versi baru, tetapi nyatanya ia masih tetap sama, yaitu menjadi alat pembungkam suara-suara kritis masyarakat. Bahkan, UU ITE versi baru memberikan keleluasaan pada penyidik untuk membungkam orang-orang yang berseberangan dengan kepentingan penguasa.

Misalnya, Pasal 28 ayat 1 dan 2 yang terdapat pada UU ITE dinilai oleh sebagian pengamat politik kerap kali digunakan untuk membungkam sikap kritis masyarakat terhadap kebijakan penguasa karena rumusan yang ada dalam pasal tersebut sangat ambigu dan memberikan kewenangan berlebih kepada pemerintah untuk membatasi kebebasan berekspresi.

Tidak dimungkiri bahwa UU ITE kerap kali dijadikan sebagai alat untuk membungkam masyarakat yang kritis. Apalagi mereka-mereka yang berupaya untuk mengkritisi kebijakan dan sepak terjang kepemimpinan penguasa, salah satunya adalah Bima Yudho Saputro seorang Tiktoker  asal Lampung Timur yang dilaporkan terkait dugaan ujaran kebencian dan penyebaran berita bohong.

Sebelumnya, Bima mengkritik dan menyindir kondisi sejumlah sektor di Provinsi Lampung seperti pembangunan infrastruktur yang rusak, Proyek Strategi Nasional (PSN) yang telah lama mangkrak, pendidikan yang tidak merata, tata kelola birokrasi, dan lainnya melalui platform TikToknya. Akibat unggahan inilah, Bima dilaporkan karena dianggap melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Tidak hanya dilaporkan, Bima mengaku bahwa ibunya mendapatkan intimidasi dari pihak kepolisian. Begitu pula dengan ayahnya yang menjabat seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dipanggil dan diancam oleh Bupati Lampung (Kompas.com, 17-04-2024).

Sejatinya, pernyataan Bima merupakan bagian dari kebebasan berpendapat dan dia juga merupakan wujud dari aspirasi masyarakat untuk menyampaikan kritikannya terkait kinerja penguasa. Namun, apalah daya, orang-orang yang berusaha bersuara kritis dan ingin menyampaikan pendapat demi perbaikan bangsa dan kemaslahatan masyarakat justru rawan mendapatkan diskriminasi dan pidana akibat kebijakan ini, padahal aspirasi mereka harusnya dijamin dan dilindungi oleh undang-undang. Alhasil, banyak masyarakat takut untuk bersuara kritis dan menyampaikan sebuah kebenaran akibat aturan tersebut.

Ilusi Kebebasan Berpendapat

Inilah wajah dari negara yang menerapkan demokrasi. Negeri yang digadang-gadang memberikan kebebasan berpendapat kepada seluruh masyarakatnya untuk menyampaikan kritik di muka umum dan kepada penguasa, nyatanya justru sekadar ilusi. Kebebasan tersebut hanya berlaku bagi mereka yang mengemban pemikiran liberal, para oligarki, serta ide-ide yang tidak berseberangan dengan kepentingan mereka.

Namun, lain halnya ketika pendapat itu berseberangan dengan kepentingan penguasa atau oligarki, seperti kasus Bima yang mengkritik kelalaian penguasa terhadap tanggung jawabnya justru dikriminalisasi. Begitu juga dengan orang-orang pengemban dakwah Islam kaffah yang berupaya menyampaikan kebenaran demi kemaslahatan umat dan berusaha membebaskan negeri ini dari cengkeraman para penjajah justru dibungkam dan dihalangi.

Ironisnya, kondisi tersebut justru kian memperlihatkan kecacatan dari makna demokrasi itu sendiri yang slogannya menjunjung tinggi kebebasan dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun, pelaksanaannya justru menganulir kebebasan berpendapat bagi masyarakat yang bersuara untuk kebenaran dan demi kemaslahatan rakyat.

Islam Menjamin Kebebasan Berpendapat

Sejatinya, kebebasan berpendapat merupakan hak bagi setiap manusia, tidak ada yang bisa melarangnya kecuali Allah Swt. Oleh karenanya, dalam Islam kebebasan berpendapat merupakan hak seluruh masyarakat yang diatur oleh syarak. Kebebasan berpendapat tersebut tidak seperti dalam negara demokrasi yang tidak memiliki batasan-batasan yang jelas. Namun, Islam memberikan batasan-batasan yang jelas sesuai syarak, seperti suatu perbuatan atau perkataan tidak boleh melanggar syariat Islam.

Selanjutnya, Islam menjamin dan melindungi kebebasan berpendapat, apalagi hal tersebut berkaitan dengan amar makruf nahi mungkar. Bahkan, Islam justru menganjurkan kepada seluruh masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya kapan pun dan di mana pun tentang suatu kebenaran sebab Islam menjunjung tinggi sebuah kebenaran.

Di sisi lain, Islam juga menganjurkan untuk masyarakat menyampaikan pendapatnya terhadap kinerja dari penguasa, hal ini sebagai bentuk muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa). Muhasabah ini dilakukan masyarakat kepada penguasa yang zalim dan melanggar hukum syarak. Muhasabah lil hukkam bertujuan untuk mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dan mencegah terjadinya kemaksiatan yang dilakukan oleh penguasa. Muhasabah lil hukkam sangat dianjurkan dalam Islam, bahkan ia merupakan jihad yang paling utama. Rasulullah bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kata-kata yang haq (benar) di hadapan pemimpin yang zalim.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi).

Masyarakat boleh menyampaikan pendapatnya dalam majelis umat. Majelis umat inilah yang berfungsi mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam majelis umat, para anggotanya (masyarakat) boleh memberikan pendapat kepada khalifah terkait kemaslahatan rakyat dan mengingatkan penguasa jika melakukan kezaliman.

Khatimah

Sejatinya, UU ITE dalam negara demokrasi merupakan alat yang digunakan oleh penguasa untuk membungkam suara-suara kritis masyarakat sebab mereka tidak ingin ada yang mengganggu aktivitas pemerintahan. Dengan adanya UU ITE ini juga kian mengindikasikan kecacatan dari demokrasi tersebut yang katanya menjunjung tinggi kebebasan.

Hal tersebut berbeda ketika dalam Islam, muhasabah lil hukkam dilindungi, bahkan dianjurkan demi berjalannya sistem pemerintahan yang selaras dengan ketentuan Allah. Apalagi kita pahami bahwa khalifah dan pembantu-pembantunya merupakan manusia yang tidak luput dari kesalahan. Dengan adanya muhasabah lil hukkam ini maka pemimpin akan bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan membawa pada kesejahteraan masyarakat serta keberkahan bagi suatu negeri.

Wallahu a'lam bish-shawaab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Siti Komariah Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Tawaf, Ajaib bagi Kesehatan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
novianti
novianti
48 minutes ago

Kritikan dipandang sebagai ujaran kebencian. Penguasa yang kayak gini anti kritik, dan bersikap represif kepada rakyatnya. Katanya demokrasi, bebas berpendapat, tapi yang kritis malah ditekan.

Netty
Netty
49 minutes ago

Bebas berpendapat tapi ada undang-undang ITE. Sama juga boong. Wis angel pokoke. Baarakallahu fiik mb

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram