Koalisi besar di DPR berpotensi memihak penguasa, apa pun masalahnya. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan tidak pro rakyat, tetapi justru pro penguasa.
Oleh. Netty al Kayyisa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pelantikan anggota DPR RI periode 2024-2029 berlangsung pada Selasa, 1-10-2024 di ruang sidang paripurna, kompleks parlemen, Jakarta. Sebagaimana hajatan besar di Indonesia, pelantikan ini juga mendapat sorotan publik. Bukan dari sisi prosesi pelantikannya yang sudah biasa, tetapi pada komposisi 580 anggota DPR RI yang terpilih.
Dari seluruh partai kontestan pemilu, hanya ada 8 partai yang bisa meloloskan anggotanya menjadi anggota DPR RI. Komposisi perolehan kursi terbanyak tetap dipegang oleh PDI Perjuangan dengan 110 kursi. Sedangkan sisanya diduduki oleh partai koalisi pemenangan presiden terpilih Prabowo Subianto, yaitu Gerindra (86 kursi), Golkar (102 kursi), PAN (48 kursi), PKB (68 kursi), dan Demokrat (44 kursi). Dengan koalisi besar yang mendominasi parlemen, sudah dapat terbaca ke mana arah keberpihakan anggota parlemen hari ini.
Koalisi Memengaruhi Legislasi
Salah satu tugas DPR RI adalah melegislasi hukum yang akan diterapkan di negeri ini. Untuk periode 2024-2029 ada beberapa undang-undang yang dianggap penting untuk segera dilegislasi, diantaranya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang sudah bertahun-tahun belum selesai, RUU Mahkamah Konstitusi, hingga UU Masyarakat Hukum Adat yang akan menjadi prioritas pembahasan.
Melihat komposisi anggota DPR RI yang didominasi koalisi besar penguasa, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan sebagaimana diberitakan di kompas.com (6-10-2024) bahwa koalisi ini memiliki peluang menghasilkan sikap arogan DPR sehingga tidak membutuhkan dukungan publik. Legislasi hukum juga akan dianggap sebagai alat politik untuk meraih kepentingan-kepentingan tertentu daripada sebagai solusi atas persoalan rakyat. Koalisi ini juga berpotensi memihak penguasa apa pun masalahnya. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan tidak pro rakyat, tetapi justru pro penguasa.
DPR, Wakil Partai, Bukan Wakil rakyat
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan cratos yang artinya kekuasan. Ini seharusnya menjadikan rakyat sebagai penguasa sesungguhnya karena dalam demokrasi berlaku prinsip kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat diwakili oleh anggota parlemen untuk menyampaikan aspirasinya kepada penguasa.
Pada faktanya semboyan ini tidak pernah ada. Perwakilan rakyat di DPR bukan ditentukan dari aspirasi rakyat, tetapi dari partai. Setiap orang yang menjadi anggota partai, mampu memberikan mahar terhadap partai, mampu mendongkrak popularitas partai, dan ada hubungan erat dengan penguasa maka akan mudah melenggang ke kursi parlemen.
Tugas legislasi yang diemban juga tidak mencerminkan keinginan rakyat. Berbagai undang-undang yang selama ini disahkan sarat dengan kepentingan pihak-pihak tertentu dan makin menyengsarakan rakyat, seperti UU Cipta Kerja dan yang lainnya. Tidak ada aspirasi rakyat yang diserap sempurna. Yang ada hanya memanfaatkan suara mereka saat pemilihan dan meninggalkannya setelah berkuasa.
Demokrasi Sistem Kufur
Konsep perwakilan rakyat dan tugasnya dalam legislasi sejatinya menunjukkan konsep dasar kekuasaan dan kedaulatan di tangan rakyat yang menjadi ide dasar demokrasi. Rakyat dianggap pemilik kekuasan dan tidak bertanggung jawab terhadap siapa pun. Rakyat harus berkumpul dan membuat aturan untuk kehidupannya sendiri. Karena tidak mungkin mengumpulkan seluruh rakyat dalam suatu tempat untuk melegislasi hukum maka dibentuk lembaga legislatif yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR dianggap sebagai jelmaan politis rakyat dan mewakilinya dalam menetapkan hukum yang akan mengatur kehidupannya.
Agar DPR bisa menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat maka rakyat perlu dijamin kebebasannya seperti kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan bertingkah laku. Dalam menentukan hukum yang akan diberlakukan kepada rakyat, DPR harus memastikan terpenuhinya kebebasan ini.
Pemikiran ini jelas bertentangan dengan Islam yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya pemegang kedaulatan. Hukum dan undang-undang yang dijalankan dalam kehidupan rakyat harus bersumber dari Sang Pemilik Kehidupan. Hal ini ditegaskan Allah dalam surah Al-An’ám ayat 57, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik."
Dalam Islam tidak ada tempat bagi rakyat dan perwakilan rakyat untuk melegislasi hukum. Perwakilan rakyat bukan bertugas melegislasi hukum, tetapi menyalurkan aspirasi rakyat dan muhasabah terkait pelaksanaan hukum Islam oleh penguasa.
Khilafah Menjamin Aspirasi Rakyat
Dalam Khilafah terdapat lembaga yang disebut Majelis Umat yang merupakan perwakilan rakyat dalam menyampaikan aspirasi kepada penguasa. Majelis Umat berkedudukan di ibu kota Daulah Islam. Dalam satu wilayah, rakyat akan memilih wakil-wakilnya yang berasal dari wilayah tersebut, hidup bersama mereka, dan mengetahui aspirasi mereka untuk menjadi anggota Majelis Wilayah. Majelis Wilayah bertugas mengoreksi penguasa wilayah yang disebut wali dalam melaksanakan tugasnya. Para anggota majelis wilayah ini dapat dipilih menjadi anggota Majelis Umat untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah pusat, yaitu khalifah dan muawin (wakilnya).
Untuk menjadi anggota Majelis Wilayah dan Majelis Umat, mereka tidak harus melalui partai tertentu. Asal rakyat menghendakinya, seseorang bisa menjadi wakilnya. Tugas dan kewenangan Majelis Umat juga telah diatur dalam Islam. Mereka bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada khalifah, bermusyawarah dengan khalifah, dan sebagai pihak yang akan mengawasi secara langsung kinerja penguasa.
Saran dan pertimbangan dari majelis umat ada yang bersifat mengikat bagi khalifah dan ada yang hanya berupa saran. Misalnya berkaitan dengan penyediaan layanan umum di sebuah wilayah, pertimbangan Majelis Umat harus diambil oleh khalifah. Sedangkan jika berkaitan dengan perkara yang butuh keahlian, pertimbangan majelis umat dari kalangan ahli saja yang dipertimbangkan. Sementara itu, dalam proses legislasi hukum, khalifah tidak mengambil pendapat dari Majelis Umat, tetapi kembali pada hukum syarak dan ijtihadnya.
Selain menggunakan mekanisme Majelis Wilayah dan Majelis Umat untuk menyampaikan aspirasinya, rakyat juga bisa menyampaikan aspirasi dan mengoreksi penguasa secara langsung. Rakyat tidak membutuhkan izin dan protokol panjang untuk bisa bertemu khalifah. Ketika ada yang tidak sesuai dengan pelaksanaan hukum syarak oleh khalifah, rakyat bisa memuhasabahi secara langsung sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah ketika beliau ditanya tentang strategi perang Badar, apakah hasil wahyu atau pemikiran beliau. Khalifah Umar juga mengalami hal yang sama ketika dikoreksi oleh seorang perempuan atas kebijakannya yang dinilai tidak sesuai dengan Al-Qur’an.
Khatimah
Hanya dalam sistem Islam rakyat bisa menyalurkan aspirasinya dan mendapat keadilan dalam hukum. Tidak perlu ada koalisi partai untuk bisa menduduki posisi sebagai wakil rakyat. Cukup hidup bersama mereka, mengenal mereka, mengetahui aspirasi dan apa yang mereka butuhkan, menjadi penengah dan penyelesai masalah mereka, rakyat sendiri yang akan memilihnya menjadi wakil mereka di Majelis Wilayah maupun Majelis Umat. Wallahualam bissawab.[]
Koalisi dibentuk hanya untuk kepentingan mereka yang duduk di kursi kekuasaan.
Jazakillah khoir mom dan seluruh tim NP yang berkenan menayangkan artikel ini
Siapa yg diuntungkan? Ya, mereka2 jugalah..
Yang di atas. Yang di bawah tetap ngenes. Matur nuwun mbak sudah mampir