Kebiasaan ini dikenal dengan sebutan doom spending, yaitu sebagai tindakan berbelanja yang tidak terkendali tanpa pertimbangan matang.
Oleh. Rastias
(Kontributor NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Belakangan ini, banyak individu dari Gen Z dan milenial lebih suka menghabiskan uangnya untuk jalan-jalan, belanja barang-barang branded, makan-makan, dan sebagainya daripada menyimpan atau menabungnya. Sering kali ini dilakukan sebagai self reward atau cara untuk mengatasi rasa cemas dan pesimisme yang menyelimuti mereka.
Kebiasaan ini dikenal dengan sebutan doom spending, yaitu sebagai tindakan berbelanja yang tidak terkendali tanpa pertimbangan matang. Hal ini sering kali dilakukan sebagai cara meredakan rasa cemas dan pesimisme terhadap kondisi ekonomi atau masa depan.
Doom spending memang dapat memberikan kelegaan, tetapi sifatnya sementara. Oleh karena itu, apabila kebiasaan ini dibiarkan maka berpotensi mengakibatkan kemiskinan lebih cepat pada Gen Z dan milenial dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. (cnbcindonesia.com, 25-9-2024)
Penyebab Doom Spending
Penyebab munculnya perilaku doom spending biasanya dipicu oleh faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut bisa terjadi karena adanya ketidakpastian ekonomi global atau ketimpangan kekayaan antara si miskin dan si kaya. Dari kondisi yang sulit ini, seseorang berusaha mencari pelipur lara dalam bentuk membeli barang, meskipun barang tersebut tidak diperlukan atau di luar kemampuan finansial.
Berdasarkan hasil survei Intuit Credit Karma pada November 2023, terdapat 96 persen warga Amerika yang khawatir dengan kondisi ekonomi saat ini. Sementara itu, lebih dari seperempatnya terlibat dalam doom spending untuk menghilangkan stres. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga di beberapa negara lain.
Fenomena ini juga terjadi karena adanya doom scrolling. Tidak bisa dimungkiri bahwa Gen Z dan milenial hidup di era digital, di mana semua informasi mudah didapat dengan cepat. Doom scrolling yaitu seseorang menghabiskan banyak waktu untuk membaca berita buruk di media sosial. Contohnya, membaca informasi krisis ekonomi global, pandemi Covid-19, perang, tingginya tingkat pengangguran, dan sebagainya sehingga membuat seseorang merasa cemas dan pesimis.
Dari sinilah muncul keinginan seseorang untuk melakukan doom spending. Alih-alih menabung untuk masa depan yang kelihatannya suram, mereka memilih YOLO (you only live once). Artinya, menjalani hidup di masa sekarang sehingga mereka menghabiskan uangnya untuk membeli sesuatu yang bisa membuat bahagia. Bisa dikatakan, ini adalah sebuah kepuasan instan.
Di sisi lain, gaya hidup hedonisme dan sosial media juga ikut berperan di dalamnya. Mudahnya akses masuk ke platform e-commerce dan media sosial mempercepat fenomena ini. Konten gaya hidup mewah teman atau influencer menciptakan norma baru tentang konsumsi. Hal ini mendorong seseorang belanja untuk memenuhi standar tertentu. Apalagi saat ini proses belanja dimudahkan. Bisa belanja secara online dengan proses pembayarannya juga tidak ribet, tinggal dengan “klik satu kali” selesai. (Kontan.co.id, 2-10-2024)
Mewaspadai Jebakan Kapitalisme
Budaya konsumtif dan hidup hedonisme yang tampak hari ini merupakan salah satu buah busuk dari kapitalisme. Hedonisme merupakan paham atau keyakinan hidup yang cenderung fokus pada kesenangan sesaat yang berkembang di masyarakat untuk menghindari rasa sakit dan penderitaan. Hedonisme dan kapitalisme terjalin berkelindan karena memiliki visi hidup yang sama, yaitu mendapat kesenangan dan kenikmatan semata.
Dalam kapitalisme, standar kebahagiaan hidupnya adalah memperoleh kemewahan dunia. Standar ini telah menjadi patokan umum di dalam masyarakat modern saat ini. Walhasil, mereka berlomba-lomba untuk mencapai standar mewah tersebut. Contohnya, membeli barang-barang branded, baju harus trendi, makan-makan di tempat mahal, jalan-jalan ke luar negeri, dan sebagainya.
Oleh karena itu, selama masih hidup dalam sistem kapitalisme, gaya hidup hedonisme dan konsumtif akan selalu mengikuti dan dipelihara. Tujuannya untuk ekonomi kapitalis, yaitu memanfaatkan Gen Z dan milenial sebagai penggerak perekonomian. Mereka merupakan penyumbang pengeluaran konsumsi rumah tangga terbesar.
Berdasarkan Riset NielsenIQ dan World Data Lab, diperkirakan pengeluaran Gen Z di dunia pada tahun 2024 sebesar US$9,8 triliun atau sekitar Rp148,3 kuadriliun. Jumlah tersebut pun diperkirakan akan terus meningkat sampai tahun 2030 sebesar US$12,6 triliun. (tempo.co, 1-10-2024)
Di sisi lain, gaya hidup hedonisme dan konsumtif dalam kapitalisme memang sengaja diinjeksi yang sasaran utamanya adalah generasi muda muslim. Mengapa demikian? Pasalnya, ketika generasi muda disibukkan dengan 3F (food, fun, fashion) akan menjauhkan mereka dari profil generasi muslim yang hakiki.
Para pengusung kapitalisme paham betul, generasi muda muslim itu ibarat ujung tombak yang bisa membangkitkan kembali kehidupan Islam dan merobohkan hegemoni peradaban kapitalisme. Oleh karena itu, gaya hedonisme dan budaya konsumtif terus diinjeksi terhadap generasi muda muslim untuk mencegah kebangkitan peradaban Islam.
Sistem Ekonomi Kapitalisme
Dalam kapitalisme, sistem ekonomi yang diterapkan di setiap negara dunia tidak memiliki mekanisme menyejahterakan rakyat. Seperti Indonesia saja yang merupakan negara dengan limpahan kekayaan SDA, justru masyarakatnya banyak yang miskin dan terjadi ketimpangan ekonomi.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, pengusaha atau pemilik modal diberi hak kepemilikan atas SDA yang seharusnya untuk rakyat. Mereka bebas mengeruknya, bahkan menjualnya. Akibatnya, rakyat hanya mendapat yang remeh, yaitu pajak. Oleh karena itu, ketimpangan terjadi. Mereka yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.
Baca: doom-spending-cemas-masa-depan/
Lapangan kerja yang tersedia juga tidak memadai sehingga tingkat pengangguran tinggi. Bahkan mirisnya, sistem upah rendah tidak sebanding dengan keterampilan kerja. Kemiskinan dan ketimpangan ini akan membawa dampak bahaya pada sektor pendidikan. Pendidikan yang didapat masyarakat tidak merata sehingga akan berdampak pula pada kualitas generasi muda.
Dari semua permasalahan ekonomi kapitalisme ini, akhirnya mendorong Gen Z dan milenial mengambil jalan doom spending untuk menghilangkan rasa cemas akan masa depannya.
Solusi Islam agar Tidak Terjebak Doom Spending
Sebagai seorang muslim sudah seharusnya setiap aktivitasnya dikaitkan dengan tujuan hidup di dunia. Tujuan hidup tersebut yaitu beribadah kepada Allah Swt. dengan cara menjalankan semua aturan-Nya. Oleh karena itu, kehidupannya harus berjalan sesuai dengan syariat Islam, seperti:
Pertama, prioritaskan kebutuhan, bukan keinginan. Sebagaimana Islam telah mengajarkan kaum muslim untuk berperilaku hemat seperti yang telah tercantum dalam Al-Qur'an surah Al-Isra ayat 26—27, yaitu janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya perilaku boros adalah perilaku setan dan setan itu sangat ingkar kepada Allah Swt.
Kedua, syukuri segala sesuatu yang telah Allah Swt. berikan. Tidak memaksakan diri untuk membeli sesuatu jika belum mampu.
Ketiga, dalam Islam ada larangan menimbun harta atau menyimpan harta tanpa adanya rencana tertentu. Jadi, boleh menabung tetapi dengan rencana tertentu, misalnya untuk anak sekolah, membangun rumah, berangkat haji, dan sebagainya.
Keempat, dalam ranah negara, setiap menetapkan kebijakan tidak boleh membeda-bedakan kelompok masyarakat berdasarkan ekonominya. Dalam Islam, terpenuhinya kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) merupakan hak tiap individu, bukan berdasar per kapita.
Dalam aspek pendidikan dan kesehatan, negara wajib memberikannya secara gratis dengan pembiayaan yang diambil dari baitulmal. Baitulmal sendiri salah satu pemasukannya berasal dari pengelolaan SDA.
Kelima, negara wajib menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi rakyatnya. Dengan kebijakan tersebut, masyarakat tidak lagi merasa cemas, pesimisme, bahkan stres yang akan membawa kepada tindakan doom spending.
Khatimah
Demikianlah ketika Islam dijadikan sebagai standar hidup manusia. Pelarian rasa cemas pada doom spending akan berubah pada bentuk kegiatan positif yang sejalan dengan syariat. Semua itu hanya bisa terwujud ketika sistem penjajah yakni kapitalisme diganti dengan sistem Islam kaffah.
Wallahualam bissawab.[]
Doom spending ada yaa cuma di alam kapitalis sekuler kayak skr ini
Mewaspadai budaya hedonis harus dipahamkan sejak dini.
Yo bahaya tah?
Jelas bahaya
Rasa cemas atau pesimisme bisa dikelola kalau caranya yg benar. Namun, ya, itulah kondisi kehidupan yg jauh dari agama. Apa2 diselesaikan menurut hawa nafsunya sendiri. Bukannya selesai, malah nambah masalah.
Sistem kapitalisme mendorong seseorang berpikir pendek hanya pada kepentingan dunia dan egois, mikir untuk diri sendiri. Ditambah lagi karena sikap putus asa, tidak ada harapan. Beginilah derita manusia dalam sistem kapitalisme. Jadi budak industri, korban produk dan jasa, pada saat yang sama, menjadi sekrup industri.
Astagfirullah..dari segala arah kaum muslimin di rusak pemahamannya tentang kehidupan. Selamanya akan seperti ini jika tidak terjadi perubahan mendasar di mulai dari pemikiran/ akidah.
Terimakasih tulisannya sangat bagus dan mengungkap fakta dg jelas juga solusi mendasar..keren