Penyebab TikTok shop dan sejenisnya hendak dilarang adalah karena omzet penjualan UMKM menurun akibat tidak mengikuti perkembangan digital. Seharusnya pemerintah memfasilitasi itu. Sayangnya, segala kebutuhan digital harus disediakan oleh penjual secara mandiri.
Oleh. Firda Umayah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hai Sobat, apakah kamu pengguna TikTok? Kalau iya, pasti tahu dong kalau TikTok saat ini sering menjadi ajang untuk jualan? Apakah kamu juga tahu, bahwa TikTok sedang memperebutkan potensi pasar? Yup,TikTok sedang mengadopsi shoppertainment alias perdagangan berbasis konten. Enggak main-main, prediksi potensi bisnis belanja di ranah ini bisa meraup untung sekitar Rp405 triliun pada 2025 nanti. Wow, angka yang fantastis, bukan?
Namun, karena potensi besar itulah, pemerintah justru berencana melarang penjualan melalui TikTok. Hem, kira-kira kenapa, ya? Info dari media online medcom.id 18/09/2023, larangan ini merupakan respons pemerintah atas keluhan para Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang enggak mampu menyaingi serbuan barang murah dari TikTok shop. Omzet penjualan UMKM dan pasar offline pun menurun tajam. Banyak konsumen yang beralih membeli keperluan via online lantaran harganya lebih murah, varian barangnya lebih banyak, lebih efektif, dan efisien.
Memang, sih, di satu sisi belanja online seperti TikTok shop punya banyak keunggulan. Namun, di sisi lain, rupanya membawa dampak negatif bagi para penjual offline termasuk para UMKM. Hem, kalau sudah begini, kira-kira adakah solusi untuk mengatasi masalah tersebut? Bagaimana sih Islam memandang masalah ini? Yuk, baca ulasan berikut!
Bagai Buah Simalakama?
Di era digital saat ini, memang enggak dapat dimungkiri masyarakat lebih suka mencari sesuatu yang cepat dan mudah. Ditambah dengan sistem sekularisme yang menjadikan materi sebagai tonggak utama dalam beraktivitas, bikin masyarakat berpikir dangkal dalam memutuskan segala hal. Di mana ada keuntungan yang lebih besar, di sanalah peluang banyak bermunculan. Terlebih lagi dalam masalah perdagangan. Pedagang akan cenderung memilih jalan yang dapat menekan biaya modal sekecil mungkin. Sedangkan pembeli akan mencari biaya yang lebih murah untuk mendapatkan barang yang berkualitas. Simbiosis mutualisme antara pedagang dan pembeli saat ini banyak terdapat dalam marketplace. Tapi, tahukah, Sobat, kalau marketplace juga memiliki beberapa kelemahan?
Kasus penipuan dengan berbagai motif ternyata juga kerap menimpa para pembeli. Ketika membeli barang secara online, meskipun menggunakan fitur live streaming, kondisi barang yang tidak sesuai kenyataan, juga masih ditemukan, lo. Enggak cuma itu, akad jual beli dalam marketplace juga ada yang bertentangan dengan syariat Islam. Online shopyang banyak menjual barang impor, juga tak jarang kurang memperhatikan risiko di balik penjualan barang tersebut. Barang impor seperti thrifting alias barang bekas sering kurang diperhatikan risiko kesehatannya. Sedangkan barang impor lain ternyata jumlah yang masuk memang bikin keder para penjual lokal atau UMKM.
Sejak Agustus, banyak produsen lokal kewalahan dengan serbuan barang impor yang harganya jauh lebih murah. Mereka berharap pemerintah bisa lebih selektif untuk mengatur masuknya barang impor ke dalam negeri. Jika pemerintah cenderung abai akan hal ini, usaha dalam negeri tentu akan makin terperosok. Fakta menunjukkan, tiap tahun jumlah produsen lokal yang gulung tikar makin banyak. Sebagian justru berganti menjadi perakit barang impor lantaran modal yang dibutuhkan tidak sebanyak saat memproduksi usaha sendiri. Serbuan impor yang sempat diklaim pemerintah mampu meningkatkan pendapatan negara ternyata lebih menguntungkan para importir ketimbang masyarakat. Alasan lain yang kerap dilontarkan pemerintah ketika mengimpor barang adalah karena ketersediaan dalam negeri yang tidak mencukupi, merupakan bagian dari kesepakatan dengan negara-negara lain, dll.
Inilah mengapa ketika pemerintah dihadapkan dengan produsen lokal dan produk impor, bisa menjadi buah simalakama. Kok bisa? Di satu sisi pemerintah ingin memajukan produksi lokal, tapi di sisi lain pemerintah sulit membatasi barang impor karena berbagai hal. Terus, kalau begitu, langkah apa yang tepat untuk dilakukan?
Bijak Menyikapi Marketplace dengan Islam
Sobat, sebelum menyelesaikan suatu masalah, harusnya dicari dahulu akar masalahnya. Penyebab TikTok shop dan sejenisnya hendak dilarang adalah karena omzet penjualan produk lokal atau UMKM yang menurun. Omzet menurun diduga terjadi karena UMKM kurang berinovasi dengan kemajuan digital, serbuan barang impor, dll. Ketika penyebabnya adalah kurang inovasi, maka pedagang secara enggak langsung memang dituntut untuk mengikuti perkembangan digital tersebut. Dalam hal ini, pemerintah juga telah mengimbau agar para pedagang juga melakukan penjualan secara online dan live streaming. Sayangnya, modal dan segala kebutuhannya harus disediakan oleh penjual secara mandiri. Adapun karena serbuan barang impor, sebenarnya ini terkait dengan kebijakan suatu negara dalam sistem politik dan ekonominya.https://narasipost.com/opini/01/2023/rela-jadi-pengemis-di-dunia-maya-demi-cuan/
Ketika sistem politik dan ekonomi yang dipakai adalah sistem kapitalisme, maka negara tentu tak akan menghentikan impor begitu saja. Negara sekuler akan lebih memperhatikan kepentingan para kapitalis yang berada di balik impor tersebut. Ini hal yang wajar, mengingat sistem kapitalisme memang meniscayakan hal itu. So, kalau penyebab merosotnya omzet penjualan produk lokal karena serbuan barang impor, jelas ini enggak bisa diselesaikan begitu saja. Selama sistem kapitalisme menjadi pedoman dalam sistem politik dan ekonomi negara tersebut maka rantai impor akan terus membanjiri negeri.
Dalam Islam, negara sebagai pengurus dan penanggung jawab semua urusan rakyat, haruslah cermat dan teliti dalam memutuskan suatu perkara. Ketika era digital menuntut para produsen lokal turut serta dalam transformasi digital, negara harus memfasilitasi hal tersebut. Negara juga harus mendampingi dan memastikan bahwa semua orang yang terjun dalam dunia bisnis memiliki pemahaman Islam agar tidak terjadi pelanggaran hukum syarak. Negara harus mengontrol keberadaan marketplace agar tidak bertentangan dengan syariat Islam. Negara berhak menentukan seberapa penting keberadaan marketplace tersebut. Allah Swt. berfirman,
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ
“.... maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau menuruti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu...” (QS. Al-Maidah: 48)
Sedangkan untuk masalah impor, ini harus dilihat seberapa besar kepentingan untuk melakukan hal tersebut. Negara tetap harus memprioritaskan produk dalam negeri agar ekonomi masyarakat terangkat begitu juga dengan ekonomi negara. Kalaupun impor dibutuhkan, maka ini dilakukan dalam jangka waktu tertentu, digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, tidak diambil dari kaum kafir yang memerangi Islam, bukan merupakan persenjataan militer dan barang yang diharamkan oleh Islam, dll.
Dalam penjualan, negara juga harus memastikan rantai distribusinya pendek, yaitu dari pedagang ke konsumen. Ini untuk menghindari segala bentuk kecurangan, penimbunan, permainan harga, dll. Keridaan penjual dan pembeli adalah kunci dalam jual beli berdasarkan syariat Islam. Jika penjual telah menjelaskan barangnya dengan jelas dan pembeli juga telah cukup untuk menerima informasi tersebut maka transaksi yang dilakukan merupakan bentuk dari keridaan keduanya. Jika setelah itu ada perkara antara penjual dan pembeli yang tak dapat diselesaikan oleh keduanya, maka negara akan menerjunkan kadi hisbah untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dengan begitu, segala permasalahan yang ada di tengah masyarakat akan segera diatasi.
Penutup
Menggunakan kecanggihan teknologi dalam transaksi jual beli seperti berdagang menggunakan marketplace pada dasarnya merupakan aktivitas mubah (boleh) yang dilakukan oleh umat Islam. Namun sebelum menggunakannya, muslim harus memahami segala hukum syarak yang berkenaan dengan hal tersebut. Adapun dengan penjualan melalui marketplace yang sering dianggap merugikan produk lokal, ini butuh identifikasi masalah yang tepat dari negara. Sebab Islam juga membiarkan perdagangan komoditas di luar kebutuhan dasar masyarakat agar berjalan dengan mekanisme pasar yang telah ditentukan oleh hukum syarak. Wallahu a'lam bishawab.[]
Dari dulu memang gak respect sama Tiktok.. dengan dalih alogaritma,yang diviralkan mereka-mereka yang tidak pantas jadi teladan, seperti Citayam fashion week kemarin
Tarik ukur kebijakan pemerintah tidak akan bisa jadi solusi yang sahih, ketika tidak berpijak kepada aturan Islam termasuk di dalamnya jual beli via online.
Ketika urusan muamalah tetap mengacu pada hukum syarak, maka keabsahannya akan terjaga. Walau dengan menggunakan uslub & sarana yang terus berkembang
Ya, benar sekali
Meski teknologi makin canggih, beli ini dan itu lebih mudah, tapi tetap harus lebih hati-hati dalam proses jual beli. Akad-akadnya harus jelas juga. Problemnya kebanyakan masyarakat itu kalau lihat harga murah langsung khilaf, tanpa lihat hukum syaraknya.
Sistem kapitalisme memang bikin masyarakat berpikir pendek. Astagfirullah
Butuh kebijakan negara yang adil untuk rakyat. Tidak asal memutuskan perkara dan menyalahkan pihak lain atas suatu masalah
Satu sisi para shopper senang dengan barang murah, satu sisi ada kapitalis mengeruk keuntungan dan merugikan rakyat. Percayalah, ini hanya ada di sistem kapitalisme.
Jd emang bener, umat butuh Islam sebagai solusi. Adanya barang murah sekaligus para pedagang dan pengusaha tak merugi, apalagi bersaing dengan negara kafir harbi. Hmm.... no way.