Padahal sejatinya, jaminan kesehatan itu adalah kamuflase para penguasa dan korporasi dalam meraup cuan.
Oleh. Siti Komariah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Para pemimpin dunia telah menyetujui deklarasi politik baru tentang cakupan kesehatan universal (UHC), pada Pertemuan Tingkat Tinggi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 21 September 2023.
Para pemimpin dunia bermufakat untuk mengambil tindakan-tindakan nasional, investasi penting, memperkuat kerja sama internasional, dan solidaritas global pada tingkat politik tertinggi. Hal ini bertujuan untuk mempercepat kemajuan menuju UHC pada tahun 2030, dengan menggunakan pendekatan layanan kesehatan primer (PHC).
Pelayanan kesehatan primer (PHC) merupakan serangkaian layanan dasar yang berpusat pada kebutuhan kesehatan rakyat. Dalam hal ini, PHC akan mampu membangun sistem kesehatan yang kuat dalam sebuah negara, dan yang paling penting seluruh masyarakat nantinya bisa dengan mudah memperoleh layanan kesehatan, di mana pun, dan kapan pun mereka membutuhkan, tanpa takut terkendala biaya atau uang.
Oleh karena itu, WHO menganjurkan seluruh negara, termasuk bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia untuk segera beralih kepada layanan kesehatan primer. Namun, untuk mewujudkan layanan kesehatan primer di negara berkembang atau negara-negara berpendapatan rendah dan menengah membutuhkan tambahan investasi sebesar Rp200 miliar-Rp328 miliar per tahun atau ekuivalen Rp3.097 triliun hingga Rp5.088 triliun (kompas.com, 29/09/2023).
Kesehatan Jadi Ajang Bisnis
Pelayanan kesehatan yang terjamin dan berkualitas dengan biaya murah, bahkan gratis memang merupakan dambaan bagi semua orang. Namun, benarkah kesehatan tersebut mampu terwujud melalui penerapan pelayanan kesehatan primer (PHC) yang disepakati oleh para pemimpin dunia?
Jamak diketahui bahwa dalam sistem kapitalisme yang diterapkan seluruh negara di dunia ini, termasuk organisasi kesehatan dunia (WHO) pun bernaung di dalamnya sangat mustahil untuk mengimplementasikan kesehatan demi kesejahteraan rakyat. Sebab, dalam sistem ini landasan utama seluruh kebijakan hanya demi meraih keuntungan. Maka, semua aspek, termasuk dunia kesehatan pun tak luput dari kapitalisasi.
Sebagai pengetahuan, kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi seluruh manusia dan dia bersifat mutlak. Kata sehat tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, mulai dari makanan, obat-obatan, pelayanan kesehatan, dan lainnya. Oleh karena itu, sektor ini menjadi salah satu sektor strategis untuk menghasilkan cuan bagi para oligarki. Dengan kata lain, dunia kesehatan dijadikan bagian dari ajang bisnis yang sangat menggiurkan. Walaupun sejatinya dia adalah tanggung jawab negara kepada rakyatnya. Namun dalam sistem kapitalisme riayah negara kepada rakyat dijauhkan, bahkan sebisa mungkin untuk dihilangkan. Hal ini tampak terlihat bagaimana negara menyerahkan tanggung jawabnya tersebut kepada badan jaminan kesehatan milik swasta atau asing dengan dalih jaminan kesehatan nasional. Padahal sejatinya, jaminan kesehatan itu adalah kamuflase para penguasa dan korporasi dalam meraup cuan.
Bisa basa :
1.https://narasipost.com/opini/06/2022/biaya-kesehatan-tanggung-jawab-siapa/
2.https://narasipost.com/opini/01/2023/ruu-kesehatan-menjadi-ancaman-atau-membawa-perubahan/
Sebut saja, dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Badan ini pertama kali dibentuk sebagai badan kesehatan agar masyarakat dapat mengakses kesehatan dengan mudah. Namun, jika kita mencermati secara detail aturan-aturan yang tercantum di dalamnya, BPJS tak ubahnya sebagai asuransi. Rakyat harus membayar sejumlah premi jika ingin menikmati layanan kesehatan. Bahkan, faktanya rakyat juga sulit mendapatkan layanan kesehatan, tersebab administrasi yang sangat ribet dan berbelit-belit. Lalu di mana letak jaminannya? Bukankah jaminan seharusnya rakyat mendapatkan layanan kesehatan secara mudah dan gratis?
Wujudkan PHC, Dana dari Mana?
Untuk mewujudkan pelayanan kesehatan primer (PHC) di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, maka membutuhkan tambahan dana yang begitu fantastis. Lalu yang menjadi pertanyaannya, dari mana datangnya dana tersebut?
Jawabannya, lagi-lagi tambahan dana tersebut jelas dari investasi para pemilik modal. Investasi di dalam sistem kapitalisme nyatanya adalah jebakan yang membuat negara tersebut tunduk pada investor. Negara harus mengikuti apa yang diinginkan oleh investor, walaupun harus mengorbankan rakyat. Sebagaimana, kebijakan-kebijakan yang lalu-lalu, seperti RUU Kesehatan. Jika oligarki sudah menanamkan modalnya di sektor kesehatan, mulai dari pembangunan rumah sakit, pengadaan obat-obatan, dan lainnya, bisa dipastikan bahwa pelayanan kesehatan tersebut tidak lagi memandang kesejahteraan rakyat, melainkan pada keuntungan semata.
Jika sistem kesehatan resmi dikomersialkan, imbasnya rakyat harus membayar mahal jika ingin menikmati atau mendapatkan layanan kesehatan terbaik. Saat ini saja, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas, rakyat harus merogoh kocek dalam-dalam. Walaupun penguasa menyediakan layanan jaminan kesehatan, seperti BPJS, nyatanya layanannya pun sangat ribet dan berbelit.
Masih lekat dalam ingatan, pada pertengahan tahun 2022, seorang pasien harus meregang nyawa di Dukcapil Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel). Dilansir dari detik.com, 16/03/2022, pasien tersebut bernama Amiluddin. Pasalnya, pasien tersebut sedang dirawat di RSUD Bulukumba dan harus dioperasi, namun karena biaya operasi sangat besar. Ia ditawarkan untuk mengurus BPJS, sehingga ia berangkat ke kantor Dukcapil untuk melakukan perekaman E-KTP untuk keperluan pengurusan BPJS Kesehatan. Belum selesai melakukan persyaratan untuk mengurus BPJS Kesehatan, dia harus meninggal di Dukcapil.
Kasus-kasus di atas satu dari sekian kasus yang menjadi bukti bahwa slogan "rakyat miskin dilarang sakit" di dalam sistem kapitalisme telah nyata. Bahkan, walaupun sistem kesehatan beralih kepada sistem kesehatan berbasis primer nyata sulit terwujud, sebab landasan utama sistem politik kesehatan bukanlah kemaslahatan rakyat, namun demi keuntungan semata.
Sistem Kesehatan dalam Islam
Tak dimungkiri bahwa untuk mewujudkan sistem kesehatan yang kuat dan berkualitas, serta bisa menyentuh seluruh masyarakat, baik rakyat miskin maupun kaya, tanpa mereka memikirkan biaya kesehatan nyatanya membutuhkan dana yang cukup fantastis. Jika sistem kapitalis, dana tersebut diambil dari investasi para pemilik modal yang akhirnya mengorbankan rakyatnya, padahal negaranya merupakan negara yang kaya SDA.
Hal ini berbeda dalam sistem Islam. Islam memiliki pos pemasukan tetap untuk mengelola pemasukan dan pengeluaran biaya anggaran negara, tentu semua itu didasarkan pada syariat Allah. Pos penyimpanan tersebut yakni baitulmal. Harta yang tersimpan di sini didapat dari kharaj, fa'i, zakat, harta waris yang tidak ada pewarisnya, hasil pengelolaan SDA, dan lainnya. Harta tersebut didistribusikan sesuai dengan ketentuan syarak.
Seperti sistem kesehatan, Islam memandang bahwa kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Rasulullah bersabda, "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari). Khalifah juga memastikan bahwa kesehatan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat dari berbagai elemen, baik miskin maupun kaya secara murah, bahkan gratis.
Dana yang digunakan untuk membiayai sistem kesehatan yang berkualitas dan kuat tersebut berasal dari baitulmal, yakni bersumber dari hasil pengelolaan SDA yang ada di negeri tersebut. Perlu kita pahami, dalam Islam, pengelolaan SDA wajib dilakukan oleh negara dan hasilnya hanya untuk kesejahteraan rakyat. Haram hukumnya SDA tersebut diswastanisasi, baik oleh asing maupun lokal.
Dengan pengelolaan SDA. yang melimpah di Indonesia ini sesuai syariat Allah, maka bisa dipastikan bahwa Indonesia akan mampu mewujudkan sistem kesehatan primer tanpa harus melakukan investasi kepada para oligarki. Lagi pula, investasi pada bidang-bidang strategis, seperti pada sistem kesehatan, pendidikan, infrastruktur haram dilakukan oleh negara. Sebab, bisa menghilangkan kedaulatan suatu negara yang berimbas pada hilangkan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan rakyat oleh negara.
Bukti diterapkan sistem Islam mampu membangun sistem kesehatan yang kuat telah tampak pada masa kejayaan Islam silam. Pada zaman pertengahan, rumah sakit telah tersebar di berbagai kota besar. Misalnya, di Kairo, rumah sakit Qalawun dibangun dengan begitu mewah dan besar yang mampu menampung hingga 8000 pasien. Rumah sakit ini tidak hanya digunakan untuk pengobatan penyakit saja, namun digunakan untuk pengembangan riset untuk menunjang kemajuan dunia kesehatan. Bahkan, pelayanan sistem kesehatan Islam menjadi favorit bagi para pelancong asing. Walaupun mereka tidak sakit, mereka menjajal hanya sekadar menikmati pelayanan kesehatan Islam. Para staf tetap melayani dengan keramahan dan memeriksa mereka. Jika mereka tidak sakit, para turis diminta untuk meninggalkan rumah sakit setelah 3 hari dipastikan sehat. Sungguh gambaran sistem kesehatan dunia yang luar biasa.
Khatimah
Apa pun bentuk kebijakannya. Berapa kali pun kebijakan tersebut mengalami perubahan. Sesungguhnya tidak akan mampu untuk menyentuh akar masalah dunia kesehatan, jika sistem kapitalisme masih menjadi pijakan. Sebab, fondasi kapitalisme adalah pondasi yang bobrok yang memandang segala aktivitas, termasuk kepemimpinan adalah cuan.
Masalah dunia kesehatan begitu kompleks dan membutuhkan solusi yang kompleks pula. Maka, sudah saatnya kembali pada aturan yang sahih. Aturan yang berasal dari Zat yang menciptakan manusia. Aturan ini hanya akan terwujud, jika Islam diterapkan dalam bingkai Khilafah Islamiah, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Wallahu a'lam bissawab.[]
Jadi inget sesedokter yang bilang, Berobat itu tidak menyembuhkan, intinya begitu. Ngeri kalau kesehatan jd ajang bisnis
Layanan kesehatan hanya akan aman dan nyaman pada sistem pemerintahan dalam Islam
Sudah jamak diketahui pelayanan kesehatan yang prima dalam sistem kapitalisme ibarat api jauh dari panggang. Rakyat hanya hanya dijanjikan harapan kosong
Menggemborkan kesehatan murah, memang sepertinya hanya ilusi. Gak mungkin ada kata murah jika prioritas layanan kesehatan adalah keuntungan. Betul sangat juga, kalau memiliki BPJS itu bukan berarti masalah layanan kesehatan sudah selesai. Prinsip kapitalisme itu, kalau masih bisa mahal, kenapa harus dikasih murah, hehe ...