Dana investasi transisi energi justru menimbulkan mudarat karena melemahkan kedaulatan negara Indonesia.
Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Saat KTT G20 di Bali tahun lalu, Indonesia merupakan salah satu negara yang berkomitmen untuk melakukan transisi energi dari bahan bakar fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT). Peralihan energi ini dilakukan dengan dalih demi mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah perubahan iklim. Tentu saja proses peralihan ini tidak bisa serta-merta dilakukan oleh Indonesia sebab membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, Amerika Serikat dan Jepang menginisiasi dana investasi masa transisi energi melalui skema Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership /JETP). Rencananya dana transisi energi untuk Indonesia sebesar 300 triliun rupiah.
Indonesia menyambut baik komitmen pendanaan ini karena akan mempercepat target net zero emission pada tahun 2060. Dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), pengembangan industri baterai, peningkatan efisiensi energi, dan pembiayaan untuk masyarakat terdampak transisi energi. Adapun skema pendanaan JETP berasal dari komitmen negara-negara G7 ditambah Norwegia dan Denmark. Selain itu, pendanaan ini juga melibatkan sektor swasta, yaitu Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) yang terdiri atas Bank of America, Citi, HSBC, Deutsche Bank, Macquarie, Standard Chartered, dan MUFG. (antaranews.com, 23/8/2023)
Tiga ratus triliun rupiah merupakan angka yang sangat besar. Oleh sebab itu, penting bagi kita mengetahui urgensi dan bahaya dana tersebut, serta pandangan Islam terhadap investasi asing.
Berbahayakah Investasi Asing dalam JETP?
Sebelum membahas urgensi dana investasi transisi energi untuk Indonesia, ada baiknya mengupas terlebih dahulu klaim pentingnya beralih ke EBT. Sebelum mesin uap ditemukan pada tahun 1750, suhu dan iklim bumi baik-baik saja alias normal. Akan tetapi, semua berbeda setelahnya, suhu bumi terus meningkat dan ancaman perubahan iklim makin nyata. Semua ini akibat kerakusan Barat dengan memproduksi secara brutal berbagai jenis kebutuhannya tanpa memperhitungkan jumlah karbon yang dilepas ke udara.
Ketika negara-negara Barat membabi buta melakukan revolusi industri, Indonesia dan negara berkembang lainnya masih menjadi “hutan belantara”. Ratusan tahun kemudian, pada saat bumi di ambang batas toleransi karbon, Barat meminta seluruh negara ikut bertanggung jawab menyelamatkan bumi dengan menandatangani beragam perjanjian dan program. Salah satunya melalui Perjanjian Paris yang berisi komitmen mencegah kenaikan suhu bumi lebih dari 1,5 derajat celsius.
Adapun program yang diyakini dapat mencegah kenaikan suhu ini adalah dengan beralih dari energi fosil menjadi energi baru terbarukan. Demi melancarkan narasi dan aksi “penyelamatan” bumi dari emisi karbon yang berlebihan, salah satu langkahnya dengan membuat mekanisme pendanaan investasi ala JETP.
Dari kronologis ini dapat diketahui bahwa pihak yang paling bertanggung jawab atas ancaman perubahan iklim adalah negara-negara industri. Idealnya, negara-negara ini yang seharusnya “diet ketat” mengurangi emisi karbon hingga nol, bukan negara-negara berkembang sebab angka emisi karbonnya tidak sebesar negara industri. Dikutip dari cnnindonesia.com (14/6/2023), Cina merupakan penyumbang emisi karbon terbesar, lalu diikuti Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, India, dan Rusia. Indonesia ada di peringkat ke-11 sebagai negara penyumbang emisi karbon.
Baca juga :
1.https://narasipost.com/opini/06/2023/menguak-ambisi-asing-di-balik-proyek-transisi-energi-hijau/
2.https://narasipost.com/opini/01/2022/liberalisasi-sektor-migas-di-balik-rencana-pengalihan-bbm/
Akan tetapi, demikianlah tabiat negara-negara pengusung kapitalisme. Meskipun secara kasatmata bersalah, sebisa mungkin mereka tidak akan mengakui kesalahannya. Caranya dengan membuat narasi-narasi yang sifatnya argumentatif dan persuasif agar mereka terbebas dari kesalahan, lalu menjadikannya sebagai tanggung jawab bersama. Berikutnya adalah dengan membuat perjanjian dan menyusun ratusan program untuk dunia melalui berbagai organisasi dan lembaga. Tidak itu saja, saat melancarkan rencananya, fokus mereka tetap sama, yaitu teraihnya keuntungan maksimal.
Keuntungan yang mereka targetkan ini dijalankan melalui skema utang dan investasi. Laba utang didapat dari laba. Laba investasi diperoleh melalui pemberian hak pengelolaan sumber daya alam yang sejatinya untuk rakyat dan pemanfaatan tenaga kerja murah berdalih investasi menciptakan lapangan kerja baru. Eksploitasi sumber daya alam berdampak pada kerusakan lingkungan. Eksploitasi tenaga kerja murah makin melengkapi kesengsaraan rakyat dan membuat mereka terus berkelindan dengan kemiskinan. Di sinilah terjadi ketimpangan ekonomi yang sangat lebar.
Negara-negara industri, dalam hal ini negara G7 ditambah Denmark dan Norwegia, serta lembaga pendonor akan makin “berkuasa” menyetir dan menjajah, baik secara ekonomi maupun kebijakan-kebijakan lainnya. Di sinilah, kedaulatan negara bak fatamorgana.
Pandangan Islam tentang Investasi Asing
Investasi dalam Islam sangat berbeda dengan sistem kapitalisme. Investasi dalam Islam harus memenuhi beberapa syarat, yaitu tidak boleh berinvestasi pada bidang-bidang strategis yang menguasai hajat hidup rakyat dan bukan harta milik umum, harus terbebas dari riba, serta tidak menciptakan monopoli ekonomi. Syarat-syarat ini mutlak adanya. Bila salah satunya tidak terpenuhi, investasinya menjadi terlarang untuk dilakukan.
Dana investasi transisi energi jelas tidak memenuhi seluruh syarat ini, karena:
Pertama, dana yang diinvestasikan jelas-jelas di sektor yang menguasai hajat rakyat dan merupakan harta milik umum, yakni energi. Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 141,
وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Artinya: “… Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
Larangan ini diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, hutan, dan api.”
Kedua, dana investasinya sama sekali tidak terbebas dari riba, padahal Allah Swt. secara nyata melarang riba. Salah satunya di dalam surah Ali Imran ayat 130.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang yang kafir."
Ketiga, investasi asing membuat segelintir orang kaya dan mereka inilah yang memonopoli perekonomian, sedangkan seluruh rakyatnya terjerat kemiskinan. Praktik monopoli merupakan sebuah kezaliman. Allah Swt. telah melarangnya di dalam Al-Qur’an surah Al-Hajj ayat 25.
وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
"Dan barang siapa yang bermaksud di dalamnya (Makkah) melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.”
Khatimah
Dari paparan di atas, dana investasi transisi energi justru menimbulkan mudarat karena melemahkan kedaulatan negara. Indonesia sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa seharusnya memiliki kemandirian dan tidak bergantung pada utang. Akan tetapi, kemandirian ekonomi ini hanya akan bisa terealisasi bila mengikuti seluruh syariat Islam dan meninggalkan kapitalisme. Wallahu a'lam bishawab.[]
ujung-ujungnya, solusi transisi energi hanya akan menguntung para investor asing, selama negara tidak mampu memproduksinya secara mandiri.
Setuju bahwa kemandirian ekonomi hanya akan bisa terealisasi bila mengikuti seluruh syariat Islam dan meninggalkan kapitalisme.
Kasihan negara masih terjajah tapi tidak merasa dijajah. Menjadi permainan negara- negara adidaya yang pongah dan merusak dengan sistem Kapitalismenya.
Di negara-negara penganut sistem kapitalisme termasuk Indonesia, investasi kok jadi satu kebanggaan ya. Padahal, jelas-jelas bahaya utama dari utang dan investasi adalah hilangnya kedaulatan. Terus, energi hijau yang digaungkan negara-negara industri kapitalis, cuma omong kosong saja.
Energi hijau hanya cara lain "memasarkan" produk mereka, Mba