Persoalan konflik agraria hanya bisa diatasi jika syariat Islam menjadi pijakan. Kepemilikan hak tanah di dalam Islam tidak serumit dalam sistem kapitalisme. Rakyat yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam pemenuhan hajat terpinggirkan akibat perselingkuhan penguasa dengan pengusaha. Sehingga penguasa rela menjadi pelayan korporat daripada menjadi pelayan rakyat.
Oleh. Miladiah al-Qibthiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Satu-satunya negara yang paling banyak mendapat julukan di mata dunia adalah Indonesia. Selain dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa, Indonesia juga dikenal sebagai negara agraris. Sematan negara agraris adalah gambaran betapa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang mampu menghasilkan produk pertanian melimpah ruah. Tidak heran jika data tenaga kerja dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sedikitnya ada 40,69 juta orang yang bermata pencaharian petani. Ini merupakan sebuah karunia besar dari Sang Pemilik kehidupan sebab menetapkan Indonesia menjadi negara yang memiliki kekayaan alam dengan jumlah yang besar dan strategis.
Berbicara tentang agraria, rupanya tidak terbatas pada urusan pertanian atau tanah pertanian saja, melainkan meliputi segala hal yang berkaitan dengan urusan pemilikan tanah, yakni perkebunan, kehutanan, korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil. Jika sektor pertanian menjadi hal utama dalam perekonomian nasional dan ketahanan pangan, maka sektor pertanahan menjadi hal genting dalam proses kepemilikan hak tanah, terlebih jika hal itu berdampak pada kelangsungan hidup masyarakat.
Dikutip dari lamancnnindonesia.com (24/09/2023), KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) mencatat telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektare tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia jelang tahun ke-9 pemerintahan Joko Widodo. Indonesia yang digambarkan memiliki kekayaan alam melimpah ruah hampir di semua sektor, rupanya tidak ekuivalen dengan data yang dilampirkan oleh KPA. Bahkan di artikel disebutkan ada 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya.
Mengapa terjadi konflik agraria di negara agraris? Apa yang menyebabkan konflik agraria menyentuh seluruh sektor, dari mulai perkebunan hingga kawasan pesisir? Inikah dampak buruk diterapkannya sistem kapitalisme yang menyebabkan banyak warga yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri? Lalu bagaimana pandangan Islam mengatasi persoalan agraria?
Sejarah Awal Konflik Agraria
Sejak Indonesia merdeka, pemerintah selalu berupaya merevisi undang-undang agraria baru dengan tujuan mengganti undang-undang agraria kolonial. Pada tahun 1948, pemerintah membentuk komite agraria Yogya. Namun, upaya ini gagal karena pergolakan politik yang disertai dengan kekerasan. Berbagai komite dibentuk, namun selalu gagal dan berubah-ubah. Pada tahun 1957, Belanda yang belum siap menyerahkan wilayah Irian Barat terus menunda agenda kolonialismenya terhadap Irian Barat. Indonesia kemudian mengambil tindakan tegas dengan membatalkan perjanjian secara sepihak.
Kemudian hal ini diikuti dengan program nasionalisasi perkebunan asing. Pemerintah lalu menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang penghapusan tanah partikelir atau perseorangan. Tanah perseorangan ini adalah tanah yang disewakan atau dijual oleh penguasa kolonial kepada orang-orang kaya yang disertai dengan hak-hak pertuanan. (dema.faperta.ugm.ac.id)
Kepemilikan (hak pertuanan) artinya pemilik (sang tuan tanah) mempunyai kekuasaan atas tanah dan penghuni di dalamnya. Dengan UU Nomor 1 Tahun 1958 tersebut, kekuasaan (hak-hak pertuanan) hanya menjadi milik negara. Setelah itu dilakukan upaya reklamasi tanah dari pihak luar (asing) kepada masyarakat dengan memberikan ganti rugi. Artinya, reforma agraria dikoordinasikan oleh pemerintah melalui kompensasi untuk meminimalkan terjadinya konflik.
Setelah 12 tahun perjuangan, berkat inisiatif Menteri Pertanian Soenaryo, Departemen Pertanian, Pansus DPR dan Universitas Gadjah Mada berkoordinasi menyusun rancangan undang-undang agraria. RUU tersebut disetujui DPR pada tanggal 24 September 1960 menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-pokok Agraria atau Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA). Undang-Undang Pokok Agraria menjadi titik tolak lahirnya undang-undang pertanahan baru yang menggantikan produk undang-undang agraria kolonial. https://narasipost.com/opini/12/2021/menggulung-mafia-tanah-negara-harus-berbenah-dengan-sistem-yang-amanah/
Dengan adanya landasan hukum UUPA, maka program reforma agraria pun dimulai. Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang bertujuan untuk mendefinisikan dan memberikan kepastian hukum sehubungan dengan kepemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian mengidentifikasi lahan yang surplus atau melebihi batas maksimal kepemilikan untuk dibagikan kepada petani yang tidak memiliki lahan. Termasuk juga implementasi UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH).
Namun, implementasi ketiga program ini terhambat oleh salah kelola administrasi, korupsi, dan penolakan dari tuan tanah dan organisasi keagamaan. Karena lambatnya pelaksanaan reforma agraria, PKI dan BTI mengadakan program gerakan petani untuk menerapkan UUPA sebagai bentuk protes terhadap Gerakan-gerakan obstruktif dari tuan tanah yang tidak mau kehilangan tanah dan perkebunannya. Dari sinilah muncul istilah yang disebut dengan konflik agraria.
Hingga masa kepemimpinan Soeharto dengan ideologinya dan pemerintahan Orde Baru dengan prinsip-prinsip pembangunannya, tanah dianggap sebagai kepentingan bersama dalam konteks pembangunan. Sejak saat itu, pemerintahan Soeharto membalikkan proses reforma agraria dan menganggap bahwa segala kegiatan yang berkaitan dengan UUPA adalah komunis.
Kemudian pada tahun 1967, disahkanlah UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pertambangan yang bertentangan dengan UUPA. Ketiga undang-undang baru ini tampaknya merupakan perwujudan dari undang-undang agraria kolonial tahun 1870, yang kemudian menimbulkan lebih banyak konflik agraria. Seluruh tanah milik masyarakat bebas dirampas atas nama pembangunan. Saat itulah banyak terjadi perampokan atau perampasan tanah. Dlam hal ini, Orde Baru adalah masa di mana mudah sekali merampas tanah rakyat, dengan atau tanpa ganti rugi. Sehingga hal ini menambah daftar kelam sejarah agraria di Indonesia.
Konflik Agraria di Berbagai Sektor
Negara dengan limpahan kekayaan sumber daya alam seyogianya menjamin kesejahteraan warga negara dalam hal pemenuhan hajat hidup utama mereka, seperti sandang, pangan, dan papan. Namun ternyata tidak demikian di negara agraris seperti Indonesia. Berkaca dari sejarah awal konflik agraria di masa kolonial, Orde Baru, hingga menuju tahun ke-9 pemerintahan Presiden Joko Widodo bukannya menekan angka konflik agraria, justru menambah panjang kasus konflik agraria yang menyentuh semua sektor.
Lahan perkebunan, kehutanan, pertanian, korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil tak pernah lepas dari konflik, khususnya antara penguasa dan rakyatnya sendiri. Jika reforma agraria ini dianggap salah satu pilar dari kebijakan pemerataan ekonomi, seharusnya pemerintah benar-benar menunjukkan keseriusannya dalam mewujudkan pemerataan ekonomi, khususnya pada kepemilikan lahan dan pemberian legalitas akses kepada seluruh masyarakat bawah khususnya.
Namun, mengapa sikap penguasa secara terang-terangan melawan rakyat, merampas tanah tinggal mereka yang sekian tahun bermukim di wilayah-wilayah yang sudah mendapat legalitas akses untuk melangsungkan kehidupannya? Kebijakan penguasa untuk mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah, menciptakan sumber-sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria, menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan, memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi, meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan, serta memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, menangani dan menyelesaikan konflik agraria sebagaimana yang tertuang dalam Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria rupanya tak membuahkan hasil apa-apa.
Hal ini dibuktikan oleh catatan KPA bahwasanya konflik agraria tak pernah teratasi di bawah pemerintahan Jokowi selama sembilan tahun terakhir. Salah satunya karena mandeknya kelompok nasional reforma agraria dan gugus tugas reforma agraria (GTRA), padahal telah dibentuk tim khusus untuk mengatasi permasalahan tersebut. Inilah ironisme wajah negara agraris yang tidak mencerminkan kekayaan akan sumber-sumber agraria.
Dampak Buruk Sistem Kapitalisme
Sepanjang pemerintahan Joko Widodo, banyak warga yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri dan terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah ataupun pekerja nonformal yang bermigrasi ke kota hingga luar negeri. Sistem kapitalisme yang sejak awal menyampingkan urusan rakyat tidak lain adalah biang terjadinya konflik agraria di negara agraris, Indonesia. Konflik ini demikian kompleks dan meluas ke berbagai sektor akibat ketidakjelasan status kepemilikan lahan yang ada.
Belum lagi dengan menjamurnya mafia-mafia tanah yang seolah mendapat payung hukum makin memperumit konflik agraria. Dalam prinsip demokrasi kapitalisme, mereka yang bermodal dan mendapat backing-an penguasa, tidak mustahil akan menguasai tanah ataupun lahan dengan leluasa. Slogan dari, oleh, dan untuk rakyat tak lebih sekadar isapan jempol. Penguasa yang seharusnya memprioritaskan melayani rakyat, beralih haluan menjadi pelayan korporasi.
Tugas pemerintah dalam memberikan pelayanan yang optimal demi kesejahteraan rakyat tidak selaras dengan tujuan pancasila dan UUD 1945. Yang terjadi di depan mata adalah penindasan terhadap rakyat, dengan tindak-tindak perampasan hak atas tanah wilayah mereka. Sebaliknya, kepada para pemilik modal, kaum borjuis, dan konglomerat dilayani dengan sepenuh hati.
Dalih demi pembangunan, pengelolaan, dan pemerataan ekonomi seluruh rakyat, sejatinya adalah demi kepentingan kaum kapital dan korporasi besar. Jangan ditanya kepentingan rakyat ada di mana? Rakyat benar-benar terpinggirkan dari riayah penguasa dalam sistem kapitalisme. Pengadaan lahan untuk korporasi-korporasi besar kian merangsek, sedang rakyat terus terbebani oleh konflik agraria yang menyebabkan tanah mereka terganggu.
Agraria dalam Pandangan Islam
Sebuah negara hadir untuk mengayomi, melindungi, dan memaksimalkan riayah terbaiknya untuk rakyat yang bernaung di bawahnya. Ibarat seorang penggembala, rakyat merupakan gembalaan yang wajib diberikan perhatian dan tanggung jawab penuh. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
“Imam (kepala negara) itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Persoalan konflik agraria sebenarnya sangat sederhana dalam Islam. Ketika negara dan aparat pemerintahannya tunduk pada syariat Islam, maka konflik ini akan lekas teratasi, tidak berlarut-larut seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini.
Sebagai contoh, sebuah lahan kosong tak bertuan dan tak ada yang memanfaatkannya sama sekali, maka negara bisa menyerahkannya kepada pihak yang bisa mengelolanya karena termasuk tanah mati.
Kemudian dengan menghidupkan kembali tanah yang mati, yaitu menggarap, membajak, atau membangun di atasnya, atau memanfaatkannya, maka kepemilikan tanah tersebut bersifat umum, siapapun boleh memilikinya tetapi tetap ada syaratnya, yaitu tanah itu harus dikelola dalam waktu 3 tahun sejak tanah tersebut dihidupkan.
Apabila tanah tersebut dibiarkan kosong tanpa garapan sama sekali selama tiga tahun berturut-turut sejak tanah tersebut dibuka, maka hak kepemilikan orang yang bersangkutan atas tanah tersebut telah hilang. Namun jika tanah tersebut dikelola oleh orang lain, maka orang tersebut mempunyai hak lebih atas tanah tersebut.
Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra., dengan disaksikan dan didengar oleh para sahabat, hingga menjadi ijmak para sahabat. Diketahui juga bahwa kepemilikan tanah menurut hukum Islam merupakan hak yang ditetapkan oleh Allah Swt. bagi manusia untuk memanfaatkan tanah tersebut. Jika seseorang tidak mampu membeli pengadaan lahan, maka ia akan dibantu dana oleh negara dari kas baitulmal.
Berbeda lagi jika seseorang memiliki tanah yang luas namun hanya mampu menggarap separuhnya, maka separuhnya lagi akan diberikan kepada mereka yang membutuhkan dan benar-benar ingin menggarap dan memanfaatkan tanah tersebut. Seperti riwayat dari Muhammad bin Ishaq, dari Abdullah bin Abu Bakar yang berkata,
“Bilal bin al-Harits al-Muzni pernah datang kepada Rasulullah saw. lalu ia meminta sebidang tanah kepada beliau. Beliau kemudian memberikan tanah yang berukuran luas kepadanya. Ketika pemerintahan dipimpin oleh Khalifah Umar, beliau berkata kepadanya, ‘Bilal, Engkau telah meminta sebidang tanah yang luas kepada Rasulullah saw., lalu beliau memberikannya kepadamu. Rasulullah saw. tidak pernah menolak sama sekali untuk diminta, sementara Engkau tidak mampu menggarap tanah yang ada di tanganmu.’ Bilal menjawab, ‘Benar.’ Khalifah Umar berkata, ‘Karena itu, lihatlah mana di antara tanah itu yang mampu kamu garap lalu milikilah. Mana yang tidak mampu kamu garap, serahkanlah kepada kami dan kami akan membagikannya kepada kaum muslim.’ Bilal berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan apa yang telah Rasulullah berikan kepadaku.’ Khalifah Umar kembali berkata, ‘Demi Allah, kalau begitu Engkau harus benar-benar menggarapnya.’ Kemudian Umar mengambil tanah yang tidak mampu ia garap dari Bilal lalu membagikannya kepada kaum muslim.” (HR. Yahya bin Adam dalam Al-Kharaj).
Persoalan konflik agraria hanya bisa diatasi jika syariat Islam menjadi pijakan. Kepemilikan hak tanah di dalam Islam tidak serumit dalam sistem kapitalisme, yang bahkan penguasa saling bentrok dengan rakyat sendiri dengan jalan perampasan. Rakyat yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam pemenuhan hajat sandang, pangan, dan papan, terpinggirkan akibat perselingkuhan penguasa dengan pengusaha. Sehingga penguasa rela menjadi pelayan korporat daripada menjadi pelayan rakyat.
Khatimah
Benarlah, hanya Islam yang mampu menjadi solusi dan jawaban atas persoalan konflik agraria dan itu hanya bisa teratasi dalam negara yang menjadikan syariat Islam sebagai pijakan aturan kehidupan. Sebagaimana firman-Nya:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ
“Maka putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al-Maidah: 48)
Wallahu a’lam bishawab.[]
Tulisan yang MENCERAHKAN, barakallah
Kapitalisme benar-benar zalim,
Pengurusan tanah begitu ribet dan mahal. Meskipun kita sudah tinggal berpuluh-puluh tahun, namun jika belum memiliki serrifikat tanah, negara berhak untuk menggusur dan menjualnya..anehnya, masih banyak orang yang mengharapkan kebaikan dari sistem bobrok ini.
Aku sih No.
Islam, Yes
Demokrasi, No
Andai negeri ini menggunakan Islam sebagai solusi, pasti konflik-konflik agraria tidak perlu ada. Juga tak ada lagi rakyat yang tergusur tanahnya atas nama kepentingan umum, apalagi demi korporasi. Semoga sistem yang benar-benar mengayomi umat segera tegak. Barakallah mbak Miladiyah ...
Wafiiki barakallah Mbak Sar. Semoga sistem Islam segera mengambil alih dunia.
MasyaAllah tulusan Mbak Mariyah sangat mencerahkan umat. Bahwa Islam telah punya solusi segala problem umat, termasuk masalah pertanahan..Sayangnya penguasa negeri muslim enggan mengadopsinya.
Aturan Islam itu komplek. Umat Islam harus serius memperjuangkan penegakannya
[email protected]
Miris ya sistem kapitalisme tak pernah berpihak pada rakyat.
Benar Mba Miladiah hanya sistem.islam.satu-satunya yang akan mensejahterakan masyarakat secara keseluruhan
Betul bu, hanya Islam memang yang patut untuk diperjuangkan demi kesejahteraan masyarakat
Ummat menunggu sistem terbaik, yang bjsa menyejahterakan mereka, bukan malah menzalimi mereka
Betul Mbakku. Yuk kita perjuangkan yang ditunggu umat, melalui dakwah aksars
Negeri kaya raya dengan sumber daya alam yang melimpah nyatanya tak berdaya dalam jerat sistem kapitalisme. Rakyat hanya menjadi obyek yang dizalimi sepanjang sistem rusak tersebut menaungi negeri. Saatnya beralih ke sistem Islam dengan periayahan yang mampu menyejahterakan seluruh rakyat.
Barakallah mba@ Mila
Wafiiki barakallah Bu Atien