Dengan menganut sistem ekonomi kapitalisme, negara tentu akan mencari pundi-pundi keuntungan di mana para pemangku kebijakan akan berpihak pada para pemilik modal.
Oleh. Ledy Ummu Zaid
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tidak asing di telinga kita berita terkait Rempang, atau lebih tepatnya tentang rencana relokasi warga Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau untuk pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City, sebuah kawasan industri, perdagangan hingga wisata terintegrasi yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengan negara tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia. Namun sayangnya, rencana baik pemerintah tersebut tidak sejalan dengan keinginan warga setempat yang enggan pindah dan meninggalkan kampung halaman tercinta mereka. Sampai sini saja sepertinya sudah jelas bahwasanya pemerintah hanya mementingkan keinginan mereka untuk meningkatkan daya saing dengan negara lain. Tetapi di satu sisi, warga setempat yang telah berpuluh-puluh tahun tinggal di wilayah tersebut seolah-olah menjadi tumbal atas hajat negara.
Ironi, kedaulatan rakyat atas wilayah turun temurun mereka terancam dirampas sepihak. Sejauh ini belum ada rencana pembatalan relokasi warga Pulau Rempang, meski bentrok antara warga setempat dengan aparat berwajib telah terjadi pada Kamis (07/09/2023). Dilansir dari laman republika.id (29/09/2023), rencana relokasi sebagian warga Pulau Rempang yang dijadwalkan pada Kamis (28/9/2023) tidak jadi dilaksanakan. Adapun 200 personel aparat kepolisian yang bertugas di Bawah Kendali Operasi (BKO) sejak 14 September 2023 lalu yang sebelumnya diberangkatkan Satuan Brimob Kepolisian Daerah Riau untuk turut mendukung pengamanan unjuk rasa dan pengosongan kampung-kampung di Pulau Rempang tersebut sudah dipulangkan.
Warga Pulau Rempang yang sejatinya merupakan penduduk asli wilayah Melayu tersebut menolak keras digusur dari tanah kelahiran mereka. Proyek Rempang Eco City yang mengharuskan sekitar 7.500 warga setempat direlokasi juga mengancam eksistensi 16 kampung adat Melayu yang ada di Pulau Rempang sejak tahun 1834. Tak hanya itu, jaminan tempat tinggal baru juga belum menunjukkan titik terang. “Berdasarkan keterangan dari BP Batam, terkait dengan pemberian kompensasi berupa rumah pengganti maupun uang tunggu dan hunian sementara bagi warga terdampak, memerlukan dasar hukum agar program berjalan,” ucap Johanes Widijantoro, anggota Ombudsman RI, dikutip dari laman republika.id (29/09/2023).
Hal tersebut menunjukkan memang belum ada pembatalan secara mutlak terkait rencana pemindahan masyarakat Pulau Rempang. Dilansir dari laman bbc.com (28/09/2023), pemerintah maupun Badan Pengusahaan (BP) Batam memperpanjang tenggat waktu pendaftaran warga yang bersedia menerima kompensasi ganti rugi sekaligus sosialisasi lebih dalam kepada warga setempat. Namun, meski Pulau Rempang batal dikosongkan seperti rencana awal pemerintah, masyarakat di Kampung Pasir Panjang, Sembulang misalnya, mengaku masih cemas dan waspada karena sampai saat ini rencana pemindahan masyarakat dari kampung-kampung tua tersebut belum benar-benar dibatalkan. Samah (50), salah satu warga dari Kampung Pasir Panjang mengatakan, "Buat kami, (tenggat waktu diundur) belum aman juga berarti kami. Makanya kami jaga-jaga, waspadalah. Entah kapan mereka mau gusur kami, kami tidak tahu.”
Kasus yang menimpa warga Pulau Rempang ini merupakan ujian atas konsep kedaulatan rakyat yang diadopsi negeri ini. Seperti yang kita ketahui, sistem demokrasi mengizinkan kedaulatan atau kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara berada di tangan rakyat. Maka tak heran, jika dalam pengaplikasiannya, kedaulatan tersebut juga dapat dikhianati oleh si pembuat kebijakan, yaitu manusia sendiri. Dengan menganut sistem ekonomi kapitalisme, negara tentu akan mencari pundi-pundi keuntungan di mana para pemangku kebijakan akan berpihak pada para pemilik modal. Kehidupan rakyat kecil pun terabaikan demi tercapainya tujuan mereka, para kapitalis. Alhasil, siapa sejatinya yang berdaulat ketika rakyat justru banyak dirugikan dalam kasus sengketa lahan seperti ini?
Pemandangan yang berbeda disajikan dalam peradaban Islam masa lalu. Adapun kedaulatan berada di tangan syarak, atau dengan kata lain syariat Islamlah yang mengatur. Allah subhanahu wa ta’ala adalah pemegang kedaulatan tertinggi yang tak bisa diganggu gugat dalam mengatur kehidupan sekaligus pembuat kebijakan untuk makhluk-Nya. Sedangkan umat adalah pemilik kekuasaan yang mana mereka juga tentu sejalan dengan hukum syarak. Kemudian, negara akan hadir sebagai wakil umat dalam mengatur pemerintahan yang syar’i dengan berpegang teguh pada aturan Al-Khalik, Allah subhanahu wa ta’ala.
Baca juga : https://narasipost.com/opini/09/2023/konflik-pulau-rempang-demi-investasi-rakyat-dipaksa-angkat-kaki/
Tanah atau lahan yang di dalamnya ada kepentingan umum, maka jelas tidak boleh dimiliki secara pribadi oleh pihak swasta. Dalam hal ini, penguasa akan menjaga dan mengatur dengan baik pengelolaan lahan milik umum tersebut, sebagaimana ia menjaga rakyatnya dari kehancuran. Sebagaimana hadis Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Ia akan dijadikan perisai saat orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika ia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan adil, maka dengannya, ia akan mendapatkan pahala. Namun, jika ia memerintahkan yang lain, maka ia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas urusan rakyat termasuk menjaga hak-hak rakyat. Sebagai contoh, di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu anhu ada seorang Yahudi yang mendatanginya untuk mengadukan penggusuran yang dialaminya. Kemudian, sang Khalifah dengan segera memerintahkan untuk mengembalikan tanah milik Yahudi tersebut. Inilah contoh riil bahwasanya negara tidak boleh memaksa rakyatnya untuk memberikan apa yang sudah menjadi haknya pribadi. Sedangkan apa yang terjadi hari ini, rencana penggusuran warga Pulau Rempang menggambarkan keadilan yang tak seimbang bagi rakyat. Wallahu’alam bishshawab[].