Kepemimpinan Khilafah dan demokrasi ibarat langit dan bumi. Sistem Khilafah yang bersandar pada syariat Islam merupakan rancangan Allah Swt. yang nyata kebenarannya. Sedangkan kepemimpinan demokrasi yang berasal dari akal manusia telah jelas kerusakannya.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku)
NarasiPost.Com-Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan publik. Hal ini lantaran keputusannya mengabulkan sebagian gugatan batas usia minimal capres dan cawapres. Yang lebih membuat publik tercengang, putusan tersebut dianggap memuluskan jalan bagi putra Presiden Jokowi untuk melenggang sebagai calon wakil presiden pada pemilu mendatang. Putusan tersebut pun memunculkan ungkapan yang menyebut bahwa Mahkamah Konstitusi telah berubah menjadi "Mahkamah Keluarga".
Lantas, benarkah MK kini tak lebih sebagai mahkamah pembela kepentingan keluarga? Benarkah pula bahwa politik dinasti sedang berkuasa saat ini? Jika benar, apa bahayanya politik dinasti?
Putusan MK, Karpet Merah Keluarga Petahana?
Putusan MK terkait batas usia capres dan cawapres telah menyorot satu nama yang menduduki jabatan di lembaga tinggi negara tersebut, yakni Anwar Usman. Dalam putusannya, Ketua MK Anwar Usman mengubah Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Yakni, syarat utama pencalonan capres dan cawapres berusia paling rendah 40 tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan. Padahal, sebelumnya pasal tersebut hanya mengatur batas usia minimal yakni 40 tahun saja.
Jika dalam gugatan batas usia minimal bagi capres dan cawapres, MK telah mengabulkan sebagian, tetapi dalam gugatan batas usia maksimal, MK justru menolaknya. Dikutip dari bbc.com (23/10/2023), gugatan usia maksimal capres dan cawapres dan syarat tidak pernah melanggar HAM ditolak MK. Dua dari tiga gugatan yang diajukan tersebut meminta agar batas usia maksimal capres dan cawapres adalah 70 tahun dan 65 tahun.
MK beralasan bahwa syarat maksimal usia capres dan cawapres yang tertuang dalam Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, sudah pernah diperiksa dan diadili. Karenanya, MK menilai gugatan tersebut telah kehilangan objek perkara sehingga tidak dapat diterima. Artinya, MK tetap mempertahankan Pasal 169 huruf (q) yang tidak mengatur batas maksimal usia capres dan cawapres. Sayangnya, banyak kalangan menganggap putusan tersebut sebagai karpet merah yang meloloskan salah satu calon.
Putusan MK tersebut sontak menuai respons banyak pihak. Salah satu yang ikut bersuara adalah Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago. Pangi menyebut, masyarakat Indonesia kena prankMK. Pasalnya, sebelum putusan dikeluarkan, media sudah terlanjur memberitakan bahwa MK adalah lembaga yang memiliki integritas karena dinilai tidak akan membiarkan Gibran maju sebagai cawapres. Mengingat usia Gibran saat ini belum genap 40 tahun. Namun, hanya hitungan jam dari beredarnya berita tersebut, kemudian muncul frasa, "pernah menjadi kepala daerah atau berpengalaman". (Liputan6.com, 17/10/2023)
Artinya, meski belum genap berusia 40 tahun, tetapi pernah memiliki jabatan yang dipilih melalui pemilihan, maka bisa tetap melenggang sebagai cawapres. Sayangnya, putusan kontroversial tersebut telah meruntuhkan muruah MK di tengah masyarakat. Lembaga negara yang seharusnya menjadi penyangga konstitusi, kini disebut sebagai mahkamah penjaga urusan keluarga. Begitulah sindiran banyak orang. Putusan tersebut juga menjadi alarm krisis legitimasi terhadap putusan-putusan MK berikutnya.
Membangun Dinasti Politik
Diketahui, Ketua MK saat ini dipegang oleh Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Jokowi. Sementara itu, salah satu pihak yang menggugat batas usia minimal capres dan cawapres adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI), di mana Kaesang Pangarep sebagai ketuanya. Kaesang sendiri adalah putra bungsu Presiden Jokowi yang secara kilat menjadi Ketua Umum PSI hanya berselang dua hari setelah diterima sebagai anggota.
Di sisi lain, putusan MK telah memberi angin segar bagi Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya) dan Gibran Rakabuming Raka (politisi PDIP) yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi. Pasalnya, Gibran saat ini belum genap berusia 40 tahun, sedangkan Prabowo sudah berusia 72 tahun. Artinya, putusan kontroversial tersebut telah membuka jalan bagi Prabowo dan Gibran untuk mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres pada Pemilu 2024 mendatang.
Sayangnya, putusan MK tersebut telah menimbulkan kecurigaan publik bahwa Presiden Jokowi sedang membangun dinasti politiknya. Kecurigaan tersebut memang wajar adanya karena fakta di lapangan menunjukkan demikian. Misalnya, Jokowi memberikan kekuasaan terhadap kerabat-kerabatnya yang terdekat, mulai dari anak, ipar, hingga menantunya. Bahkan, penetapan Gibran sebagai cawapres Prabowo pun turut disorot media asing.
Dikutip dari laman CNN Indonesia.com (24/10), Al Jazeera (media yang berbasis di Doha, Qatar) melaporkan bahwa pemilihan Gibran sebagai cawapres akan membantu meningkatkan elektabilitas Probowo, sekaligus memicu kritik bahwa Jokowi sedang membangun dinasti politik di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia tersebut. Setali tiga uang, South China Morning Post (SCMP), media yang berbasis di Hong Kong tersebut menulis bahwa penetapan Gibran bisa menjadi pedang bermata dua.
Bahaya Politik Dinasti
Politik dinasti dapat diartikan sebagai kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki ikatan keluarga. Jika kekuasaan sudah dikendalikan oleh mereka yang terkait hubungan keluarga, maka proses pemilihan hanyalah simbol belaka. Pasalnya, para pemegang kekuasaan sudah mengatur agar kerabat dekatnya menjadi pemenang meski pemilihannya dilakukan melalui mekanisme demokrasi atau pemilihan.
Baca juga :https://narasipost.com/opini/10/2022/menggugat-presidential-threshold/
Jika mengurut pada sejarah maka tren kekerabatan dalam lingkaran kekuasaan sudah ada sejak dahulu. Tren ini merupakan budaya neopatrimonialisme. Yakni suatu bentuk sistem patrimonial (warisan bapak) yang lebih mengutamakan regenerasi politik berdasarkan pada ikatan genealogis (garis keturunan dalam hubungan keluarga sedarah), ketimbang pada penilaian prestasi para calon.
Selain Jokowi, banyak pula pejabat negeri ini yang berusaha mempertahankan kekuasaan dengan membangun dinasti politiknya saat berkuasa. Sebut saja dinasti Ratu Atut di Banten, dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, dan dinasti Fuad Amin di Bangkalan, Madura. Sadar atau tidak, politik dinasti akan melahirkan bahaya berkepanjangan jika terus dipelihara dan dipertahankan. Beberapa bahaya mengguritanya politik dinasti di sistem demokrasi kapitalisme adalah:
Pertama, dinasti politik mengakibatkan proses perekrutan atau pengkaderan di parpol tidak berjalan dengan baik, bahkan dapat dikatakan macet. Parpol hanya dijadikan sebagai mesin politik pendulang suara yang mengaborsi idealismenya sebagai rekrutmen politik.
Kedua, dinasti politik akan merusak demokrasi. Demokrasi yang sudah cacat sejak awal akan semakin menampakkan kebobrokannya. Pasalnya, relasi kekerabatan yang ada dalam institusi politik mengakibatkan lemahnya kontrol kekuasaan. Walhasil, mereka akan cenderung membukakan pintu bagi kerabatnya untuk menduduki jabatan tertentu.
Ketiga, lemahnya kontrol kekuasaan juga akan melahirkan gurita korupsi di semua aspek. Pasalnya, mereka yang berkuasa akan berusaha mempertahankan kekuasaannya selama mungkin. Padahal, kekuasaan yang terlalu lama sangat berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan pribadi maupun keluarga.
Keempat, politik dinasti akan membuat pemusatan kekuasaan hanya berada di beberapa titik saja. Artinya, kekuasaan hanya berputar pada orang-orang yang sama.
Buah Demokrasi
Inilah realitas yang sedang terjadi di negeri ini. Padahal, tanpa adanya dinasti politik pun, kerusakan yang diakibatkan oleh sistem demokrasi sudah sangat mengkhawatirkan. Penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, hingga perselingkuhan para penguasa dengan pengusaha sudah menjadi tradisi di negeri ini. Mengingat, demokrasi adalah sistem yang sangat mahal sehingga memicu maraknya penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
Namun, maraknya dinasti politik semakin memperparah praktik-praktik kotor di lingkaran kekuasaan. Selain itu, di balik langgengnya politik dinasti ada peran investor politik yang berada di belakangnya. Merekalah yang menyokong pendanaan para calon dengan imbal balik dan janji-janji yang sangat menguntungkan. Inilah wujud nyata kerusakan sistem dan manusia akibat penerapan sistem demokrasi kapitalisme.
Membandingkan Kepemimpinan Khilafah dan Demokrasi
Jika mau dibandingkan, kepemimpinan Khilafah dan demokrasi ibarat langit dan bumi. Keduanya tampak sangat jauh hingga tidak bisa disandingkan. Sistem Khilafah yang bersandar pada syariat Islam merupakan rancangan Allah Swt. yang nyata kebenarannya. Sedangkan kepemimpinan demokrasi yang berasal dari akal manusia telah jelas kerusakannya.
Jika dibandingkan dari segi idealisme sebagai sebuah pemerintahan, demokrasi pun sangat jauh dari sistem pemerintahan Islam. Terkait dalam kepemimpinannya, sistem pemerintahan Islam dikenal sederhana, cepat, dan hemat anggaran. Sebagaimana model kepemimpinan yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat membangun negara di Madinah. Pemerintahan di Madinah merupakan model pemerintahan Islam pertama yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan terbilang canggih pada masanya.
Dalam pemerintahan di Madinah tersebut, Rasulullah saw. telah membuat konstitusi pertama yang tertuang dalam Piagam Madinah. Uniknya, klausa-klausa yang tercantum dalam Piagam Madinah juga disepakati oleh masyarakat Madinah yang saat itu masih mayoritas nonmuslim. Dalam Piagam Madinah disebutkan, jika terjadi perselisihan di antara masyarakat Madinah, maka keputusannya akan dikembalikan kepada Rasulullah saw. Artinya, ada kepercayaan masyarakat kepada Rasulullah saw. dalam kapasitasnya sebagai kepala negara.
Tak hanya itu, selain keragaman masyarakatnya yang membuat kagum, sistem Islam terkenal memiliki struktur pemerintahan yang ramping. Misalnya saja jabatan kepala negara akan merangkap sebagai kepala pemerintahan. Artinya, negara akan menghemat anggaran karena memiliki struktur pemerintahan yang ramping, simpel, dan efisien. Para khalifah tentu memiliki pembantu yang akan membantu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Model kepemimpinan tersebut kemudian dilanjutkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq dan para khalifah sesudahnya. Inilah warisan agung Rasulullah saw., yakni sistem pemerintahan yang ramping dan efisien yang ditinggalkan beliau kepada seluruh umat manusia. Dengan sistem yang lebih ramping tersebut, maka kerja pemerintahan di dalamnya akan lebih cepat dan cekatan.
Lalu bandingkanlah dengan sistem pemerintahan demokrasi yang masih diagungkan saat ini. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang terkenal dengan ungkapan, "suara rakyat adalah suara Tuhan". Postur pemerintahannya pun terbilang gemuk, berbiaya tinggi, dan proses politik yang sangat ribet. Belum lagi, masa kampanye yang dilakukan sangat lama dan menguras ongkos.
Selain itu, dalam penyusunan kabinetnya pun dilakukan dengan lobi-lobi politik karena masing-masing pihak memiliki kepentingan. Saat mengangkat menteri misalnya, tak cukup hanya sendirian. Seorang menteri juga butuh staf. Dan staf juga butuh gedung, rumah dinas, biaya perjalanan dinas, dan lain-lain yang semua itu tentu butuh tambahan biaya yang besar.
Akibat gemuknya postur pemerintahan, maka akan berdampak pula pada lambatnya keputusan karena banyaknya koordinasi yang harus dilakukan. Selain itu, postur pemerintahan yang gemuk juga berpotensi terjadi saling sikut di antara para pejabat karena saling berebut kepentingan. Dengan berbagai problematika yang mengiringi sistem demokrasi, maka semakin jelaslah bahwa sistem ini tidak mungkin menghasilkan pemerintahan yang ideal.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sistem pemerintahan Islam dalam bingkai Khilafah adalah sistem terbaik bagi peradaban manusia. Pasalnya, sistem Khilafah diterapkan untuk menjalankan syariat Islam yang bersandar pada Al-Qur'an dan sunah. Sedangkan Al-Qur'an adalah sebaik-baik penjaga yang mencegah manusia dari kerusakan. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Maidah [5] ayat 48 yang berbunyi:
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
Artinya: "Kami telah menurunkan kitab suci (Al-Qur'an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan (membawa) kebenaran sebagai pembenar kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan sebagai penjaganya (acuan kebenaran terhadapnya) ...."
Khatimah
Banyak orang menganggap bahwa politik dinasti merupakan antitesis dari demokrasi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Politik dinasti justru menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem demokrasi saat ini. Maka, sudah saatnya umat mencampakkan sistem cacat yang telah merusak alam dan peradaban manusia tersebut. Lalu menggantinya dengan sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah. Di bawah naungan Khilafah, maka akan lahir para pemimpin amanah yang benar-benar menyerahkan dirinya untuk melayani umat.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Politik dinasti dibilang antitesis demokrasi, padahal sesungguhnya ia justru tumbuh subur di lahan demokrasi
bukan hal yang aneh di dalam demokrasi jika kursi kekuasaan dijadikan kesempatan emas untuk memperkaya keluarganya saja.
Ya begitulah kurang lebihnya mbak Mila.
Kalau kekuasaan hanya untuk mencari keuntungan pribadi, maka akan terus dipertahankan hingga ke anak cucu.
Betul bu, kekuasaan tanpa bersandar pada syariat ya pasti gak jauh-jauh dari memperjuangkan kepentingan pribadinya.
Realitas yang terjadi ketika Demokrasi bersama oligarki menjadi teman sejati untuk berebut kursi, maka kekuasaan Dinasti akan terjadi, sungguh ngeri akibat sistem yang tidak bersandar pada aturan dari Sang Illahi Robbi.
Betul mbak Isty, tanpa aturan Islam, sistem dan manusia menjadi rusak dan berdampak pada kesengsaraan rakyat.
Bahaya sekali politik dinasti ini.
Kalau kekuasaan sudah dikendalikan oleh mereka yang terkait hubungan keluarga, maka proses pemilihan hanyalah simbol belaka.
Ngeri.
Ya, dan realitas di negeri demokrasi memang seperti ini. Miris ya, tapi begitulah adanya.
Berkuasa, tp tak mau terapkan aturan-Nya, ya percuma saja..
Memang yg paling benar adalah kembali pd Islam supaya kekuasaan dipakai untuk menegakkan aturan Sang Khalik
Betul mbak Dina, tapi karena sistemnya rusak ya akhirnya melahirkan penguasa dan kebijakan yang rusak pula. Kerusakannya karena meninggalkan Islam sebagai aturan bernegara.
Berkuasa menjadi hal yang ingin didapatkan dengan berbagai macam cara. Pemimpin yang adil dan amanah, tentunya akan berimbas baik untuk kemajuan negara. Lalu bagaimana jika sebaliknya?
Betul, amanah terhadap kepemimpinan akan sangat tergantung bagaimana sistem yang menaunginya. Kalau sistemnya baik, ya pemimpin yang lahir pun akan baik.
Pokoknya apapun akan dilakukan demi kekuasaan. Kalau dahulu para shabat diserahi sebuah kepemimpinan menangis karena beratnya tanggung jawab yang dipikulnya. Sekarang dibuat rebutan karena standarnya bagaimana dapat cuan.
Betul mbak, sekarang orang berlomba-lomba menjadi penguasa. Berkuasanya jg bukan demi kemaslahatan rakyat, ya
Berharap pada sistem demokrasi hasilnya nol besar, termasuk dalam hal memilih pemimpin.
Betul bu. Rindu ya dengan hadirnya pemimpin yang lahir dari sistem Islam
Ya begitulah adanya perpolitikan kapitalisme hanya mementingkan orang yang berduit.
Jauh berbeda dengan politik dalam Islam yang menyejahterakan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Saat back to Islam
Betul bu Dewi. Kerusakan sudah sangat parah karena sistem yang rusak diterapkan pada manusia dan kaum muslim. Memang sudah saatnya kembali pada pada Islam ya.
Ketika Khalifah Umar bin Khattab diminta menunjuk Abdullah bin Umar putranya untuk meneruskan kepemimpinannya karena Khalifah Umar ditusuk oleh Abu lulu'ah almajusiah, maka Khalifah Umar marah dan berkata' celakalah kamu, cukuplah Umar dari keluarga Umar, jika ia selamat maka selamatlah semua, jika ia celaka cukuplah ia seorang.' MasyaAllah merindukan pemimpin dalam sistem Islam sistemnya bikin pemimpinnya tambah saleh..ga seperti sekarang sistem rusak, pemimpin rusak, bikin rusak semua..
Masyaallah, betul mbak Aya. Pemimpin yang sangat susah dicari hari ini. Semoga segera hadir ya sistem yang melahirkan para pemimpin seperti Khalifah Umar
Negara kayak miiik keluarga. Kekuasaan dibagi-bagi ke kerabat. Indonesia dibagi-bagi ke pengusaha yang juga ada irisannya dengan keluarga. Rakyat tidak dapat apa-apa
Betul mbak Novianti, sudah begitulah karakter sistem hari ini. Wong sistemnya memang membolehkan sih.