Hal ini membuktikan bahwa aturan tentang syarat seorang pemimpin dalam sistem demokrasi dapat diubah-ubah, disesuaikan dengan kepentingan pihak tertentu.
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Menjelang Pilpres 2024, beberapa kalangan mulai meributkan aturan mengenai batas minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Mereka mempersoalkan batas usia minimal capres dan cawapres yang 40 tahun. Oleh karena itu, mereka mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, mantan Hakim MK, I Dewa Gede Palguna menyatakan, bahwa masalah itu di luar kewenangan MK. Menurutnya, penetapan batas usia minimal capres dan cawapres itu termasuk open legal policy. Oleh karena itu, ia meminta MK tidak memproses gugatan tersebut. (liputan6.com, 06/10/2023)
Apa sebenarnya motif dari gugatan tersebut? Bagaimana cara penetapan UU di negeri ini? Bagaimana pula cara pemilihan pemimpin dalam Islam?
Motif Gugatan
Gugatan terhadap aturan batas minimal capres dan cawapres telah dilakukan oleh beberapa kalangan. Ada yang dari parpol maupun perorangan. Parpol yang telah mengajukan gugatan adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Garda Perubahan Indonesia (Partai Garuda).
Sedangkan penggugat perorangan ada yang dari kalangan kepala daerah. Ada lima kepala daerah yang mengajukan gugatan, yaitu Emil Elestianto Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur), Ahmad Muhdlor (Bupati Sidoarjo), Muhammad Albarraa (Wakil Bupati Mojokerto), Pandu Kesuma Dewangsa (Wakil Bupati Lampung Selatan), dan Erman Safar (Wali Kota Bukittinggi). (tempo.co, 11/08/2023)
Ada beberapa alasan yang mendasari pengajuan gugatan tersebut. Seperti yang disampaikan oleh Dedek Prayudi, Ketua DPP PSI. Pertama, batas usia minimal pada Pemilu 2003 dan 2008 adalah 35 tahun. Kedua, UU Pemilu tahun 2017 tidak memiliki landasan yuridis dan sains. Ketiga, terhalangnya hak konstitusional 21,2 juta anak muda. Keempat, tidak ada aturan batas usia minimal untuk menteri. Padahal, jika presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersamaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Luar Negeri yang akan menjadi pelaksana tugas. Kelima, mereka yang berusia 36–40 tahun merupakan kelompok usia dewasa akhir.
Baca juga :https://narasipost.com/opini/10/2022/menggugat-presidential-threshold/
Namun, Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM menyinyalir, gugatan PSI ini ada kaitannya dengan upaya untuk membuka peluang Gibran sebagai cawapres. Menurutnya, gugatan ini adalah upaya untuk mempertahankan dinasti Jokowi. Hal itu dianggap menabrak norma dan etika konstitusional. Oleh karenanya, gugatan itu harus ditolak.
Senada dengan I Dewa Gede Palguna, Denny Indrayana juga menyatakan bahwa masalah penetapan aturan batas usia minimal ini merupakan open legal policy. Hal ini menjadi kewenangan para pembuat undang-undang. Dengan demikian, MK tidak berhak memproses gugatan tersebut. (cnnindonesia.com, 25/07/2023)
Bukan Harga Mati
Peristiwa ini menunjukkan bahwa aturan dalam memilih pemimpin ini bukan harga mati. Hal ini dapat dipahami karena aturan ini dibuat oleh manusia. Aturan ini akan disesuaikan dengan kepentingan para pembuat UU maupun mereka yang berada di belakangnya.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sistem demokrasi memiliki konsep pemisahan kekuasaan, yaitu legislatif (pembuat UU), yudikatif (peradilan), dan eksekutif (pemerintahan). Pemisahan kekuasaan ini dilakukan agar penguasa tidak menjadi seorang diktator.
Di Indonesia, kekuasaan legislatif berada di tangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota DPR merupakan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu. Anggota DPR inilah yang membuat undang-undang yang diterapkan oleh pemerintah.
Penetapan undang-undang ini berdasarkan suara terbanyak. Jika mayoritas anggota DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan, DPR akan menerapkan sebagai UU. Demikian pula, jika ada usulan untuk melakukan perubahan UU.
Hal ini terbukti dengan berbagai perubahan dalam aturan pemilu di Indonesia, seperti perubahan dalam syarat capres dan cawapres. Demikian pula dengan syarat sebagai anggota legislatif. Dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 disebutkan bahwa salah satu syaratnya adalah tidak pernah dijatuhi pidana penjara. Namun, aturan ini berubah dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, yang mengizinkan mantan narapidana mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. (hukumonline.com, 19/10/2022)
Aturan ini pun disambut dengan banyaknya mantan narapidana yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam Pemilu 2024. Di antara mereka terdapat nama Susno Duadji dan Nurdin Halid. Keduanya merupakan mantan narapidana kasus korupsi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengungkap, ada 52 bacaleg DPR RI yang merupakan mantan narapidana. Mereka tersebar di semua partai politik, kecuali Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), serta Partai Gelora. (republika.co.id, 27/08/2023)
Hal ini membuktikan bahwa aturan tentang syarat seorang pemimpin dalam sistem demokrasi dapat diubah-ubah, disesuaikan dengan kepentingan pihak tertentu. Seperti ada kekuatan tak kasat mata (invisible power) di belakang penetapan aturan tersebut. Mereka ini memiliki kekuatan besar yang dapat memengaruhi hukum yang akan diberlakukan.
Pemilihan Pemimpin dalam Islam
Dalam Islam, syarat menjadi pemimpin ditetapkan berdasarkan Al-Qur'an dan hadis Rasulullah saw. Dari situ, para ulama merumuskan syarat-syarat seorang pemimpin negara (khalifah). Para ulama pun menuliskannya dalam kitab mereka, Imam An-Nawawi dalam Kitab Ar-Raudhah, Imam Al-Mawardi dalam Kitab Al-Ahkaam As-Sulthaniyyah, dan Al-Qadhi An-Nabhani dalam Kitab Asy-Syakhsiyyah Al-Islamiyyah juz 2 dan Kitab Nidham Al-Hukmi Fii Al-Islam.
Meskipun ada sedikit perbedaan pendapat, tetapi mereka bersepakat bahwa seorang khalifah harus memiliki tujuh kriteria. Pertama, muslim, karena pemerintahan merupakan jalan paling mudah untuk menguasai orang-orang yang diperintah. Oleh karena itu, Allah Swt. melarang kita memberikan jalan kepada mereka. Landasannya adalah surah An-Nisa [4]: 141.
وَلَنْ يَجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا
Artinya: "Dan Allah sekali-kali tidak memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin."
Kedua, laki-laki. Hal itu karena Rasulullah saw. melarang menyerahkan urusan kekuasaan kepada perempuan. Beliau saw. menyampaikan celaannya terhadap penduduk Persia yang mengangkat putri Kisra sebagai raja. Celaan terdapat dalam hadis riwayat Imam Bukhari.
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ إِمْرَأَةً
Artinya: "Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan."
Ketiga, balig. Keempat, berakal. Mereka yang belum balig dan tidak berakal tidak berhak mengelola sendiri urusan mereka. Oleh karena itu, mereka bukan mukalaf.
Kelima, merdeka atau tidak berada dalam penguasaan pihak lain. Seorang budak adalah milik tuannya. Ia tidak memiliki hak untuk mengurus dirinya sendiri. Terlebih, mengurus orang lain. Keenam, adil. Ketujuh, mampu menjalankan amanat. Ketujuh kriteria ini menjadi syarat sahnya khalifah.
Demikian pula dengan sumber hukum dalam Islam. Para ulama berbeda pendapat dalam beberapa sumber hukum, seperti 'urf, mashalih mursalah, istihsan, dan syar'u man qablana. Namun mereka bersepakat pada sumber hukum yang utama, yaitu Al-Qur'an, As-Sunah, ijmak, dan kias.
Mekanisme pengesahan hukum dalam Islam juga baku. Dalam persoalan usul (pokok), tidak boleh ada perbedaan. Sedangkan dalam perkara cabang (furu'), harus dilihat dulu. Jika nas yang mendasari itu merupakan nas yang sumbernya pasti (qath'iyyu ats-tsubuut) dan penunjukannya pasti (qath'iyyu ad-dilaalah), tidak boleh ada ijtihad di situ.
Namun, jika sumbernya zan (dhanniyyu ats-tsubuut) atau penunjukannya zan (dhanniyyu ad-dilaalah), para mujtahid boleh melakukan ijtihad di dalamnya. Jika perbedaan itu dapat memunculkan perpecahan di kalangan kaum muslim, khalifah akan mengambil hukum yang paling kuat dalilnya dan menerapkannya di seluruh negara.
Demikianlah, semua ini menunjukkan kesempurnaan aturan Islam. Dengan menggunakan aturan ini, manusia tidak perlu bersusah payah dalam membuat aturan. Di samping itu, aturan ini merupakan aturan yang paling tepat karena berasal dari Zat Yang Maha Pencipta, sehingga tidak akan menimbulkan perselisihan di antara manusia.
Wallaahu a'lam bi ash-shawab.[]
Hukum bisa diatur seenaknya menurut kepentingan yg punya kekuasaan.
Sistem Demokrasi dengan jargonnya kedaulatan ada di tangan rakyat, adalah hal krusial yang membedakannya dengan sistem Islam (khilafah) Dalam sistem Islam kedailatan ada pada hukum syarak. Yakni aturan dari Sang Pembuat Hukum (Allah Swt). Jadi manusia sebagai makhluk dari Al-khalik tidak punya hak membuat hukum, karena jelas aruran yang dibuatnya akan menimbulkan pertentangan, pertikaian, dan kerusakan.
Aturan dalam demokrasi itu standarnya manfaat sehingga bisa diubah-ubah sesuai keinginan penguasa. Kalau dalam Islam, aturannya baku, tidak bisa diubah-ubah, karena berasal dari Al-Khaliq. Syarat usia khalifah adalah balig. Sederhana, tetapi konsisten dan efektif.
Bobroknya sistem buatan manusia. Semua tergantung dari tangan kapitalis. Hanya sistem Islam yang akan mengupas segala masalah dengan adil dan menyejahterakan seluruh umat
Sekaren keren nih wawasannya
Hukum di Indonesia bisa tarik ulur, sebab buatan manusia. Memang hukum Allah saja yg pantas dijadikan patokan, adil pula tak ada kepentingan satu pihak dengan pihak lain
Bukan hanya di Indonesia mbak, tetapi di semua negara yang menerapkan sistem demokrasi.
Intinya tuh, gak ada harga mati untuk UU. Kapan pun bisa digugat atau diubah selama di dalamnya ada kepentingan. Bukankah UUD 1945 pun beberapa kali diamandemen ya. Mereka yang bikin, mereka pula yang ubah. Inilah bukti kelemahan aturan buatan manusia.
Manusia yang tidak memahami dirinya sendiri, tapi berlagak paling paham sehingga mengabaikan aturan Allah
Aturan Gugatan usia Capres dan cawapres akan disesuaikan dengan kepentingan para pembuat UU maupun mereka yang berada di belakangnya.
Betul, mbak