Memilih pemimpin bukan hanya melihat agama dan kesalehan pribadinya saja, tetapi pemimpin yang mampu menerapkan semua syariat-Nya.
Oleh. Ummu Ainyssa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemilihan Umum (Pemilu) rencananya baru akan digelar pada 14 Februari tahun 2024 mendatang, tetapi ketegangan politik sudah mulai panas dirasakan. Para pendukung capres sudah mulai mengeluarkan jurus-jurus rahasia untuk mengunggulkan jagoannya. Saling serang, saling tuduh, dan merasa dikhianati makin menguatkan aroma pertarungan. Suasana pun makin panas dengan ucapan seorang pejabat negara yang mengimbau masyarakat agar tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan.
Seperti diberitakan republika.co.id pada 4/9/2023, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan pentingnya penelusuran rekam jejak saat hendak memilih calon pemimpin yang benar-benar bisa dipercaya sehingga bisa diberikan amanah untuk memimpin bangsa yang memiliki keragaman dan perbedaan. Ia mengimbau masyarakat agar tidak memilih pemimpin yang mempunyai rekam jejak memecah belah umat serta menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Ia juga mengungkapkan bahwa agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, bukan rahmatan lil islami saja. Demikian seperti diungkapkan di Pondok Pesantren Az-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut, Jawa Barat dalam rangka Tablig Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniyah ke-231 pada Ahad, 3/9/2023.
Pernyataan Menag itu pun mendapat respons dari Ujang Komarudin selaku pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia. Ia memperingatkan, jangan sampai pernyataan ini justru memicu perpecahan di tengah masyarakat atau mendapat respons negatif dari publik. Menurutnya, Menag seharusnya menghormati pilihan setiap orang guna menjaga persatuan dan kesatuan di antara perbedaan politik di negeri kita ini khususnya. (Republika.co.id, 5/9/2023)
Entah ditujukan untuk calon presiden yang mana ungkapan Menag tersebut, yang pasti hal itu sungguh sangat menyesatkan masyarakat, terlebih lagi pernyataan itu diucapkan oleh pejabat publik. Bahkan, pernyataan semacam ini bukanlah yang pertama kalinya disampaikan oleh pejabat negara. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya saat memperingati Hari Pancasila juga mengajak rakyat menjelang pemilu untuk menolak politik identitas dan agama.
Seharusnya sebagai seorang menteri agama ia justru mendorong calon pemimpin yang akan meninggikan agama dalam menjalankan kekuasaannya. Seharusnya ia lebih paham dan bisa mengedukasi masyarakat akan pentingnya agama dalam kepemimpinan. Memilih pemimpin yang seharusnya akan sungguh-sungguh melakukan ri'ayah terhadap rakyat karena hal itu adalah amanah besar di hadapan Allah Swt.. Pemimpin hendaknya tidak berkamuflase menjelang pemilu. Mendadak menjadi islami, berkerudung, rajin sowan dan meminta restu pada ulama, tiba-tiba tersorot kamera sedang salat berjemaah, atau bahkan mendadak menjadi model dalam siaran azan di salah satu stasiun televisi. Seolah semua itu dilakukan hanya sebagai pencitraan untuk memperoleh suara kaum muslim.
Buah dari Sistem yang Rusak
Beginilah wajah pemilu dalam sistem demokrasi. Sebagai negara yang masih setia menggenggam sistem demokrasi sekuler, tentu tidak akan pernah rela siapa pun pemimpinnya yang nanti terpilih akan menerapkan agama dalam kekuasaannya. Sebab dalam sistem ini agama dianggap ada dalam ibadah mahda saja, sedangkan dalam urusan kehidupan, manusia dianggap sebagai pembuat hukum yang paling tahu. Agama lagi-lagi menjadi momok yang menakutkan saat diusung oleh calon pemimpin.
Mereka yang kelihatan religius sejak awal, dekat atau didukung para ulama, justru bisa menjadi bulan-bulanan fitnah dari masyarakat yang kontra. Mereka dianggap sebagai pendukung kelompok ekstremis, radikal, ataupun teroris. Padahal semua itu tidak lain hanya untuk mencekoki umat seolah-olah calon pemimpin yang religius adalah calon yang buruk karena dianggap akan memihak kaum seagamanya saja, sedangkan agama lain akan didiskriminasikan.
Baca juga : https://narasipost.com/opini/11/2020/kerinduan-umat-terhadap-pemimpin-adil/
Padahal yang seharusnya disalahkan bukan hanya calonnya yang religius atau tidak, tetapi sistem yang menjadi landasan dari pemilihan pemimpin tersebut. Siapa pun calon pemimpinnya, jika sistem yang akan dikemudikan tidak islami atau bahkan rusak dari akarnya, niscaya kesejahteraan bagi rakyat hanya sebuah ilusi belaka. Terlebih jika agama tidak boleh disatukan dengan kekuasaan, sudah pasti seorang pemimpin akan memperlakukan rakyatnya sesuai dengan hawa nafsunya.
Ditambah lagi dalam sistem politik sekuler, politik uang tidak lagi menjadi rahasia umum. Jumlah uang yang berputar dalam pesta pemilu pun tidak main-main jumlahnya. Jumlah anggaran Pemilu 2024 diperkirakan mencapai Rp76,7 triliun untuk satu kali putaran. Artinya anggaran ini masih bisa bertambah jika pemilu sampai dua kali putaran. Sungguh jumlah yang tidak sedikit di tengah ekonomi masyarakat yang sedang sulit. Yang terbaru Wakapolri Komjen Agus Adrianto juga meminta tambahan anggaran sebesar Rp12 triliun untuk menjaga keamanan dan kestabilan pemilu 2024 yang sebelumnya sudah disepakati Rp114,8 triliun. (mediaumat.id, 5/9/2023)
Jika sudah begini, maka prioritas utama ketika terpilih menjadi penguasa bukanlah kesejahteraan rakyat, melainkan bagaimana caranya bisa mengembalikan modal yang tidak sedikit tadi. Sehingga hal ini tentu akan menjadi celah tindak pidana korupsi melalui kewenangan mereka sebagai pejabat. Fakta ini sudah kita saksikan di depan mata, banyak sekali rakyat yang merindukan keadilan, tetapi tidak punya uang. Sedangkan mereka para sultan yang berhamburan harta, tidak bisa tersentuh hukum meski melakukan tindak kriminal.
Kerusakan akibat sistem yang meniadakan peran agama juga makin hari makin marak kita saksikan. Hampir setiap hari kita saksikan berita kriminal di mana-mana. Pembunuhan sadis, perampokan, pencurian, perundungan, kekerasan seksual, pergaulan bebas, dan lain-lain. Semua itu terjadi bukan karena kebetulan, melainkan karena runtuhnya benteng dalam diri individu, yaitu keimanan. Alhasil bagi mereka tidak ada lagi halal dan haram dalam perbuatan, melainkan menghalalkan segala cara demi meraih keinginannya.
Sementara itu, di satu sisi, kemiskinan masih menghiasi kehidupan rakyat, banyak kasus stunting, meroketnya harga-harga barang kebutuhan pokok, dan mahalnya BBM makin menambah panjang penderitaan rakyat. Kesejahteraan rakyat ini tidak akan bisa dicapai dengan pengaturan yang jauh dari peran agama dan hanya mengandalkan hawa nafsu manusia dalam membuat kebijakan.
Kepemimpinan di dalam Islam
Realitas ini sangat berbeda dengan sistem kepemimpinan di dalam Islam. Sebagai seorang muslim kita wajib meyakini bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang lengkap yang menjelaskan berbagai hukum untuk mengatur setiap aspek kehidupan manusia, baik muslim maupun nonmuslim. Sedangkan mengenai politik di dalam Islam, Syekh Abdul Qadim Zalum menjelaskan di dalam kitab Afkar Siyasiyah bahwa politik (as-siyasah) adalah riayatusyu'unil ummah bil Islam yang bermakna mengatur segala macam urusan umat dengan Islam.
Dalam surah Al-Maidah ayat 49, Allah Swt. juga telah menuntun Rasulullah saw. agar memutuskan perkara yang terjadi di tengah-tengah umatnya menurut apa yang Allah turunkan. Juga agar Rasulullah tidak mengikuti hawa nafsu mereka dan berhati-hati terhadap mereka supaya mereka tidak berpaling dari Rasulullah dan dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadanya.
Seruan Allah Swt. kepada Rasul saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah umat sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan ini juga merupakan seruan bagi umat beliau. Dari sini bisa dipahami bahwa hendaklah kaum muslim mewujudkan seorang hakim atau penguasa setelah wafatnya Rasulullah saw. untuk memutuskan perkara yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan. Perintah di dalam surah tersebut bersifat tegas.
Sedangkan hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah-tengah kaum muslim setelah Rasulullah saw. wafat adalah khalifah. Adapun sistem pemerintahannya adalah Khilafah, yakni kepemimpinan umum atas seluruh kaum muslim yang menerapkan hukum Allah dalam semua aspek kehidupan. Hal ini telah dicontohkan langsung oleh baginda Rasulullah saw., para khulafaurasyidin, dan khalifah setelahnya hingga hampir 14 abad lamanya. Selama itu pula tidak pernah sekalipun hukum Islam dipisahkan atau ditiadakan dari negara. Hal itu berarti peradaban Islam telah membuktikan bahwa agama tidak pernah dipisahkan dari politik pemerintahan.
Rasul saw. telah menjelaskan tanggung jawab umum yang harus dipikul seorang penguasa atau khalifah terhadap urusan rakyatnya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa tiap-tiap pemimpin dari manusia pasti akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang ia pimpin. Imam yang menjadi pemimpin manusia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Laki-laki yang menjadi pemimpin keluarga, dia bertanggung jawab atas keluarganya. Wanita yang bertanggung jawab dalam urusan keluarga, suami, dan anaknya bertanggung jawab atas mereka semua.
Adapun mengenai pernyataan Menag tentang Islam sebagai rahmatan lil alamin bukan hanya rahmatan lil Islam saja justru bisa menjadi pandangan yang negatif terhadap syariat Islam itu sendiri. Dari pernyataan tersebut seolah bahwa ketika Islam dipakai dalam kekuasaan atau pemerintahan, maka bisa membahayakan agama lain. Hal inilah yang sering kita dengar, bahwa ketika syariat Islam diterapkan, seolah-olah akan mendiskriminasi agama lain. Padahal Islam menganggap semua manusia yang berada di bawah kekuasaannya sebagai warga negara yang wajib dilindungi harta, jiwa, dan kehormatannya, baik muslim maupun nonmuslim. Kaum nonmuslim tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang, diskriminatif, ataupun zalim. Begitu pun tidak boleh ada tempat peribadatan agama lain yang boleh diserang atau bahkan dihancurkan.
Semua warga negara mempunyai hak yang dijamin oleh Islam dan tidak boleh membeda-bedakan manusia berdasarkan warna kulit, ras, atau agamanya. Al-Qurafy dan Ibnu Hazm pernah menyatakan, "Sudah menjadi tugas kita untuk melindungi para ahli dzimmah (warga negara nonmuslim), apabila ada kaum yang menyerang negeri kita dan bila perlu kita harus siap mati untuk melindungi mereka. Mengabaikan tugas ini sama artinya dengan pelanggaran terhadap hak-hak ahludzimmah."
Penutup
Sebagai seorang muslim, sudah seharusnya kita meluruskan pandangan kita mengenai politik dan kepemimpinan. Bahwa pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang siap menerapkan hukum yang Allah turunkan dalam segala aspek kehidupan. Sebab ia yakin sebuah negara akan mendapatkan rahmat dan keberkahan tatkala diterapkan syariat Islam di dalamnya. Oleh karena itu, memilih pemimpin bukan hanya melihat agama dan kesalehan pribadinya saja, tetapi pemimpin yang mampu menerapkan semua syariat-Nya. Wallahu a'lam bishawab. []
demokrasi hanya akan melahirkan pejabat-pejabat sekuler karena memang sistem berasaskan sekularisme. sangat disayangkan negeri mayoritas muslim begitu ridho mengadopsi sistem cacat dan rusak ini. walaupun sudah terbukti banyak melahirkan malapetaka.
Agama dan politik ibarat dua sisi mata uang. Tidak bisa dipisahkan. Begitu pula imam al Ghazali menyampaikan, "Agama iru adalah pondasi, dan
kekuasaan itu adalah penjaga, Kekuasaan tanpa pondasi
akan roboh, sementara agama tanpa penjaga akan lenyap".
Oh, demokrasi ... politik dan agama memang seharusnya jangan dipisah. Inilah gambaran negara sekuler yang melahirkan pejabat sekuler juga. Yang suka mengotak-ngotak antara urusan agama dan politik.
Udah bukan rahasia umum sih. Kalau mau jadi bawa2 Islam, kan negeri ini mayoritas muslim. Eh pas jadi memusuhi Islam. Angel-angel. Beda banget dengan Sistem Islam. Para pemimpin menjadi garda terdepan menerapkan Islam dalam kehidupan.
Sepakat, bahwa pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang siap menerapkan hukum yang Allah turunkan dalam segala aspek kehidupan.