Tragedi Kanjuruhan Fanatik Buta Pembawa Petaka

"Inilah ciri khas generasi muda di bawah naungan sistem demokrasi yang merupakan bagian dari ideologi kapitalisme. Mereka disibukkan dengan kegiatan yang minim faedah. Waktu mereka habis sekadar untuk mencari materi dan menyalurkan kesenangan maupun hobi."

Oleh. Erdiya Indrarini
(Kontributor NarasiPost.Com dan Pemerhati Publik)

NarasiPost.Com- Oktober diawali dengan tragedi. Ratusan nyawa melayang di gelanggang olahraga, seolah tiada arti. Haruskan mati untuk sebuah hobi? Atau demi kelompok, kesukuan dan nasionalisme?

Dilansir dari bola.com, 2/10/2022, sebanyak 125 suporter dan 2 orang anggota Polri meninggal dalam gelaran sepak bola di stadion Kanjuruhan, Malang, Minggu, 1/10/2022. Pertandingan berlangsung kondusif hingga wasit meniup peluit panjang pertanda permainan selesai. Pemain Persebaya masuk ke ruang ganti, sedangkan pemain Arema FC berkumpul di lapangan. Seperti biasa, mereka memberi penghormatan pada suporternya, walau kalah dengan skor 2-3 setelah 23 tahun selalu menang. Beberapa suporter menghampiri para pemain untuk memberi pelukan, dukungan dan semangat. Ada yang memeluk Sergio Silva, ada pula yang berbicara dengan kapten tim, Ahmad Alfarizi. Namun, jumlah mereka semakin banyak dan ada yang membawa bendera Persebaya yang dicoret.

Melihat kejadian itu, aparat yang terdiri dari Polri dan TNI memasuki lapangan. Mereka menggiring pemain ke ruang ganti, kemudian menembakkan gas air mata untuk mengurai kerumunan di tengah lapangan. Inilah awal kemarahan dan kepanikan terjadi. Para suporter berhamburan ke tribune untuk menghindari pukulan dan gas air mata. Namun, gas air mata pun ditembakkan ke tribune. Para suporter berlari ke pintu keluar dengan penuh kepanikan, namun pintu belum dibuka. Sehingga terjadi penumpukan, saling injak dan sesak napas. Inilah untuk ke sekian kali terjadi tragedi sepak bola yang memakan ratusan korban jiwa. Hingga saat ini, belum ada konfirmasi dari kepolisian mengapa ada gas air mata dalam stadion yang telah dilarang oleh federasi sepak bola internasional (FIFA).

Represif Aparat

Dokumen FIFA Stadium Safety and Scurity pada pasal 19 no.b menjelaskan bahwa tidak boleh membawa atau menggunakan senjata api atau gas pengendali masa. Aturan FIFA ini menegaskan bahwa gas air mata yang dibawa aparat dalam pengamanan pertandingan sepak bola telah menyalahi prosedur. Aparat kepolisian mengatakan hal ini telah sesuai prosedur, namun tentu tidak bisa diterima. Penanganan massa yang berdemo tidaklah sama dengan penanganan orang-orang yang berada di stadion. Dengan membawa gas air mata bahkan menembakkannya, artinya dari awal aparat kepolisian telah berniat melanggar aturan yang ada.

Tindakan yang mengakibatkan tragedi ini telah menunjukkan sikap represif aparat terhadap rakyat dalam melakukan pengamanan. Bahkan saksi penonton ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang tidak tahu menahu, maupun yang duduk di VIP pun ikut merasakan sesak napas dan mata pedih akibat gas air mata. Alih-alih memberikan rasa aman, aparat justru memberikan kepanikan, bahkan mencabut hak ratusan rakyat untuk tetap hidup dengan kematian yang tragis.

Diberitakan bahwa tidak terlihatnya baku hantam antarsuporter, suporter menyerang pemain, maupun penyerangan suporter pada aparat. Hal ini menunjukkan bahwa kematian tragis 127 orang adalah akibat dari perlawanan antara suporter melawan gas air mata. Untuk itu, hendaknya aparat kepolisian segera mengevaluasi penggunaan gas air mata dalam arena olah raga. Pemerintah daerah dan pusat serta Propam Polri dan POM TNI haruslah mengadakan penyelidikan atas tragedi ini. Harus dilakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran profesionalisme dan kinerja anggota TNI dan Polri yang bertugas. Hal ini harus dilakukan agar tragedi tidak terulang lagi.

Hukum Olahraga dan Fanatisme

Menjaga kesehatan badan baik jasmani maupun rohani, wajib hukumnya bagi setiap orang. Berolahraga seperti sepak bola pun dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarang. Namun berbeda ketika olahraga sebagaimana sepak bola telah menjadi permainan yang terorganisasi. Yaitu permainannya diatur sedemikian rupa disertai berbagai program. Seperti kapan waktu penyelenggaraan, ada penunjukan staf manajer, pegawai, maupun penanggungjawab, dan lain-lain. Sehingga menjadi organisasi yang memiliki misi penting atas berbagai program yang akan dilaksanakan.

Dengan diselenggarakan secara terstruktur, maka pelaksanaannya akan melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Seperti jadwal pertandingan, penonton, suporter, keamanan, maupun seluruh pernak pernik yang berkaitan dengan penyelenggaraan pertandingan. Ketika sudah menjadi olahraga yang terorganisasi seperti itu, maka negara harus bertanggung jawab dan memastikan tidak ada penyimpangan atau keburukan apa pun, apalagi kematian. Ketika ada penyimpangan atau keburukan yang terjadi, maka olahraga yang dilaksanakan dengan terorganisasi tersebut menjadi terlarang.

Hal itu karena olahraga telah keluar dari tujuan yang baik yaitu untuk menyehatkan badan, akhirnya menjadi permainan yang mengandung banyak penyimpangan dan keburukan. Terbukti kerap kali mengundang perjudian yang dilarang juga kerusuhan yang mengakibatkan kematian. Akhirnya tidak menghasilkan kebaikan tapi kerugian. Olahraga yang dilaksanakan dengan terorganisasi pun selalu syarat dengan bahaya. Di antaranya adalah terperangkap dalam fanatisme buta, yakni fanatik terhadap klub kesayangan, bendera, terhadap daerah asal, maupun fanatik terhadap nasionalisme. Akibatnya, justru akan memalingkan dari kepedulian terhadap permasalahan hidup yang dialami umat.

Padahal, seseorang yang mati karena fanatik terhadap kelompoknya atau yang disebut dengan ashabiyah, ia termasuk mati jahiliah. Abu Hurairah ra. Mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda :
"Siapa yang keluar dari ketaatan dan memecah belah jamaah (umat Islam) lalu mati, dia mati dalam keadaan mati jahiliah. Siapa yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah untuk kelompok, dan berperang untuk kelompok, dia bukan bagian dari umatku". (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, An-Nasai)

Di Balik Fanatisme dan Hilangnya Aset Bangsa

Kerusuhan yang terjadi di Kanjuruhan adalah potret buruk fanatik terhadap kelompok atau golongan, juga terhadap kesenangan-kesenangan yang sifatnya semu belaka. Sebanyak 127 korban jiwa bukanlah jumlah yang sedikit, apalagi jumlah ini masih mungkin bertambah. Mereka tentunya para generasi muda yang produktif, dan merupakan aset bangsa yang paling berharga. Jika dididik dengan benar, niscaya mereka akan menjadi generasi yang unggul dan cemerlang, yang akan menjadi penerus estafet pembangunan. Kepada siapa lagi negara bisa berharap jika tidak pada para pemudanya. Namun sungguh disayangkan, ratusan pemuda yang merupakan aset bangsa itu justru mati sia-sia akibat fanatisme. Yaitu cinta dan kesenangannya terhadap sepak bola dan klub kesayangannya.

Fanatisme akibat sepak bola pun ternyata tak hanya membahayakan masyarakat, namun juga mencengkeram pemainnya. Pelle, seorang pemain terkena dari Brazil mengatakan "Sepak bola sudah menjadi seperti agama bagi saya, saya menyembah bola dan memperlakukan seperti Tuhan". Itulah bukti bahwa pengaruh dari permainan sepak bola yang terorganisasi, ternyata sangat buruk. Ia akan membentuk fanatisme. Dalam fase tertentu, sepak bola akan membahayakan dan merusak akidah.

Inilah ciri khas generasi muda di bawah naungan sistem demokrasi yang merupakan bagian dari ideologi kapitalisme. Mereka disibukkan dengan kegiatan yang minim faedah. Waktu mereka habis sekadar untuk mencari materi dan menyalurkan kesenangan maupun hobi. Hampir tak pernah tebersit dalam benaknya akan sebuah kebangkitan menuju peradaban yang mulia, penuh keadilan dan ketenteraman. Mereka lupa bahwa Allah menciptakan mereka untuk mengabdi pada-Nya, yaitu menegakkan Islam di muka bumi. Negara pun tak peduli bagaimana masa depan pemudanya, bahkan tak merasa rugi atas hilangnya ratusan pemuda yang merupakan aset bangsa. Negara lebih mementingkan perekonomian para investor dari pada nyawa pemudanya. Di samping itu, di negara bersistem demokrasi, kematian para pemuda bukanlah malapetaka yang harus diantisipasi.

Agenda Zionis terhadap Event Olahraga

Perlu diketahui, orang-orang zionis dan Barat dengan kapitalisme sebagai ideologi, mereka memiliki agenda besar. Mereka menjelajahi dunia dengan misi 3G. G yang pertama adalah Gold, yakni emas atau kekayaan termasuk segala sumber daya alam. Kemudian Glory, maksudnya adalah kejayaan (kekuasaan). Mereka beranggapan bahwa kejayaan mereka adalah seberapa banyak daerah yang menjadi koloni mereka. Kemudian, Gospel yakni penyebaran agama (Kristen). Jadi, di samping menjajah untuk merampas sumber daya alam mereka juga punya misi menyebarkan agama dan ideologi mereka. Tujuannya adalah agar terus bisa menancapkan kekuasaan mereka di dunia terutama pada kaum muslim, dengan harapan hidup di dunia dengan kesenangan.

Dengan kolonialisme tersebut, daerah koloni atau jajahan mereka tentu akan hidup dengan susah dan otomatis banyak masalah. Untuk menghibur rakyat yang hidup penuh dengan problematika itu, para kolonialis mengadakan bermacam pesta olahraga. Dari berbagai literatur disebutkan, dahulu kaisar Romawi mengadakan suguhan-suguhan olahraga supaya rakyat sejenak terlupakan dari problem. Mereka mengadakan berbagai pesta olahraga sehingga ditonton oleh khalayak ramai. Dengannya, rakyat bisa terhibur sementara dari berbagai persoalan seperti tekanan ekonomi maupun masalah sosial yang sejatinya sengaja dibuat oleh penguasa. Sementara, para kaisar itu bisa terus menikmati kemewahan dan mempertahankan kekuasaannya.

Demikian juga dimasa sekarang, para kolonialis Barat berusaha menyibukkan umat (Islam) dengan berbagai suguhan yang sejatinya nirfaedah termasuk pesta pertandingan olahraga. Tujuannya agar umat, terutama generasi mudanya berpaling dan tak peduli terhadap problematika sebenarnya. Yaitu penjajahan dan perampokan sumber daya alam serta rusaknya akidah juga semakin tidak pahamnya umat Islam tentang syariat yang di dalamnya mencakup ekonomi, sosial, maupun politik Islam. Sehingga, umat makin tak berdaya untuk melakukan kebangkitan. Masyarakat pun menjadi kurang peka terhadap persoalan umat.

Seorang intelektual Barat, John Hergreaves mengatakan "Sport is a mirror microcosm of modern capitalist society an integral part of system of class domination and exploitation". Dari sini kita semua mesti belajar dan memahami bahwa penyelenggaraan olahraga secara terorganisasi, baik disadari ataupun tidak sejatinya merupakan bagian dari sistem dominasi kelas dan eksploitasi semata.

Islam Menyikapi Olahraga Sepak Bola

Negara yang menerapkan sistem Islam otomatis akan menerapkan syariat dalam institusinya. Tujuannya adalah terwujud rahmatan lil 'alamin, yaitu rahmat bagi seluruh alam. Salah satu fungsinya adalah penjagaan jiwa manusia, baik muslim maupun nonmuslim. Jangankan hingga terjadi kematian 127 orang, menimpakan bahaya dan kesusahan kecil saja diharamkan dalam Islam. Rasulullah bersabda :

"Siapa saja yang membahayakan orang lain, Allah akan menimpakan bahaya kepada dirinya. Siapa yang menyusahkan orang lain, Allah akan menimpakan kesusahan kepada dirinya". (HR. Al-Hakim)

Ketika olahraga diselenggarakan dengan terorganisasi, maka negara harus bertanggung jawab. Di antaranya, pelaksanaan harus berjalan sesuai dengan syariat. Artinya, tidak akan ada keharaman maupun keburukan apa pun di dalamnya. Ketika ada penyimpangan apalagi sesuatu yang membahayakan jiwa, maka negara bertanggung jawab sepenuhnya. Memberikan hukuman atau sanksi tegas bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab hingga membuat jera dan rasa takut bagi yang ingin melakukannya.

Selain itu, sistem Islam memosisikan generasi muda sebagai aset berharga. Maka negara akan mendidik dengan sepenuh hati agar terbentuk karakter mulia. Maka potensi besar umat, khususnya pemuda tidak dibiarkan terikat pada kecintaan terhadap sesuatu yang remeh, seperti pada kelompok sepak bola, kesukuan, bahkan nasionalisme. Namun potensi pemuda akan diarahkan pada kecintaan tertinggi, yaitu pengabdian pada Rabbnya, pada Islam dan syariatnya, serta usaha kebangkitan peradaban Islam hingga terwujud rahmatan lil 'alamin sebagaimana yang telah dijanjikan Allah Swt..

Di samping itu, negara akan membangun kesadaran politik termasuk politik olahraga pada masyarakat terutama para pemudanya. Agar mereka aktif melakukan kontrol atau koreksi terhadap pelaksanaan pemerintahan. Sebab, ketika kesadaran politik masyarakat lemah, maka akan memperbesar potensi terjadinya berbagai penyimpangan oleh penguasa. Dampaknya, masyarakat pula yang menanggung derita.

Oleh karena itu, pemuda muslim harus paham bagaimana posisi olahraga dan apa yang menjadi standar prioritasnya. Dengan demikian, seorang muslim tidak mudah terjebak pada suguhan-suguhan event olahraga yang menjadi strategi musuh-musuh Islam. Juga tak mudah terjerumus pada jeratan-jeratan sistem kapitalisme yang telah menggurita menyasar dunia olahraga termasuk sepak bola, baik level dunia, nasional, bahkan level daerah.

Wallahua'lam bisshowwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Erdiya Indrarini Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Blood Sausage
Next
Belanja Mahal Anggota Dewan di Tengah Ancaman Resesi
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Percaya Takdir
2 years ago

what an amazing content

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram