"Secara kasat mata tampak adanya ‘simbiosis mutualisme’ antara pemerintah dan petinggi kampus. Kebutuhan untuk dukung-mendukung demi jabatan tidak bisa dihindarkan, terlebih setelah lahirnya keputusan pemilihan rektor oleh presiden. Demikian pula mekanisme pemberhentiannya. Keputusan ini menunjukkan adanya intervensi pemerintah di lingkungan kampus."
Oleh. Haifa Eimaan
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Pemberian gelar doktor honoris causa atau doktor kehormatan kepada Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, dari Universitas Negeri Semarang pada Sabtu, 22 Oktober 2022, diwarnai demonstrasi mahasiswa. Auditorium Universitas Negeri Semarang tempat digelarnya acara didatangi sejumlah mahasiswa yang menyampaikan protes. Dalam aksinya, mereka menyoroti sejumlah gelar kehormatan yang dikeluarkan pihak universitas kepada beberapa pejabat. Sejumlah mahasiswa ini juga menuntut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengkaji seluruh gelar kehormatan yang pernah diterbitkan bahkan mencabutnya bila terbukti tidak memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan. Selain itu, mahasiswa-mahasiswa vokal ini meminta pimpinan Universitas Negeri Semarang untuk memberikan klarifikasi kepada publik agar transparan dalam setiap penganugerahan gelar honoris causa.
Dilansir oleh situs resmi UGM (Universitas Gadjah Mada), gelar doktor honoris causa ini adalah gelar doktor kehormatan yang diberikan perguruan tinggi kepada seseorang tanpa harus menempuh pendidikan dengan syarat tertentu. Ketentuan ini termuat dalam Perpu RI Nomor 43 Tahun 1980 tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa).
Di Indonesia, pemberian gelar honoris causa bisa diberikan pada WNI maupun WNA yang memiliki karya atau kontribusi jasa luar biasa. Adapun maksud berkarya atau memiliki kontribusi jasa, seperti luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan teknologi, pendidikan, serta pengajaran; memberikan manfaat untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa di berbagai bidang, khususnya manusia pada umumnya; secara luar biasa dapat mengembangkan hubungan baik; dan secara luar biasa telah menyumbangkan tenaga maupun pikiran demi perkembangan perguruan tinggi.
Terjadinya aksi demonstrasi yang mewarnai pemberian gelar honoris causa pada 22 Oktober 2022 karena para mahasiswa melihat tidak adanya sumbangsih luar biasa terhadap ilmu dan negara yang diberikan oleh Moeldoko. Hal ini sama persis seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Tercatat nama Airlangga Hartanto, politisi dari Golkar (2020), Nurdin Halid mantan Ketua Umum PSSI (2021), dan Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan RI (2022) yang mendapat gelar kehormatan dari Universitas Negeri Semarang. Apa yang telah dilakukan oleh para petinggi kampus ini dianggap mencederai lembaga pendidikan tinggi.
Sementara di sisi lain, Universitas Negeri Semarang tidak segan memberi sanksi pada dosen atau mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Pada tahun 2017, Unnes memberi sanksi tegas kepada Julio Belnanda dan Haris Muzakki yang mengkritik kebijakan Menristekdikti. Pada tahun 2021, menonaktifkan akun official IG BEM Unnes karena mengunggah meme terkait presiden, wapres, dan ketua DPR RI. Masing-masing mendapat julukan sebagai The King of Lip Service, The _King of Silent, dan The Queen of Ghosting. Mereka juga berjanji akan memberi pembinaan kepada para mahasiswanya agar tidak terulang kasus yang sama.
Berbagai peristiwa tersebut menggambarkan bahwa perguruan tinggi bukan lagi lembaga independen yang murni sebagai tempat mahasiswa menimba ilmu pengetahuan dan melahirkan ilmuwan-ilmuwan. Perguruan tinggi bukan lagi wadah pencetak generasi yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat, sebaliknya menjadi institusi yang mengamini seluruhnya. Salah satu poin tri darma perguruan tinggi, yaitu pengabdian masyarakat telah dikebiri pihak kampus.
Secara kasat mata tampak adanya ‘simbiosis mutualisme’ antara pemerintah dan petinggi kampus. Kebutuhan untuk dukung-mendukung demi jabatan tidak bisa dihindarkan, terlebih setelah lahirnya keputusan pemilihan rektor oleh presiden. Demikian pula mekanisme pemberhentiannya. Keputusan ini menunjukkan adanya intervensi pemerintah di lingkungan kampus. Perguruan tinggi pun tak lebih sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk melegalkan langkah-langkah politisnya. Kampus menjadi sanderaan politik balas budi. Simbiosis mutualisme bagi petinggi kampus dan pemerintah, justru menjadi parasit bagi mahasiswa.
Sungguh memprihatinkan. Kondisi ini bertolak belakang dengan Islam. Dalam Islam, integritas sangat dijunjung tinggi, terlebih dalam pemberian gelar. Sanad keilmuan dan karya yang menjadi satu-satunya ukuran sumbangsih nyata ilmuwan terhadap kehidupan, bukan yang lain. Penganugerahan gelar bisa diberikan oleh sesama ulama sebagai bentuk penghargaan atas karya, perjuangan, dan sumbangsihnya terhadap umat dalam menjelaskan kebenaran Islam. Sebagai contoh, bila Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani menyebut Syaikhul Islam dalam karyanya, maka sebutan itu tertuju kepada Sirajuddin Al Bulqini seorang Qadhi pada masa pemerintahan An Nashir Fajr bin Barquq, Al Manshur Abdul Aziz, Al Musta’in II, Al Mu'ayyid Syaikh Al Mahmudi, Al Muzhaffar Ahmad, dan Azh-Zhahir Thathar. Selain sebagai Qadhi, Syaikh Sirajuddin Al Bulqini melahirkan karya dalam bidang Al Qur’an, Mawaqi'ul 'Ulum fi Mawaqi'iun Nujum. Karya lainnya, Al Ifham bima Waqa'a fi Shahih al Bukhari min Al Ibham, Munasabat Abwab Tarajimul Bukhari, Al Kaba'ir wash Shagha'ir, dan banyak lagi karya lainnya.
Sedangkan bila Imam As Suyuthi menyebut Syaikhul Islam, maka yang dimaksud adalah Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani. Dikutip dari website nu.com, beberapa karya Ibnu Hajar Al Asqalani adalah al Isabah fi Tamyizis Sahabah, Tahdzibut Tahdzib, Ta’jilul Manfa’ah, al-Ihtifal bi Bayani Ahwalir Rijal, ad-Durarul Kaminah, Nuzhatul Albab, Ta’rifu Ahlit Taqdis. Dua kitabnya yang terkenal adalah Fathul Bari dan Lisanul Mizan.
Dalam sejarah panjang Kekhilafahan Turki Ustmani, penganugerahan gelar pun tetap bersandar pada sanad keilmuan dan karya. Gelar Syaikhul Islam diberikankan kepada para mufti negara. Kualitas keilmuaan mereka tidak diragukan. Begitu pula kapabilitasnya dalam memberikan fatwa sesuai syariat Islam. Syaikhul Islam terakhir Kekhilafahan Turki Ustmani adalah Mustafa Shabri Effendi. Risalah al Yamin al Ghamus merupakan salah satu karyanya yang terkenal. Sumbangsihnya kepada Islam lainnya adalah mendirikan cemiyet-i Ilmiye-i Islamiye (Perkumpulan untuk Studi Islam) bersama 112 sarjana Muslim pada Agustus 1908.
Standardisasi penganugerahan gelar berdasarkan sanad keilmuan dan karya tidak akan pernah terjadi dalam sistem yang melingkupi kaum muslimin saat ini. Kapitalisme yang menuhankan materi telah merendahkan derajat ilmu dan ahli ilmu. Sebaliknya, mereka bangga dengan deretan gelar meski sejatinya tidak ada ilmu apalagi karya menghiasi dirinya. Alih-alih malu, mereka justru bangga. Ironis bukan?
Satu-satunya institusi negara yang sangat menghargai ilmu dan para pemiliknya adalah Islam. Jika saat ini di dunia belum tegak lagi Khilafah Islamiah sebagaimana manhaj Rasulullah saw, maka bergerak bersama demi tegaknya kembali adalah sebuah kewajiban. Tidak lain agar ilmu kembali pada maru'ah-nya. Kaum muslimin kembali pada tradisi keilmuannya dan fitrah penciptaannya sebagai sebaik-baik umat.[]