Menggugat Presidential Threshold

"Tarik-ulur penetapan ambang batas pencalonan presiden sejatinya tidak akan berpengaruh terhadap perbaikan nasib rakyat di negeri ini. Penetapan maupun penghapusan tersebut seluruhnya hanya akan bertemu di satu titik yang sama yakni "kepentingan" para oligarki."

Oleh. Sartinah
(Penulis Inti Narasipost.Com)

NarasiPost.Com- Pesta demokrasi di Indonesia memang penuh drama. Setiap lima tahun sekali, hajatan demokrasi di negeri ini selalu diwarnai intrik politik hingga polarisasi pemilih. Sebut saja istilah "cebong dan kampret" yang sempat mewarnai pemilu di tahun 2019. Terbelahnya pemilih yang hanya dua kubu tersebut berdampak lebih besar ketimbang jika calon dan kubu pemilihnya lebih banyak. Munculnya calon presiden dan wakil presiden yang hanya dua kubu tersebut diduga akibat diberlakukannya Presidential Threshold (PT).

Penentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dan batas usia calon presiden dan wakilnya pun menuai polemik di tengah masyarakat. Sebagian pihak menilai, penentuan ambang batas tersebut telah mengebiri hak politik setiap warga negara untuk menjadi Capres dan Cawapres. Sebagian lainnya menyebut bahwa penetapan PT tersebut telah mempersempit demokrasi yang menyebabkan demokrasi hanya dimaknai secara prosedural semata hingga mudah dimanfaatkan oleh oligarki.

Lantas, bagaimana sejarah penetapan PT dari waktu ke waktu hingga digugat banyak pihak? Benarkah PT berpotensi melahirkan oligarki kekuasaan? Adakah pemilihan penguasa yang murah dan berkualitas?

Sejarah Presidential Threshold

Dalam buku Kamus Pemilu Populer: Kosa Kata Umum, Pengalaman Indonesia dan Negara Lain karya Gotfridus Goris Seran, disebutkan bahwa presidential threshold adalah ambang batas perolehan suara yang harus didapatkan partai politik dalam suatu pemilihan untuk menyodorkan calon presiden.

Diketahui, beberapa alasan tentang penetapan presidential threshold adalah: Pertama, memperkuat sistem presidensial. Dalam sistem presidensial, presiden dan wakilnya yang dipilih oleh rakyat akan memiliki kedudukan yang kuat secara politik. Hal tersebut akan membuat Capres dan Cawapres tidak mudah diberhentikan karena alasan politik. Kedua, demi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini penting dilakukan. Jika tidak, maka ada kemungkinan Capres dan Cawapres yang terpilih, bukan berasal dari parpol yang memiliki suara mayoritas di DPR. Jika hal ini terjadi, maka besar kemungkinan Capres dan Cawapres yang terpilih akan diganggu oleh parpol mayoritas di parlemen. Ketiga, demi menyederhanakan sistem multipartai melalui seleksi alam. (Kompas.com, 12/07/2022)

Dalam sejarah pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden di negeri ini, penetapan ambang batas cenderung berubah-ubah. Indonesia diketahui beberapa kali menetapkan ambang batas pencalonan presiden, yaitu pada Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019 yang bertepatan dengan pemilihan Capres dan Cawapres secara langsung. Presidential threshold pertama kali dirumuskan dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Pada Pemilu 2004, ambang batas yang diusulkan apabila partai politik atau gabungan partai politik ingin mengajukan Capres maupun Cawapres adalah 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR. Selang lima tahun berikutnya atau pada Pemilu 2009, besaran presidential threshold berubah seiring berubahnya UU pemilu, yakni 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah dalam pemilihan legislatif.

Kemudian pada Pemilu 2014 besaran presidential treshold tidak berubah sebagaimana pemilu sebelumnya dengan mengacu pada UU Nomor 42 Tahun 2008. Saat itu hanya ada dua pasangan Capres dan Cawapres yang mengikuti kontestasi. Kemudian pada 2019, presidential threshold kembali berubah karena mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. UU tersebut menyebutkan bahwa pasangan calon yang diusulkan parpol atau gabungan parpol peserta pemilu harus memenuhi persyaratan perolehan kursi setidaknya 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu DPR sebelumnya. (Kompas.com, 20/04/2022)

Ramai-Ramai Menggugat

Penetapan PT yang dinilai akan membatasi demokrasi di negeri ini pun ramai-ramai digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di antara para penggugatnya adalah politikus Partai Gerindra, Ferry Juliantono, anggota DPD Fachrul Razi dan Bustami Zainudin, dan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Namun sayang, tak ada satu pun dari gugatan mereka yang dikabulkan MK.

Mengikuti jejak para pendahulunya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun menggugat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyebut tentang presidential threshold. PKS menganggap penetapan tersebut membatasi gerak-gerik mereka untuk membentuk koalisi. Sama seperti nasib penggugat sebelumnya, gugatan PKS pun ditolak seluruhnya oleh MK.

Dengan ditolaknya seluruh gugatan pemohon, maka nyaris dipastikan jika Capres dan Cawapres hanya berasal dari partai besar. Sementara partai kecil tidak akan mampu mengajukan calonnya. Di sisi lain, dengan ditolaknya seluruh gugatan tentang PT oleh Mahkamah Konstitusi, membuat lembaga penjaga konstitusi (guardian of the constitution) tersebut dituding oleh beberapa kalangan telah berubah menjadi lembaga penjaga oligarki (the guardian of oligarchy).

Oligarki Kekuasaan

Pemberlakuan presidential threshold 20 persen tersebut menunjukkan kentalnya oligarki kekuasaan di negeri ini. Beberapa catatan kritis tentang pemberlakuan ambang batas tersebut adalah:

Pertama, memunculkan kartel politik. Pasalnya, penentuan ambang batas tersebut memberi keistimewaan kepada partai-partai tertentu, utamanya partai besar. Hanya partai-partai yang mampu memenuhi ambang bataslah, yang bisa berkompetisi secara langsung dalam pemilihan presiden. Hal ini tentu saja menghilangkan kompetisi setara bagi calon-calon potensial untuk berkompetisi.

Kedua, melahirkan oligarki. Adanya kartel politik akan membawa para pemodal besar untuk masuk ke dalam lingkaran pemerintah. Para pemodal tersebutlah yang mampu memberi dukungan dana terhadap calon, dengan melobi partai politik yang memenuhi kriteria. Padahal, siapa pun tahu jika tidak ada makan siang gratis. Para pemodal tersebut akan meminta balas budi jika calon yang didukungnya terpilih menjadi presiden. Di sinilah peluang besar lahirnya oligarki.

Ketiga, masyarakat hanya jadi penonton. Penetapan presidential threshold telah nyata akan membatasi pilihan warga. Sebab, calon hanya disodorkan oleh partai politik yang memiliki kekuatan. Hal ini tentu akan menyulitkan pihak yang tidak memiliki modal besar dan akses yang kuat untuk melobi partai-partai politik yang memiliki tiket. Jadilah masyarakat hanya pasrah menerima calon yang disodorkan oleh partai tersebut.

Ilusi Perubahan

Ambang batas tersebut jelas telah mengangkangi demokrasi. Pasalnya, Indonesia telah mengaku sebagai negara demokratis yang memberikan kesamaan hak dalam berpolitik terhadap semua warga negara. Artinya, siapa pun memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Namun, penetapan ambang batas tersebut telah membuktikan bahwa kesamaan hak hanyalah manis di slogan semata. Sedangkan dalam praktiknya, jauh panggang dari api.

Lantas, jika penentuan ambang batas tersebut dihapuskan alias 0 persen, apakah akan melahirkan perubahan yang lebih baik bagi negeri ini? Tentu saja tidak. Apalagi jika melihat kesan "mahal" yang tetap melekat dalam sistem politik demokrasi. Mahalnya mahar politik tetap berpotensi menimbulkan tarik-ulur kepentingan meskipun tanpa penetapan ambang batas. Di sisi lain, ambang batas tersebut juga telah menutup pintu bagi individu untuk mencalonkan diri sebagai presiden karena tidak memiliki kendaraan politik.

Belum lagi, kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa dapat berubah dari waktu ke waktu. Contohnya saja berubah-ubahnya ketentuan ambang batas pencalonan presiden. Perubahan tersebut justru mengonfirmasi bahwa kebijakan atau undang-undang bisa berubah seiring dengan berubahnya kepentingan.

Inilah sejatinya konsekuensi logis dari penerapan politik demokrasi. Demi mendapatkan seorang presiden " setting -an", undang-undang pun rela dibongkar pasang. Belum lagi, dana miliaran rupiah diperlukan untuk mewujudkannya. Mirisnya, pemilihan yang sangat mahal tersebut tidak dibarengi dengan jaminan kualitas terhadap pemimpin terpilih.

Pantas saja Syekh Abdul Qadim Zallum di dalam bukunya Demokrasi Sistem Kufur menyebutkan, di antara bencana paling mengerikan yang menimpa umat manusia yaitu ide kebebasan individu yang dibawa oleh sistem demokrasi. Ide ini telah mengakibatkan jutaan malapetaka secara umum serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di seluruh negeri demokrasi sampai pada derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang.

Memilih Pemimpin dalam Islam

Jika sistem demokrasi membutuhan dana triliunan rupiah hingga utak-atik kebijakan demi mengangkat seorang presiden, Islam justru berkebalikannya. Islam adalah sistem sahih yang mengatur segala persoalan secara paripurna, termasuk dalam memilih pemimpin. Tak hanya murah dalam proses pemilihannya, namun juga menjamin terpilihnya pemimpin yang berkualitas. Baik kualitas kepemimpinannya maupun ketakwaannya.

Setelah wafatnya Rasulullah saw., cara pemilihan yang diambil pada masa Khulafaur Rasyidin yang tidak baku dijadikan dalih oleh sebagian pihak untuk menolak sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Ketidakbakuan tersebut akhirnya dijadikan alasan bahwa Islam tidak mengajarkan sistem pemerintahan di dalamnya. Karena itu, umat Islam menganggap sah-sah saja mengadopsi sistem pemerintahan lain seperti kerajaan (monarki), republik, dll.

Padahal, dalam pengangkatan dan pemilihan Khulafaur Rasyidin ada hal yang tetap baku yaitu pembaiatan khalifah. Proses tersebut tidak pernah ditinggalkan oleh umat Islam, baik pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman, maupun Ali. Pembaiatan tersebut bersifat baku dan menjadi satu-satunya metode pengangkatan khalifah. Sedangkan hal tidak baku adalah teknis pemilihan khalifah sebelum terjadinya pembaiatan. Teknis tersebut memang tidak tunggal, yang artinya mereka melakukan dengan cara yang berbeda-beda.

Bai'at merupakan akad (kontrak) politik antara dua pihak: Pertama, umat Islam atau wakil umat yang biasa disebut Ahlul Halli wa Aqdi atau Majelis Umat. Kedua, satu orang kandidat khalifah. Dalam baiat terdapat komitmen dari umat untuk menaati khalifah yang telah dibai'at. Sementara dari sisi khalifah, ada komitmen untuk mengamalkan Al-Qur'an dan Sunah Rasul-Nya di tengah umat.

Dalam Al-Qur-an dan hadis Nabi saw. pun terdapat perintah bagi kaum muslim untuk membai'at seorang khalifah. Perintah tersebut sebagaimana tertuang dalam hadis riwayat Muslim, "Siapa saja yang membaiat seorang imam (khalifah), lalu dia memberikan kepada imam itu genggaman tangan dan buah hatinya, maka hendaklah dia menaati imam itu dengan sekuat kemampuan dia."

Teknis Pengangkatan Khalifah

Jika bai'at adalah metode baku dalam mengangkat khalifah, maka teknis sebelum pembai'atan tidaklah baku. Artinya, cara pemilihan setiap khalifah bisa berbeda-beda. Misalnya pada masa Khulafaur Rasyidin terdapat perbedaan cara pemilihan khalifah, baik pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman, maupun Ali.

Abu Bakar misalnya, dipilih oleh Muhajirin dan Anshar sebagai Ahlul Halli wal 'Aqdi di Saqifah Bani Saidah setelah wafatnya Rasulullah saw. Sedangkan Umar dipilih berdasarkan istikhlaf (penunjukan pengganti) oleh Abu Bakar. Meskipun ini hanya bersifat pencalonan (tarsyih), bukan pengangkatan Umar sebagai khalifah. Umar baru dibai'at menjadi khalifah setelah wafatnya Abu Bakar. Sementara Utsman dipilih oleh Panitia Enam yang dibentuk oleh Khalifah Umar di bawah kepemimpinan Abdurrahman bin Auf. Peristiwa itu terjadi setelah penikaman terhadap Umar. Adapun Ali dipilih oleh mayoritas umat Islam yang berada di Kota Madinah dan Kufah setelah terbunuhnya Utsman.

Ringkasnya, memilih pemimpin dalam Islam hanya diperlukan akad kedua belah pihak yakni antara khalifah dan umat. Prosesnya pun singkat hingga tidak perlu menghabiskan dana miliaran rupiah. Selain itu, tidak akan ada tarik-ulur kepentingan di dalamnya karena jabatan khalifah adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Khatimah

Tarik-ulur penetapan ambang batas pencalonan presiden sejatinya tidak akan berpengaruh terhadap perbaikan nasib rakyat di negeri ini. Penetapan maupun penghapusan tersebut seluruhnya hanya akan bertemu di satu titik yang sama yakni "kepentingan" para oligarki. Perubahan hakiki hanya bisa terwujud jika para penguasa negeri ini mengempaskan ketergantungan terhadap sistem rusak bernama demokrasi dan beralih kepada sistem Islam.
Wallahu a'lam[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Kapitalisasi dan Nestapa Sepak Bola
Next
Pemuda Agen Perubahan, Wujudkan Kebangkitan Peradaban
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram