"Filosofi yang mendasari kebijakan tersebut adalah pandangan feminisme dan inilah penyebab persoalan KTP tidak kunjung usai malah semakin rumit. Kaum feminis berpendapat ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan sebagai masalah utama KTP. Ada budaya patriarki, laki-laki lebih dominan terhadap perempuan sehingga perempuan sering jadi objek dan dituduh sebagai pihak yang disalahkan."
Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Berita mengejutkan datang dari pasangan Lesti Kejora dan Rizky Billar yang saat pernikahannya di 2021 sempat ramai diperbincangkan. Kala itu rangkaian acara pernikahannya ditayangkan secara live di salah satu TV swasta hampir 7 jam lamanya. Terkuak fakta, pernikahan yang baru seumur jagung serta pasangan yang sering tampil romantis di media sosial, ternyata diterpa masalah berat. Lesti melaporkan suaminya ke Polres Jakarta Selatan atas dugaan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Dilansir dari kompas.tv (01/10/2022), Lesti mengalami luka cukup parah. Bagian kerongkongan bergeser dan luka di bagian kepala. Lesti mengaku dicekik, dibanting, hingga diseret ke dalam kamar mandi oleh suaminya.
UU KDRT Mandul?
Kekerasan terhadap perempuan (KTP) hingga kini masih kerap terjadi. Kasus KTP dalam ranah domestik sepanjang 2021 makin mengkhawatirkan. Hingga Maret 2021, Komnas Perempuan mencatat ada 8234 kasus kekerasan terhadap perempuan dan yang paling menonjol adalah KDRT sebanyak 79 persen atau 6480 kasus. (idntimes.com, 25/11/2021)
Ada beberapa kasus dimana suami bertindak sangat kejam pada istrinya. Di Cianjur seorang istri meninggal karena disiram air keras oleh suaminya. Padahal pernikahannya baru dua bulan. Di Surabaya, suami cemburu melihat istrinya main TikTok lantas membunuh istri dengan memukul menggunakan alat besi. Lalu di Bali, suami tega memukul dan menelanjangi istrinya bahkan diseret, diinjak lalu dibenturkan hingga tak sadarkan diri.
Memprihatikan, rumah seharusnya merupakan tempat aman bagi seorang istri berubah menjadi neraka. Berbagai macam bentuk kekerasan dialami istri, mulai dari kekerasan fisik, verbal, psikologis hingga seksual. Tak heran, istri korban KDRT bisa mengalami trauma psikologis hingga trauma berat. Perlu tenaga profesional untuk memulihkan kesehatan fisik dan mentalnya agar dapat melanjutkan perjalanan kehidupannya.
Pemerintah sudah menelurkan UU KDRT yang di dalamnya memuat ancaman pidana bagi pelaku KTP. Tetapi keberadaan UU ini nyatanya tidak cukup efektif. Sejatinya UU tersebut bisa memberi harapan melindungi perempuan terlebih mengingat kedudukannya sebagai pilar dalam rumah tangga.
Akar Persoalan
Perjuangan menghilangkan KTP sudah berlangsung cukup lama. Tahun 1979 ada Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang ditindaklanjuti dengan terbitnya berbagai aturan salah satunya pengesahan UU KDRT tahun 2004. Disusul oleh UU TPKS yang lebih spesifik melindungi perempuan dari kekerasan seksual pada April 2022.
Sayang, filosofi yang mendasari kebijakan tersebut adalah pandangan feminisme dan inilah penyebab persoalan KTP tidak kunjung usai malah semakin rumit. Kaum feminis berpendapat ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan sebagai masalah utama KTP. Ada budaya patriarki, laki-laki lebih dominan terhadap perempuan sehingga perempuan sering jadi objek dan dituduh sebagai pihak yang disalahkan.
Kontruksi patriarki ini mengekang kebebasan perempuan dalam berbagai bentuk seperti aturan tidak boleh berpakaian terbuka, tidak boleh keluar malam sendirian, laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga, perempuan dibatasi dalam menduduki jabatan, dll. Karenanya, feminisme menyuarakan kesetaraan dan kebebasan bagi perempuan. Syariat Islam sering disudutkan sebagai aturan yang kental dengan budaya patriarki.
Akhirnya penanganan KTP dilakukan secara parsial, yang menjadi ciri khas sistem liberal kapitalis. Kaum feminisme juga mengalami kekacauan berpikir yang menimbulkan kontradiksi. UU ingin melindungi perempuan, namun di lapangan justru dieksploitasi. Perempuan harus dihormati, tetapi di sisi lain terjadi pembiaran perempuan sebagai objek komoditas yang merendahkan perempuan. Perempuan harus dimuliakan, tapi didorong berperan ganda sebagai pendidik di rumah juga penopang ekonomi keluarga.
Faktor penyebab KTP bersifat kolektif atau multifaktor. Penanganannya harus melibatkan banyak pihak. Hal ini sudah disadari oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagaimana yang dirilis di laman www.kemenpppa.go.id. KTP akan terus menjadi siklus dan tidak ada solusi tuntasnya dikarenakan kebijakan yang tambal sulam.
Solusi Islam
Islam memberikan penjagaan paripurna bagi perempuan. Pendidikan di rumah dan lembaga formal menyiapkan laki-laki dan perempuan untuk menjalankan fungsi sebagai anggota masyarakat dan bagian dari keluarga. Negara merupakan support system agar kaum perempuan mendapat perlindungan secara berlapis.
Berikut gambaran sistem Islam dengan pendekatan secara holistik melindungi perempuan sehingga tidak memberi peluang terjadinya KDRT.
- Sistem pendidikan berlandaskan pada akidah Islam diberikan secara gratis dan bisa diakses oleh semua kalangan, baik laki-laki dan perempuan. Pendidikan turut menyiapkan agar laki-laki dapat berperan sebagai ayah dan perempuan sebagai ibu. Dalam ranah domestik istri adalah mitra suami, mereka saling mendukung dalam mendidik generasi. Suami harus memperlakukan istrinya dengan baik sebagaimana sabda Rasulullah, "Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”
- Sistem pergaulan mengatur kehidupan laki-laki dan perempuan di area publik terpisah serta harus menutup aurat. Perempuan tidak dibiarkan ‘dinikmati’ bebas oleh mata-mata yang memandang penuh hasrat. Interaksi antara laki-laki dan perempuan hanya sebatas hal-hal yang dibolehkan oleh Syariat Islam seperti untuk belajar dan jual beli. Keduanya bekerja sama demi kemaslahatan umat yang dibingkai oleh suasana ketakwaan dan semangat fastabikul khoirot.
- Sistem ekonomi memberikan dukungan bagi para suami agar dapat memberikan nafkah cukup bagi keluarganya. Kebutuhan kolektif yang dalam sistem kapitalis begitu mahal yaitu pendidikan dan kesehatan, menjadi tanggung jawab negara. Dengan demikian, seorang suami tidak harus menghabiskan waktunya untuk bekerja di luar rumah. Seorang istri juga tidak dipaksa bekerja untuk menopang ekonomi keluarga kecuali atas keinginannya untuk bekerja pada bidang yang tidak mengeksploitasi sisi keperempuanannya, seperti sebagai SPG atau foto model. Ketika bekerja, perempuan tidak boleh ada dalam tekanan.
- Sistem sanksi bagi yang melakukan tindak kekerasan pada perempuan termasuk kepada suami yang melalaikan kewajibannya pada keluarga. Ketika ada perempuan menjadi janda dan memiliki anak, negara memastikan mereka memperoleh hak-haknya dari mantan suami atau dari kerabatnya yang laki-laki. Perempuan tidak dibiarkan bekerja keras menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Jika sudah tidak memiliki kerabat atau tidak ada diantara kerabatnya yang mampu menanggung, negara yang akan memberikan tunjangan bagi kehidupannya.
Demikianlah Islam menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan dalam semua dimensinya. Pemimpin negaranya yaitu khalifah melalui sistem pemerintahannya yang disebut Khilafah berada di garda terdepan sebagai perisai. Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud)
Mengakhiri KDRT menggunakan kacamata feminis dan ala ideologi kapitalis liberal hanya ilusi. Perempuan akan terus berada dalam pusaran kekerasan dan kehidupan yang suram. Semestinya umat Islam segera bersatu menuntut agar penguasa beralih ke sistem Islam, yaitu Khilafah.[]