"Fenomena korupsi saat ini telah mengakar di kalangan oknum pejabat negeri. Banyak faktor yang memengaruhi munculnya tindakan tercela ini. Bukan hanya sebatas masalah moral atau akhlak individu yang masih rendah, integritas kerja yang kurang, atau pun sistem struktural lembaga yang minus pengawasan. Akan tetapi, ada hal yang paling mendasar yaitu cara hidup dalam kungkungan sistem demokrasi kapitalis."
Oleh. Reni Adelina
(Aktivis Muslimah dan Komtributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kasus rasuah kian tak bertepi. Belum ada solusi pasti dari negeri dengan asas demokrasi. Kini kasus korupsi kembali mencoreng lembaga negeri, yakni lembaga peradilan kini berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, KPK telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di lingkungan Mahkamah Agung beberapa waktu lalu terkait kasus rasuah pengurusan perkara. Operasi tersebut berhasil menjaring 10 orang yang kemudian dijadikan tersangka. 5 orang di antaranya adalah pegawai Mahkamah Agung (MA) sebanyak 4 orang dan seorang hakim agung yakni, Sudrajad Dimyati. (Kompas.com, 25/9/2022).
Menteri Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD turut angkat bicara. Beliau mengatakan bahwa hakim agung yang terseret dalam OTT bisa jadi lebih dari 1 orang. Ungkapan senada juga dituturkan oleh Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari. Ia menganggap bahwa fenomena rasuah alias suap-menyuap di lembaga peradilan sudah menjadi rahasia umum.
Kasus yang menjerat hakim agung, Sudrajad Dimyati tentunya menambah panjang deretan kasus korupsi di negeri ini. Bahkan, sudah menjangkiti ke lembaga penegak peradilan. Jika demikian, kepada siapa rakyat akan menyandarkan rasa keadilannya? Jika lembaga peradilan hari ini tidak adil dan berkhianat dalam menangani sebuah kasus?
Fenomena korupsi saat ini telah mengakar di kalangan oknum pejabat negeri. Banyak faktor yang memengaruhi munculnya tindakan tercela ini. Bukan hanya sebatas masalah moral atau akhlak individu yang masih rendah, integritas kerja yang kurang, atau pun sistem struktural lembaga yang minus pengawasan. Akan tetapi, ada hal yang paling mendasar yaitu cara hidup dalam kungkungan sistem demokrasi kapitalis. Sistem kehidupan hari ini adalah sistem yang rusak. Sehingga apa pun yang keluar darinya juga penuh dengan kerusakan. Sistem demokrasi kapitalis merupakan sistem usang yang masih bertengger sehingga melahirkan individu yang tamak dan serakah, tidak amanah dalam mengurusi urusan umat dan menjadikan jabatan sebagai alat memperkaya diri.
Sistem Islam Hadirkan Solusi Tuntaskan Korupsi
Memiliki penguasa, hukum, dan sistem yang baik adalah dambaan setiap rakyat. Semua ini akan terwujud jika pola aturan hidup atau sistem bukan berasal dari akal manusia, melainkan bersandar pada hukum Sang Maha Pencipta.
Allah Swt., sebagai Tuhan yang menciptakan seluruh alam berserta isinya sudah pasti menurunkan segenap aturan agar manusia mampu menjalani roda kehidupan dengan baik penuh keimanan. Melalui perantara para Nabi dan Rasul yang dapat dijadikan suri teladan kehidupan. Pun dengan keberadaan Al-Quran dan hadis menjadi pegangan dan kompas kehidupan bagi manusia. Sayangnya, sistem demokrasi kapitalis saat ini memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam urusan bernegara.
Problem yang dihadapi negeri hari ini tak kunjung selesai dari rasuah. Demokrasi kapitalis mengantarkan identitas muslim makin hari makin tergerus keislamannya. Ketika hilangnya identitas Islam, maka dengan mudahkan orang tersebut akan meremehkan dan mengabaikan hukum-hukum Allah.
Dalam aturan Sang Pencipta melalui sistem Islam yang paripurna. Adapun upaya untuk membasmi tindakan rasuah antara lain; Pertama, dengan menanamkan iman dan takwa pada setiap diri individu. Adanya iman dan takwa tidak akan melahirkan pejabat yang berkhianat. Dalam QS. Ali Imran ayat 161, "Siapa saja yang berkhianat, pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu."
Kedua, adanya sistem penggajian yang layak bagi para pejabat sehingga tidak ada alasan untuk melakukan tindakan rasuah.
Ketiga, adanya transparansi terhadap gaji pejabat agar negara dengan mudah mengaudit harta kekayaan pejabat selama berkuasa. "Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia makan apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul." (HR.Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hamim)
Berdasarkan hadis tersebut, harta yang diperoleh para pejabat selain dari pendapatan (gaji) yang telah ditentukan apa pun namanya semisal (hadiah, fee, pungutan, suap, dsb) itu semua merupakan harta ghulul dan haram hukumnya.
Keempat, tentunya ada hukum yang bisa memberi efek jera dalam bentuk sanksi ta'zir. Hukuman ini dapat berbentuk tasyhir (pewartaan/ekspose), denda, potong tangan, penjara yang lama tanpa embel-embel remisi, bahkan bisa sampai hukuman mati. Sanksi yang tegas akan melahirkan efek jera. Dalam sistem Islam para koruptor bukan lah perkara yang menjadi urusan mudah. Wajib ditindak secara tegas tanpa pandang bulu agar tidak muncul benih-benih baru. Perbuatan rasuah sungguh merugikan rakyat dan negara. Para pejabat sudah digaji dari uang rakyat seharusnya tidak menjadi pengkhianat.
Jelaslah, bahwa jabatan adalah amanah yang memiliki pertanggungjawaban yang besar di dunia dan akhirat. Mari saatnya kita menyadari bahwa sistem kehidupan hari ini tidak mampu memberikan solusi terbaik. Justru yang ada hanya ilusi bertubi-tubi. Sudah selayaknya kita memperjuangkan sistem Islam dan kembali kepada aturan Allah yang disampaikan melalui Al-Quran dan As-Sunnah agar kehidupan selamat, berkah dunia dan akhirat.
Wallahua'alam.[]