"Dan seiring dengan perkembangan zaman dan kepentingannya, sistem kapitalisme sekuler menggunakan sepak bola sebagai alat memengaruhi dinamika politik. Terutama yang berkaitan dengan ekonomi dan pariwisata. Maka, tidaklah mengherankan jika di sistem kapitalisme sekuler saat ini, olahraga sepak bola telah disulap menjadi salah satu industri hiburan dan bisnis yang menjanjikan keuntungan spektakuler."
Oleh. Mahganipatra
(Kontributor NarasiPost.Com dan Aktivis Forum Muslimah Peduli Generasi)
NarasiPost.Com- Pro dan kontra terkait penyebab tewasnya korban tragedi Kanjuruhan masih terus bergulir. Gas air mata yang ditembakkan oleh aparat kepolisian ke arah suporter yang turun ke lapangan, diakui oleh pihak kepolisian telah kedaluwarsa, dan ditengarai sebagai penyebab kematian para korban. Menurut Tim Pencari Fakta (TPF) Aremania, dalam tragedi ini aparat kepolisian secara represif telah menembakkan gas air mata ke arah penonton. Membuat penonton panik dan kalang kabut untuk menyelamatkan diri dari efek pedas pada mata dan sesak napas. Penonton yang turun ke lapangan, lari mencari jalan pintu keluar untuk menjauhi asap gas air mata. Begitu juga dengan suporter yang ada di tribune, mereka mengalami hal yang sama, sehingga terjadi desak-desakan. Dilansir dari BOLA.Net , Sabtu (15/10/2022).
Sedih, kecewa, sakit hati dan marah adalah ungkapan hati setiap anggota keluarga korban. Demikian pula dengan seluruh masyarakat yang mengikuti kasus berita ini. Kronologis tragedi mematikan ini, terus menjadi polemik dan bergulir bak bola api liar yang menjadi sorotan masyarakat. Tim Pencari Fakta terus mencari siapa yang lebih pantas bertanggung jawab atas melayangnya ratusan nyawa yang jadi korban.
"Tragedi ini harus diusut tuntas!" Demikianlah tuntutan yang digaungkan oleh masyarakat.
Dampak Buruk Kapitalisasi Industri Sepak Bola
Berdasarkan sejarah persepakbolaan dunia, sepak bola pertama kali ada di Cina sekitar abad ke-3 dan 2 sebelum Masehi di masa Dinasti Han, dengan nama permainan Cuju. Kemudian berkembang dan menjadi olahraga sepak bola dunia dan populer ke seluruh dunia. Sehingga, resmi menjadi salah satu cabang olahraga pertama yang dipertandingkan dalam kompetisi olahraga terbesar di dunia, yaitu Olimpiade. Selanjutnya, pada piala dunia sebagai kompetisi sepak bola internasional pertama kali dilaksanakan pada tahun 1930 di Uruguay. Sampai pada tahun 1996, sepak bola putri pun menyusul menjadi salah satu cabang olahraga dalam Olimpiade.
Dan seiring dengan perkembangan zaman dan kepentingannya, sistem kapitalisme sekuler menggunakan sepak bola sebagai alat memengaruhi dinamika politik. Terutama yang berkaitan dengan ekonomi dan pariwisata. Maka, tidaklah mengherankan jika di sistem kapitalisme sekuler saat ini, olahraga sepak bola telah disulap menjadi salah satu industri hiburan dan bisnis yang menjanjikan keuntungan spektakuler.
Dengan menjadikan sepak bola sebagai sebuah event yang mampu menguntungkan semua pihak yang terlibat, mulai dari pemain, panitia pelaksana, klub, hingga penikmat sepak bola sebagai sebuah tontonan. Klub bisa memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan berbagai aset yang dimiliki klub seperti penjualan pemain, penjualan tiket pertandingan, penjualan berbagai merchandise dan untuk menarik minat investor atau perusahan swasta agar mau memberikan dana promosinya. Di bawah lembaga dunia WHO dan FIFA, sepak bola kian berkibar kiprahnya sebagai sebuah industri bisnis bonafide yang menghasilkan keuntungan besar.
Selanjutnya sistem kapitalisme sekuler juga telah mengubah sepak bola dari sebuah permainan yang menyenangkan menjadi sebuah permainan yang terorganisasi di tengah-tengah masyarakat. Melalui permainan sepak bola, saat ini identitas kelompok, suku dan daerah telah terbentuk dan menjadi pembeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya.
Pada tataran dunia internasional, sepak bola juga mampu menjadi simbol harkat dan martabat sebuah negara-bangsa. Terlebih lagi, jika dikaitkan dengan pemahaman poskolonialisme. Melalui pengaruh poskolonialisme salah satunya berdampak pada para suporter yang memunculkan berbagai permasalahan rasial dan kebudayaan yang berbeda-beda, meski dalam praktiknya bisa postif atau negatif.
Salah satu praktik negatif yang muncul adalah kecintaan yang berlebihan pada klub favorit masing-masing serta emosi suporter yang tidak terkendali, sehingga menimbulkan banyak tragedi. Dan tragedi Kanjuruhan bukan satu-satunya tragedi yang muncul dari sebuah industri sepak bola ala kapitalisme. Namun banyak kasus tragedi yang sama di beberapa negara lain dan memakan korban puluhan hingga ratusan jiwa yang tewas, sementara korban yang luka-luka lebih banyak lagi. Di antaranya di Stadion Accra, Ghana, Afrika pada 2001, menewaskan 126 orang dan 70 ribu luka-luka. Juga tragedi 1 Februari 2012 di Stadion Port Said, Mesir, yang menewaskan 79 suporter dan lebih dari 1.000 suporter lainnya terluka. Tragedi-tragedi ini menjadi bukti residu dari kapitalisasi industri sepak bola. Yang identik dengan fanatisme golongan serta melahirkan kecintaan yang membabi buta.
Pandangan Islam terhadap Olahraga yang Mengandung Lahwun Munadhamun
Kata lahwun berasal dari kata laha yang berarti perbuatan yang dapat memalingkan seseorang dari kewajibannya, perbuatan yang menyibukkan seseorang dan dapat membuatnya berpaling dari kebenaran. Imam Asy-Syathibi menyatakan, “Hiburan, permainan, dan bersantai adalah mubah atau boleh, asal tidak terdapat suatu hal yang terlarang.”
Oleh karena itu di dalam Islam olahraga maupun permainan hukumnya mubah. Akan tetapi, Islam juga memberikan gambaran secara jelas bahwa aktivitas ini tidak boleh menjadi aktivitas lahwun munadhamun (kesia-siaan yang terorganisasi). Karena jika setiap permainan telah menjadi aktivitas melalaikan dan mengundang kesia-siaan bagi manusia maka hukumnya menjadi haram. Setiap aktivitas olahraga maupun permainan yang menyebabkan manusia lalai dari tugas utamanya sebagai abdullah yang harus beribadah kepada Allah Swt. dan lalai untuk menyibukkan diri dari kewajiban menuntut ilmu dan berdakwah amar makruf nahi mungkar. Maka, sejatinya telah terjerumus pada hal yang sangat berdosa.
Terlebih lagi, jika di dalam aktivitas tersebut telah nyata menghalangi manusia dari zikir kepada Allah Swt., menunda dan bahkan meninggalkan salat. Menimbulkan perselisihan, permusuhan dan persengketaan antara pemain maupun suporter. Baik ketika dalam permainan ataupun setelah permainan, sehingga memicu fanatisme buruk terhadap golongan. Mereka saling mencaci, mencela, dan bahkan terjadi kekerasan yang menimbulkan jatuhnya korban jiwa.
Inilah gambaran jelas lahwun munadhamun, kesia-siaan yang terorganisasi dan berdampak buruk bagi kehidupan seorang muslim di dunia terlebih di akhirat kelak. Allah Swt. telah mengingatkan di dalam firmannya;
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْو
“Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah permainan dan senda gurau.…” (QS. Al-An’am: 32)
وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِ
" … dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan hanya senda gurau dan permainan.” (QS. Al-‘Ankabut: 64)
Olah karena itu di dalam kebijakan negara Islam yaitu Khilafah, setiap aktivitas olahraga ataupun permainan yang mendorong lahirnya fanatisme golongan adalah haram. Khilafah akan mengatur setiap olahraga dan permainan yang ada di tengah-tengah masyarakat dengan kebijakan yang berdasarkan sistem Islam kafah yang diatur oleh undang-undang. Negara akan memberikan fasilitas yang memadai, mengatur waktu permainan dan menjaga keamanan para pemain maupun penonton dalam sebuah undang-undang yang sesuai dengan syariat Islam. Sehingga pelaksanaan pertandingan olahraga tidak akan memicu timbulnya tragedi. Dan seluruh prosedur pertandingan tidak akan bertentangan dengan syariat Islam.
Wallahu a'lam bish-showab[]