"Kasus korupsi di Indonesia seperti fenomena gunung es, sudah menjadi penyakit kanker kronis, menyebar di semua lini, mulai dari level atas hingga bawah. Inilah yang menyebabkan korupsi sulit diberantas, ada upaya saling melindungi di antara para koruptor."
Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Papua dikaruniai kekayaan alam dan sumber daya mineral yang berlimpah seperti tembaga, emas, dan perak. Rakyat pulau Bumi Cendarawasih ini seharusnya bisa menikmati kesejahteraan dan kemakmuran dari pengelolaan sumber daya alamnya. Namun, hingga kini rakyat Papua masih harus bergulat dengan berbagai persoalan.
Dari Juli 2022, warga Papua di Kabupaten Lanny Jaya kelaparan. Ini kejadian kelima kalinya sejak dari 2015. Papua juga menghadapi masalah pengungsian, konflik, dan pelanggaran HAM berat. Menurut laporan PBB yang dirilis bbc.com (01/09/2022) sekitar 60.000 hingga 100.000 orang Papua terusir dari kampung halaman dan menjadi pengungsi akibat konflik yang tak kunjung usai.
Presiden Jokowi belasan kali ke Papua. Namun, kehadirannya bukan untuk membantu warganya. Pembangunan yang digagasnya lebih mengutamakan fisik seperti infrastruktur, konektivitas, dan zona kawasan eksklusif. Semua itu bukan prioritas yang dibutuhkan warga Papua saat ini yang mayoritas berada di perkampungan. Hanya sekelompok pemilik kekuatan ekonomi dan politik yang bakal diuntungkan.
Di tengah upaya pemerintah yang stagnan dalam merangkul warga Papua, korupsi juga merajalela. Terakhir yang ramai diperbincangkan tentang gubernurnya. Diduga Gubernur Lukas Enembe menerima gratifikasi Rp1 miliar juga mendapat aliran dana tak wajar yang mencapai setengah triliun rupiah. Jika temuan KPK ini terbukti benar, Lukas bisa mendapat julukan kepala daerah paling korup sepanjang sejarah. Entah berapa persisnya hak warga Papua yang ia korupsi, karena selama Lukas menjabat sudah lebih dari Rp500 triliun dikucurkan untuk Papua.
Kehidupan sang gubernur begitu mewah. Rumahnya berdiri di atas tanah seluas 1,1 hektare. Bisa main judi ke Malaysia, Singapura, dan Filipina. Terungkap juga ia menyetor uang tunai lebih dari setengah triliun di kasino judi. Kata pengacaranya, Aloysius Renwarin, itu sekadar liburan sang gubernur untuk melepaskan penat.
Sudah sulit menggambarkan dengan kata-kata, kejahatan para elite penguasa terhadap warga Papua.
Sistem Demokrasi, Habitat Subur bagi Koruptor
Mencuatnya korupsi oleh kepada daerah bukan hal baru di negara ini. Sebelum Lukas Enembe, ada Ratu Atut Chosiyah, Zumi Zola Zulkifli, Annas Maamun, Nurdin Basurin. Bahkan Nurdin Abdullah yang pernah menjadi tokoh antikorupsi akhirnya menjadi koruptor pada waktunya.
Berdasarkan data di situs kpk.go.id, tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 ada 22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota yang ditindak KPK. Jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian, jumlahnya bakal lebih besar. Menurut ICW, sepanjang 2010 – Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah sudah dinyatakan sebagai tersangka korupsi.
Kasus korupsi di Indonesia seperti fenomena gunung es, sudah menjadi penyakit kanker kronis, menyebar di semua lini, mulai dari level atas hingga bawah. Inilah yang menyebabkan korupsi sulit diberantas, ada upaya saling melindungi di antara para koruptor.
Maraknya korupsi kepala daerah tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem demokrasi dengan biaya politiknya yang mahal. Dilansir dari tempo.co (22/11/2013), seorang pengamat ekonomi memprediksi jika ada yang mau menjadi kandidat presiden harus menyiapkan US$ 600 juta (sekitar Rp7 triliun). Berdasarkan riset KPK, seorang calon bupati/wali kota harus menggelontorkan Rp20-30 miliar, dan calon gubernur memerlukan Rp20-100 miliar untuk pencalonannya. Sementara pendapatan rata-rata gaji kepala daerah sekitar Rp5 miliar selama satu periode.
Biaya politik yang fantastis ini tentu saja tidak bisa ditutup hanya dari gaji selama menjabat. Juga tak akan tertutupi oleh keuangan individu. Akhirnya membuka peluang bagi para konglomerat dan korporasi ikut menyumbang. Tentunya bukan bantuan cuma-cuma, mereka mengharapkan timbal balik yang ujungnya terjadilah simbiosis mutulisme dan bermuara pada regulasi atau kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Praktik korupsi kian menggurita karena sistem demokrasi sejatinya habitat subur bagi berkembang biaknya para koruptor yang terus beregenerasi.
Pencegahan Korupsi dalam Islam
Upaya menghukum koruptor terus bergulir dan menjadi janji setiap calon pemimpin. Para koruptor dihukum mati pun sudah diusulkan. Tapi di tengah bobroknya mental pejabat, mulai di lembaga eksekutif, legislatif hingga yudikatif, semua menjadi sebatas wacana.
Sejak 2010, setiap tahun ada penangkapan hakim yang korup. Terbaru, Hakim Agung yakni Sudrajad Dimyati ditangkap. Ini makin membuktikan penanganan korupsi sangat sulit karena mafia sudah masuk di lembaga peradilan. Bagaimana bisa berharap sapu kotor menyapu bersih para koruptor?
Islam sebetulnya sudah memberikan solusi agar tidak ada celah bagi perilaku korupsi mengingat besarnya efek destruktifnya bagi masyarakat.
Pertama, yaitu pada saat pemilihan seorang pemimpin tidak perlu melalui parpol seperti dalam sistem demokrasi. Seorang pemimpin dalam Islam yang disebut khalifah dipilih langsung oleh rakyat untuk menjalankan fungsi utamanya menerapkan syariat Islam. Allah berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 36, ”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
Para pejabat di tingkat provinsi, kota atau kabupaten adalah orang yang amanah dan berkualitas, diangkat oleh khalifah. Tidak perlu proses pemilu berbiaya tinggi sehingga akan mencegah terjadinya suap atau korupsi. Setiap pejabat harus melaporkan kekayaannya yang kemudian akan diaudit setelah selesai menjabat. Jika ada harta yang mencurigakan dan terbukti hasil korupsi, negara akan mengambilnya kemudian dimasukkan ke Baitulmal dan pelaku diproses secara hukum.
Kedua, pemberlakuan sanksi. Sanksi tegas diberikan untuk memberikan efek jera dan sebagai bentuk pencegahan. Pelaku korupsi dihukum sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan dan diserahkan keputusannya pada khalifah. Bisa dengan cara dipublikasikan kepada masyarakat, disita harta, dicambuk atau dihukum mati.
Ketiga para pejabat dianjurkan untuk hidup sederhana dan senantiasa diingatkan bahwa dunia bukan menjadi tujuan. Sikap muraqabah selalu dijaga sebagaimana sabda Rasul saw. ,”Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak dapat melihatNya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Pejabat sebagai pelayan rakyat harus bekerja dengan ikhlas dan tulus memberikan layanan terbaik. Negara memberikan gaji yang layak agar kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier seorang pejabat dan keluarganya terpenuhi. Jangan sampai pejabat korupsi karena negara lalai memperhatikan kesejahteraannya.
Demikianlah penanganan korupsi dalam Islam yang pendekatannya dari semua sisi melalui penerapan sistem Islam. Jika hari ini rakyat sudah sangat lelah oleh ulah para koruptor, penerapan sistem Islam harus cepat ditunaikan. Persoalan korupsi sudah darurat. Bertahan dengan sistem demokrasi sama artinya membiarkan para koruptor terus berlenggang padahal jutaan rakyat sudah jadi korban. Umat Islam harus segera bersepakat menuntut sistem Islam diterapkan agar persoalan korupsi dapat diselesaikan.[]