"Harus disadari bersama bahwa sepak bola saat ini sudah bukan lagi sekadar olahraga, namun telah dijadikan olahdana bagi para kapitalis sebagai lahan bisnis yang menggiurkan dan kadang juga menjadi alat politik kekuasaan untuk meraih popularitas."
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Turut berduka atas tragedi Kanjuruhan Malang, menurut warta CNN Indonesia, (1/10/2022) tercatat 180 suporter sepakbola meninggal, bahkan bisa terus bertambah datanya. Malam kelabu bagi dunia sepak bola di tanah air bahkan dunia, usai kekalahan tim tuan rumah Arema FC Malang dalam laga lanjutan Liga Satu Indonesia kontra Persebaya Surabaya.
Banyaknya korban diduga karena ribuan penonton menjadi panik setelah aparat keamanan menembakan gas air mata untuk menghalau massa yang mencoba turun ke lapangan. Adanya penonton yang masuk lapangan beragam versi, namun sebagai reaksi kepada para pemain yang meminta maaf atas kekalahannya. Tentu yang sangat disesalkan adalah penggunaan gas air mata oleh aparat keamanan disertai tindak kekerasan kepada suporter yang dalam aturan FIFA tidak diperbolehkan.
Olahraga Industri Kapitalisme
Olahraga sepak bola saat ini tidak bisa dilepaskan dari atmosfer penonton, terutama suporter fanatik yang hadir menyaksikan tim kesayangannya secara langsung. Kehadiran penonton menjadi aset tersendiri karena dari sakunya cuan didapatkan, belum lagi dari penjualan jersey dan merchandise yang tentu membuat permainan si kulit bundar kini menjadi industri yang menggiurkan bagi para konglomerat atau oligarki.
Kehadiran suporter fanatik sebenarnya hanya pemantik dari adanya kapitalisasi dalam dunia olahraga paling populer tersebut. Sebut saja kehadiran Ultras di Italia dan Holigan di Inggris yang ditengarai sebagai bentuk perlawanan atau invasi terhadap kapitalisme sepak bola di benua Eropa. Mereka menyebar ke berbagai negara untuk memberikan posisi tawar bahwa kehadiran penonton di setiap pertandingan tidak boleh diremehkan atau menjadi korban "pemerasan" kaum kapitalis.
Dalam catatan sejarah kericuhan sepak bola dunia, pernah terjadi tahun 2012 di Stadion Port Said Mesir saat laga tim Al Masyri dan Al Ahly tercatat 79 korban meninggal dan sekitar 1000 korban luka-luka. Kejadian tersebut ada dugaan ulah suporter fanatik Ultras yang dimanfaatkan oleh para kapitalis.
Harus disadari bersama bahwa sepak bola saat ini sudah bukan lagi sekadar olahraga, namun telah dijadikan olahdana bagi para kapitalis sebagai lahan bisnis yang menggiurkan dan kadang juga menjadi alat politik kekuasaan untuk meraih popularitas. Tidak mengherankan banyak pejabat atau politisi jor-joran menghidupi dunia sepak bola. Semisal Erick Thohir yang pernah menjadi bosnya klub besar Internazionale Milan Italia.
Fanatisme terhadap tim kesayangannya memang sengaja dipelihara oleh kaum borjuis karena sebagai industri bidang olahraga harus bisa meraup cuan sebanyak mungkin. Sekali pun beberapa tim elite dunia sering mengadakan tour amal, namun kenyataannya tidak bisa dilepaskan sebagai iklan eksistensi dirinya sebagai klub profesional yang serba komersial. Maka, para suporter lagi-lagi yang dikeruk hartanya untuk membeli berbagai produk berupa jersey atau aneka aksesoris dengan hak cipta yang mahal harganya.
Persoalannya di tanah air, para suporter boleh dibilang kebanyakan para "anak jalanan" atau masyarakat yang terzalimi karena kemiskinan atau rendahnya tingkat pendidikan, namun kehadiran mereka telah mampu membuat atmosfer sepak bola di negeri ini menjadi olahraga yang paling digemari. Loyalitas para suporter menjadi daya tarik para pemegang saham klub klub besar, sepeti Persib, Persija, Persebaya, dan Arema yang memiliki banyak pendukungnya.
Kacamata Syariat Islam
Dalam kacamata syariat Islam, ada persoalan mendasar yang harus dipahamkan kepada masyarakat agar olahraga sepak bola yang sebenarnya mubah tidak menjadi haram.
Pertama , fanatisme sebagai wujud eksistensi kecintaan kepada sesuatu termasuk olahraga harus di jernihkan agar olahraga kembali kepada fungsinya sekadar permainan dan menontonnya sebagai sarana refresing keluarga. Menonton sepak bola harus memberikan rasa aman dan nyaman, terjaga dari hal-hal yang diharamkan, maka di sinilah tugas negara untuk membangun stadion sebagai fasilitas umum yang ramah keluarga, tidak menjadi tempat maksiat dan terjaga dari segi keamanan dan kenyamanannya.
Kedua , negara harus melayani kebutuhan rakyat akan rasa aman tersebut dengan menempatkan para petugas keamanan di dalam dan luar stadion yang benar-benar bertugas mengamankan bukan menyaksikan pertandingan, mengikuti prosedur pengamanan secara ketat dan memperlakukan penonton sebaik mungkin karena mereka datang dengan membeli tiket untuk bisa menikmati pertandingan. Mereka bukan penjahat yang harus di pentung atau disemprot gas air mata.
Ketiga, tragedi di Kanjuruhan semoga menjadi pelajaran berharga bahwa kapitalisme tidak menghargai nyawa manusia di atas segalanya. Ratusan orang meninggal adalah tragedi kemanusiaan karena aturan buruk buatan manusia. Dalam syariat Islam memelihara nyawa manusia menjadi salah satu tujuan dari penerapan syariat Islam itu sendiri secara kaffah.
Sementara kapitalisme telah menjadikan olahraga sebagai sarana eksploitasi harta rakyat dan pendangkalan akidah umat. Tidak aneh bila mereka menyesuaikan jadwal tanding dengan jam tayang televisi, tujuannya tentu lebih komersial. Sepak bola digelar malam hari, bahkan kadang pada jam-jam ibadah umat Islam. Di sinilah pentingnya penerapan syariat Islam secara kaffah agar sepak bola tidak menjadi agama baru seperti ungkapan Howard Cossel, " after all, is football a game or a religion?"
Wallahu'alam bish Shawwab []