”Sekilas, investasi yang digelontorkan asing tampak memberi angin segar bagi pertumbuhan ekonomi negeri ini. Namun jika ditelisik lebih dalam, investasi asing justru memberikan dampak yang lebih buruk ketimbang manfaatnya.”
Oleh. Sartinah
(Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Indonesia menjadi surga investasi bagi swasta lokal maupun asing. Jutaan hingga miliaran dolar aliran uang yang masuk ke negeri ini adalah wujud dibukanya keran investasi secara jor-joran oleh pemerintah. Bahkan, investasi tak hanya terjadi pada sektor sekunder, namun telah merajai sektor-sektor vital negeri ini. Salah satu negara yang kini mengincar industri farmasi untuk berinvestasi adalah Jepang.
Mengapa Indonesia membuka lebar keran investasi asing? Apa dampak dari investasi di sektor vital seperti kesehatan? Bagaimana pula pelaksanaan investasi yang sahih?
Investasi Jumbo
Jepang diketahui akan menginvestasikan dananya di sektor farmasi Indonesia senilai US$1,7 miliar pada semester I/2022. Realisasi tersebut ekuivalen dengan 94 persen dari seluruh nilai investasi farmasi pada periode tersebut. Menurut data Kementerian Investasi/Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi sektor farmasi di Indonesia seluruhnya mencapai US$1,8 miliar pada semester I/2022. Sedangkan realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) pada kuartal II/2022 yang mencapai US$900 juta tersebut, sebanding dengan seluruh realisasi Jepang sepanjang kuartal pertama tahun ini. (Bisnis.com, 09/09/2022)
Penguatan kerja sama industri farmasi dan alat kesehatan antara Indonesia dan Jepang juga mendapat dukungan dari Kementerian Perindustrian. Pasalnya, kedua industri tersebut masuk dalam tujuh sektor yang mendapat prioritas pengembangan dalam peta jalan Making Indonesia 4.0. Tujuh sektor tersebut yakni industri makanan dan minuman, kimia, otomotif, tekstil dan produk tekstil, farmasi, elektronika, dan alat kesehatan.
Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Ignasius Warsito, ketika mewakili Menteri Perindustrian pada forum bisnis di Osaka, Jepang, menyebut bahwa tujuh sektor tersebut dipilih karena mampu memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 70 persen, ekspor manufaktur 65 persen, serta pekerja industri sebesar 60 persen. Dalam forum tersebut, Indonesia bahkan mengajak kepada para pelaku industri farmasi Jepang agar menjalin kolaborasi lebih luas dalam bidang penelitian dan pengembangan obat-obatan berbasis teknologi. (Tempo.co, 09/09/2022)
Dampak Investasi
Keran investasi memang tidak hanya dibuka untuk sektor kesehatan saja, namun nyaris di berbagai sektor vital yang menguasai hajat hidup rakyat. Contohnya saja investasi di bidang industri logam, pertambangan, listrik, transportasi, makanan, perumahan, dan lainnya. Sekilas, investasi yang digelontorkan asing tampak memberi angin segar bagi pertumbuhan ekonomi negeri ini. Namun jika ditelisik lebih dalam, investasi asing justru memberikan dampak yang lebih buruk ketimbang manfaatnya.
Pasalnya, tidak ada makan siang gratis untuk investasi yang digelontorkan negara asing. Ratusan dolar dana yang diinvestasikan tersebut harus dibayar lebih mahal oleh bangsa ini. Apalagi jika investasi asing diperuntukkan bagi layanan publik yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Investasi di bidang kesehatan akan berdampak pada beberapa hal mendasar, di antaranya:
Pertama, privatisasi kesehatan. Kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Karenanya, sektor kesehatan pun harus dikelola oleh negara dengan prinsip pelayanan, bukan keuntungan. Namun, ketika kebutuhan akan layanan kesehatan diserahkan kepada asing, maka negara akan kehilangan perannya sebagai pengurus rakyat. Privatisasi layanan publik sejatinya adalah wujud lepasnya tanggung jawab negara kepada rakyatnya.
Kedua, biaya kesehatan membengkak. Ketika investor asing diberi wewenang mengurus pelayanan publik, maka besar kemungkinan telah terjadi privatisasi kesehatan. Privatisasi di bidang kesehatan menyebabkan biaya kesehatan tidak lagi menjadi tanggungan pemerintah. Pada saat seperti ini akan terjadi kastanisasi layanan kesehatan. Walhasil, fasilitas kesehatan hanya mampu dirasakan sesuai dengan tingkat kemampuan ekonomi masyarakat.
Ketiga, hilangnya peran negara sebagai pengurus rakyat dalam pelayanan kesehatan. Penyerahan aset-aset vital kepada asing dengan dalih investasi, menunjukkan bahwa negara telah gagal menjalankan fungsinya sebagai pelayan umat serta gagal memenuhi kebutuhan rakyatnya dalam mendapatkan kebutuhan kesehatan. Sejatinya, tujuan pengelolaan pelayanan publik oleh negara adalah agar seluruh rakyat dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau.
Keempat, investasi menghilangkan kemandirian negara. Bercokolnya asing dalam mengelola pelayanan publik berpotensi menekan negara dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini akan menjadikan negara kehilangan kemandiriannya dalam menentukan kebijakan, karena terikat oleh syarat-syarat yang diajukan investor.
Kelima, penyerahan pengelolaan layanan publik kepada asing berpotensi menggeser pekerja lokal. Telah banyak fakta terjadi bahwa investasi yang dilakukan negara asing justru menarik tenaga asing ikut bekerja di dalam negeri. Akibatnya rakyat kesulitan mendapatkan lapangan pekerjaan yang berimplikasi pada meningkatnya jumlah pengangguran.
Demikianlah, ketika asing diberikan hak untuk mengelola sektor publik seperti kesehatan, listrik, air, jalan tol, migas, dan sebagainya, maka pelan tetapi pasti kebutuhan negeri ini akan bergantung pada asing. Akibatnya kedaulatan negara tergadai dan tanpa sadar negeri ini akan jatuh dalam jebakan neoimperialisme atau penjajahan gaya baru.
Buah Kapitalisme
Salah satu konsep dalam sistem ekonomi kapitalisme yaitu kaburnya batasan dari sektor-sektor yang boleh dan tidak boleh dimasuki oleh investor swasta. Ditambah pula dengan aturannya yang cenderung berubah-ubah mengikuti berubahnya kepentingan. Misalnya saja mengubah kebijakan dengan dalih nasionalisme menghalangi investasi maupun sengaja membuka investasi secara jor-joran karena mengikuti prinsip pasar bebas.
Liberalisasi ekonomi telah nyata membuat negara asing bebas ikut campur dalam pengurusan pelayanan publik. Akibatnya, negara berlepas diri dari kewajiban utamanya sebagai penjamin kebutuhan rakyat. Bukannya terjun langsung sebagai garda terdepan mengurusi kepentingan rakyat, pemerintah justru membuka lebar keran investasi asing, yang secara tidak langsung adalah wujud penyerahan urusan rakyat kepada swasta.
Investasi dalam Islam
Islam diturunkan untuk menjadi pedoman dalam seluruh aktivitas manusia, baik dalam skala pribadi, masyarakat, maupun negara. Syariatnya mengatur seluruh aspek termasuk soal investasi. Sejatinya, investasi merupakan hal yang dianjurkan dalam Islam. Bahkan, sebagian ulama ada yang menganggapnya wajib, sedangkan sebagian lainnya menganggap sunah.
Investasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari setiap anggota masyarakat maupun negara. Hanya saja, investasi yang dilakukan oleh suatu masyarakat maupun negara tergantung dari ideologi yang diterapkan. Jika menganut ideologi kapitalisme misalnya, maka investasi yang dilakukan akan mengikuti prinsip kebebasan sebagaimana yang dianut ideologi tersebut.
Dalam terminologi ahli fikih klasik, kata investasi (istitsmar) sejatinya memang tidak dikenal. Namun, para ahli fikih telah menggunakan istilah yang serupa dengan istitsmar, yaitu tanmiyah, nama’, dan istinma’, yang berarti upaya untuk mengembangkan harta dan memperbanyak jumlahnya. (Abdul Hafidh, Dhawabith al-Istithmar fi al-Iqtishad al-Islamy)
Beberapa prinsip dasar investasi dalam Islam, di antaranya:
Pertama, investasi yang dilakukan oleh seseorang wajib terikat dengan syariat Islam. Kegiatan investasi masuk dalam kategori tasharrufa, di mana wujud penilaiannya adalah kesesuaian perbuatannya dengan syariat Islam saja tanpa memasukkan faktor niat di dalamnya. Sebab, investasi bukan seperti ibadah mahdah yang mengharuskan niat yang benar dan kesesuaian pelaksanaannya dengan syariat Islam.
Kedua, orang yang hendak berinvestasi harus memahami hukum-hukum syariat dengan baik agar terhindar dari investasi yang diharamkan. Karena itu, para ulama mengingatkan agar para pelaku bisnis memahami agama terlebuh dahulu sebelum terjun ke bisnis. Keharusan memahami hukum-hukum syariat terlihat saat Khalifah Umar bin Khaththab r.a. Berkeliling ke pasar-pasar dan memukul para pedagang yang tidak memahami syariat dan berkata, “Janganlah berjualan di pasar kami kecuali orang yang memahami agama. Jika tidak, maka ia akan memakan riba, sadar atau tidak.” (Muhammad Abdul Hayyi Al-Kattany, al-Nidham al-Hukumah al-Nabawiyyah)
Ketiga, dari sisi permodalan ia harus merupakan harta yang diperoleh secara halal, baik dari harta milik pribadi maupun dari sumber lain. Harta pribadi bisa berasal dari beberapa sumber yakni hasil bekerja, warisan, harta dari kerabat orang lain atau negara, pemberian negara semisal subsidi, maupun harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta dan tenaga (hadiah, hibah, dan lain-lain).
Keempat, bentuk investasinya baik dalam sektor perdagangan, pertanian, maupun perindustrian, juga wajib sesuai dengan aturan Islam. Dalam sektor industri misalnya, beberapa hukum yang berkaitan dengan sektor tersebut harus ditaati seperti syirkah, ijarah, jual-beli, perdagangan internasional, dan istishna (akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan suatu barang dengan kriteria dan syarat tertentu yang disepakati penjual dan pemesan). Sedangkan model transaksi haram yang harus dihindari dalam kegiatan investasi yakni riba, judi, penimbunan, penipuan, serta keterlibatan pemerintah dalam penetapan harga pasar. Termasuk kerja sama seperti asuransi, koperasi, dan saham.
Berbeda dengan investasi kapitalisme yang mengikuti prinsip pasar bebas, Islam telah memberikan pengelompokan dengan jelas termasuk siapa saja yang berhak mengelolanya. Misalnya saja terkait pengelolaan barang milik umum, para ulama telah menjelaskannya secara detail. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, bahwa barang tambang yang termasuk harta kepemilikan umum yaitu yang depositnya melimpah. Sedangkan yang depositnya kecil dapat dikelola oleh individu dan atasnya diberlakukan hukum rikaz dengan memberikan seperlimanya kepada Baitulmal.
Demikianlah, negara sepenuhnya mengatur hak kepemilikan umum dan tidak boleh diserahkan kepada swasta baik dalam bentuk privatisasi ataupun konsesi. Salah satu keuntungan larangan investasi swasta pada sektor kepemilikan umum yakni agar sumber pendapatan umum yang urgen bagi kehidupan manusia tidak dikuasai oleh individu yang berpotensi berbuat sewenang-wenang atas harta tersebut.
Khatimah
Sejatinya investasi tidaklah dilarang selama merujuk kepada paradigma Islam. Karena itu negara menjadi pihak yang bertanggung jawab menerapkan kebijakan agar investasi bisa berjalan sesuai syariat Islam. Selain menetapkan aturan, negara juga wajib melakukan pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan. Namun, implementasi investasi yang berdasarkan prinsip Islam hanya akan sempurna diwujudkan jika negeri ini mengadopsi aturan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah.
Wallahu a’lam.[]