Utopia Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Kapitalisme

"Semua lembaga yang dibentuk dalam rangka memberantas korupsi, tak mampu memberikan hasil yang signifikan. Tebang pilih dalam penanganan kasus, seolah mengonfirmasi bahwa lembaga tersebut memang berada di bawah bayang-bayang penguasa. Persoalan korupsi tak akan tuntas, jika hanya mengandalkan KPK. Sebab, suburnya praktik korupsi di negeri ini merupakan dampak dari penerapan sistem sekuler kapitalistik."

Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Masih hangat dalam benak masyarakat, kasus korupsi Honggo di kasus Kondensat yang kerugiannya mencapai Rp35 triliun. Kasus Jiwasraya, yang melibatkan mantan petinggi Kepala Staf Presiden, dengan kerugiannya mencapai angka Rp13 triliun. Kasus Asabri, juga melibatkan pemangku kekuasaan dan merugikan negara dengan total lebih kurang Rp10 triliun. Terbaru, ditangkapnya Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, dengan dugaan menyuap bekas penyidik KPK, dalam pengurusan penanganan kasus dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Lampung Tengah.

Kasus-kasus di atas, seakan membenarkan betapa mengguritanya korupsi di seluruh lembaga dan lini kekuasaan negeri ini. Tak hanya berpusat pada lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun, partai politik pun menjadi penyumbang angka korupsi yang tak kalah besar. Ironisnya, semua mega korupsi ini terjadi tatkala kemiskinan rakyat kian kronis. Di kala beban penderitaan rakyat yang kian bertambah berat, utang negara mencapai Rp6.017 triliun, defisit APBN meroket menjadi Rp283,2 triliun, penerimaan pajak 2021 yang meleset dari target, di mana realisasi penerimaan pajak hanya mencapai Rp1.229,6 triliun, atau hanya 82,4% dari target APBN. Maka, yang terjadi adalah jumlah penduduk miskin pada Juli 2021 mencapai 27,54 juta orang.

Di tengah masifnya korupsi, KPK justru dilemahkan. Drama perburuan Harun Masiku menjadi bukti betapa lembaga ini kian ringkih. Pada saat yang sama, bukannya mendukung dan menguatkan KPK, serta memperbaiki kinerja ekonomi, pemerintah justru sibuk membuka keran impor dan memasang baliho di berbagai tempat dengan dana yang fantastis di tengah pandemi, meski musim kampanye belum resmi di buka.
"Berlanjut dengan terpilihnya pimpinan KPK yang bermasalah, kinerja KPK yang melemah, baik secara kuantitas maupun kualitas," kata Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kepada Tempo, Senin (27-09- 2021).

Saking menggilanya kasus korupsi di negeri ini. Hingga, mudah sekali menemukan kasusnya meski dengan menutup mata. Karena lemahnya kinerja KPK inilah, masyarakat menilai, kini tidak ada lagi keseriusan KPK dalam menangani kasus korupsi di negeri ini. Keadaan ini sejalan dengan indeks persepsi korupsi, yang dirilis oleh transparansi internasional Indonesia baru-baru ini yang mengalami penurunan. Penurunan juga terjadi pada indeks demokrasi. Febri Diansyah, mantan jubir KPK mempertanyakan, mengapa indeks persepsi korupsi menurun dari tahun sebelumnya? Kasus korupsi yang banyak terjadi di tengah pandemi, menegaskan betapa kronisnya masalah korupsi di negara kita ini. Lembaga pemberantasan korupsi di negeri ini, memang masih terus dipertanyakan, apakah mampu memberantas korupsi ataukah malah menimbulkan masalah?

KPK, dibentuk di masa presiden Megawati. Lembaga ini semakin eksis di era SBY, karena mampu membongkar beberapa skandal mega korupsi. Namun, kesan tebang pilih masih begitu kental mewarnai kinerja KPK. Pasalnya, KPK tak mampu menguak mega korupsi BLBI, yang berkaitan dengan rezim yang berkuasa saat itu. Begitu pun di era Jokowi, adanya revisi RUU KPK telah melemahkan fungsinya. Hal ini membuat KPK seolah berada di bawah bayang-bayang oligarki kekuasaan. Sulitnya menggeledah kantor partai yang sedang berkuasa, dan lambannya KPK menangani kasus Harun Masiku dan eks komisioner KPU Wahyu Setiawan, adalah buktinya.

Sistem Islam Gilas Korupsi

Semua lembaga yang dibentuk dalam rangka memberantas korupsi, tak mampu memberikan hasil yang signifikan. Tebang pilih dalam penanganan kasus, seolah mengonfirmasi bahwa lembaga tersebut memang berada di bawah bayang-bayang penguasa. Persoalan korupsi tak akan tuntas, jika hanya mengandalkan KPK. Sebab, suburnya praktik korupsi di negeri ini merupakan dampak dari penerapan sistem sekuler kapitalistik. Oleh karena itu, butuh rekonstruksi sistem yang totalitas. Ganti sistem demokrasi-kapitalis dengan sistem Islam. Itulah, solusi tuntas pemberantasan korupsi yang kian sulit diberantas.

Sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah, menutup rapat seluruh celah korupsi. Dalam Khilafah, politisi dan anggota majelis umat tidak ikut menentukan UU, kebijakan, anggaran, maupun pengisian jabatan. Mereka hanya fokus pada tugas sebagai pengontrol dan pengoreksi, termasuk menggunakan jalur Mahkamah Mazalim. Sedangkan, jabatan kepala daerah, ia ditunjuk langsung oleh khalifah. Namun, keberlangsungan jabatan itu juga ditentukan oleh penerimaan masyarakat termasuk para anggota majelis wilayah. Jika umat menolak atau meminta diganti, maka khalifah harus mengganti kepala daerah tersebut. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang mengganti Al-Ala' bin Al-Hadrami, sebagai Gubernur Bahrain atas dasar keberatan masyarakat.

Semua tindak kerakusan harta pun diberangus dengan penegakan hukum yang tegas atas kasus korupsi. Syariat Islam, memberi batasan yang jelas dan hukum yang rinci berkaitan dengan harta para pejabat. Semua harta pejabat di luar gaji atau dari negara, dianggap sebagai harta gelap alias ghulul, yaitu:

Pertama, Islam telah mengharamkan segala bentuk suap atau rasywah dengan tujuan apa pun. Rasywah adalah memberikan harta kepada seorang pejabat untuk menguasai hak dengan cara batil, termasuk membatalkan hak orang, dan meminta haknya didahulukan dari pada orang lain. Padahal, Rasul yang mulia telah melaknat para pelaku suap. Baik yang menerima maupun yang memberi suap. "Allah melaknat penyuap dan yang disuap" (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Kedua, dalam Islam, pejabat negara juga dilarang menerima hadiah atau gratifikasi. Allah melarang ghulul dalam surat Al-Imran 161, "Tidaklah seorang nabi berkhianat dalam urusan ganimah (harta). Siapa saja yang berkhianat dalam urusan itu (yaitu berbuat ghulul, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan setimpal, dan mereka tidak dizalimi."
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam pun pernah menegur seorang amil zakat yang beliau angkat, karena terbukti menerima hadiah saat bertugas dari pihak yang dipungut zakatnya.

Ketiga, termasuk dalam kategori harta gelap pejabat adalah, apa yang didapatkan dari komisi atau makelar dengan kedudukannya sebagai pejabat negara. Jika dalam muamalah, kedudukan komisi adalah halal. Akan tetapi, jika seorang pejabat menggunakan kedudukan atau kekuasaannya untuk memutuskan suatu transaksi bisnis, kemudian ia mendapatkan komisi, maka itu merupakan cara yang haram dalam kepemilikan harta. Rasulullah bersabda dalam hadis riwayat Imam Ahmad, "Hadiah bagi para pegawai adalah ghulul.”
Namun, hal itu seolah menjadi suatu keharusan dan sah-sah saja dalam dunia kapitalis. Pengusaha wajib memberikan komisi, sebagai upeti kepada para pejabat, agar mereka mendapatkan proyek atau ketika dana proyek sudah cair.

Keempat, Islam menetapkan bahwa korupsi merupakan salah satu cara kepemilikan harta yang haram. Korupsi termasuk perbuatan khain atau pengkhianatan. Korupsi adalah memanfaatkan kekuasaan dengan sewenang-wenang, baik dengan cara memanipulasi ataupun melakukan tekanan kepada pihak lain, untuk menyerahkan sejumlah harta yang bukan haknya. Bisa dari kepemilikan negara, umum, ataupun orang lain.

Islam memberikan sejumlah hukuman yang berat kepada pelaku korupsi, suap, penerima komisi haram, yaitu berupa takzir atau sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Dari sanksi yang paling ringan, misal hanya dinasihati atau ditegur, kemudian penjara, denda atau gharamah, dipublikasikan di media massa alias tasyhir, dihukum cambuk, hingga sanksi paling keras yaitu dibunuh. Berat ringannya kejahatan, akan menentukan berat ringannya sanksi yang diberikan.

Untuk memudahkan identifikasi kekayaan pejabat, apakah harta gelap ataukah tidak, maka sistem Islam pun melakukan pencatatan dan penghitungan jumlah harta pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Khalifah Umar Bin Khattab radiallahu 'anhu pun menerapkan hal ini ketika menjadi khalifah.

Sejatinya, memberantas korupsi memang utopis dalam sistem kapitalisme. Maka, hanya dengan penerapan sistem Islamlah korupsi bisa diberantas dengan tuntas dan mudah. Karena dibangun di atas tiga pilar, yaitu ketakwaan individu, adanya kontrol masyarakat, dan penerapan hukum Islam oleh negara. Lantas, masihkah sudi menaruh harapan pada sistem kapitalis?

Wallahu a'lam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Aya Ummu Najwa Salah satu Penulis Tim Inti NP
Previous
Penghapusan Red List Covid-19, Akankah Mendongkrak Pertumbuhan Ekonomi Negeri?
Next
Dilema Pembelajaran Tatap Muka di Kalangan Orang Tua
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram