"Islam dengan kesempurnaannya telah mengatur kehidupan manusia dalam seluruh aspek. Dalam Islam pinjaman yang bersifat ribawi hukumnya haram."
Oleh. Ummi Nissa
(Penulis dan Member Komunitas Muslimah Rindu Surga)
NarasiPost.Com-Menghalalkan segala cara karena terdesak kebutuhan hidup, tampak menjadi alasan terjeratnya masyarakat pada pinjaman “online". Saat ini marak bermunculan lembaga keuangan berbasis teknologi (fintech), untuk menawarkan pinjaman uang dengan syarat yang mudah. Tentu saja hal ini menjadi kesempatan bagi masyarakat yang kondisi ekonominya lemah. Mereka terperangkap jeratan transaksi pinjol (pinjaman online). Meskipun risikonya harus membayar dengan bunga tinggi, bahkan tidak jarang dengan berbagai tekanan yang mengakibatkan beban psikologis.
Sebagaimana yang dikabarkan beberapa waktu lalu, bahwa karyawan pinjol (pinjaman "online") tega melakukan teror kepada seorang ibu rumah tangga dengan inisial Wps (38) di Wonogiri, Jawa tengah. Pada akhirnya korban pun meninggal dunia dengan cara bunuh diri akibat depresi setelah mendapatkan tekanan untuk membayar utang yang ia dapatkan melalui jasa lembaga keuangan secara "online". Tidak tanggung-tanggung, ia terlilit utang dari 25 fintech ilegal sekaligus.
Pihak kepolisian pun berupaya menertibkan dan menangkap jaringan pinjaman "online" (pinjol) ilegal tersebut. Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri, Brigjen Pol Helmy Santika, menjelaskan tujuh orang ditetapkan menjadi tersangka. Sebab mereka memiliki peran sebagai operator SMS blasting dan penagih utang. Semuanya diduga bertanggung jawab atas ancaman dan teror yang didapatkan oleh seorang ibu di Wonogiri hingga ia mengakhiri hidupnya.
Di sisi lain, besaran gaji karyawan yang kini menjadi tersangka tidak main-main jumlahnya. Tiap bulannya mereka mendapatkan gaji 20 juta rupiah. Sementara orang yang diduga sebagai pemberi dana dan akomodasi berinisial (ZJ) merupakan warga negara asing. Ia telah ditetapkan menjadi daftar pencarian orang (DPO) pihak kepolisian. (Tribunnews.com, 15/10/2021)
Kasus pinjol ini menjadi bukti dari buruknya sistem ekonomi ribawi. Hal ini disebabkan tatanan aturan hidup masyarakat negeri ini yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Dimana salah satu ciri dari sistem ekonomi ini adalah mengelembungkan harta dengan sistem riba, yakni meminjamkan uang dengan adanya tambahan bunga yang tinggi saat pengembaliannya. Tentu hal ini merugikan rakyat kecil. Sementara pihak yang kerap mendapatkan keuntungkan adalah pemiliki modal.
Selain itu, gaya hidup yang konsumtif juga menjadi faktor berjamurnya lembaga pinjol. Hal ini sebab masyarakat telah dipengaruhi pemahaman hidup yang sekuler. Dimana nilai-nilai agama dipisahkan dalam kehidupan. Tatanan kehidupan yang dicontohkan Barat yang dianggap modern menjadi role model bagi kaum muslimin saat ini. Gaya hidup konsumtif menjadi salah satu ciri masyarakat kapitalis sekuler. Keinginan untuk memiliki sesuatu menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Padahal sejatinya hanyalah hasrat yang tidak akan pernah terpuaskan. Tidak heran jika masyarakat memanfaatkan keberadaan lembaga-lembaga keuangan yang memberikan jasa pinjaman uang untuk memenuhi desakan kebutuhan dan hasrat berbelanja sebagai dampak sifat konsumtif.
Sementara karyawan lembaga pinjol, mereka hanyalah para pekerja yang membutuhkan penghasilan di tengah sulitnya lapangan pekerjaan. Peluang sebagai pekerja di lembaga keuangan ilegal ini cukup menggiurkan. Besaran gaji yang mereka dapatkan per bulan sampai puluhan juta rupiah. Dengan tawaran gaji yang cukup besar mereka memanfaatkan peluang ini tanpa berpikir halal dan haram. Sebab asas yang digunakan untuk melakukan perbuatan hanyalah manfaat secara materi semata.
Di sisi lain, para pemilik modal pinjol telah memanfaatkan kemajuan teknologi dan kesulitan hidup rakyat kecil demi meraup keuntungan pribadi. Mereka mendapat peluang untuk menawarkan pinjaman dengan sistem riba. Seolah menolong, padahal tanpa belas kasihan mencekik korban dengan bunga yang besar, ditambah lagi dengan teror sebagai cara untuk menagih yang mengakibatkan korban depresi. Inilah realitas yang ada dalam sistem ekonomi kapitalis. Kemiskinan dan gaya hidup konsumtif merupakan buah diterapkannya aturan sekuler kapitalis ini. Rakyat kecil dijadikan sapi perahan untuk menghasilkan kekayaan para kapitalis. Siapa yang kuat maka akan menekan yang lemah. Masyarakat bergaya hidup mewah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Impitan beban ekonomi dan kemajuan teknologi digital khususnya (fintech) dijadikan ajang kesempatan untuk menggelembungkan modal yang dimiliki para kapitalis.
Adapun peran negara semestinya tidak hanya fokus pada penangkapan dan penertibkan jaringan lembaga keuangan digital yang dianggap ilegal saja. Sebab baik yang legal maupun ilegal sama saja merupakan transaksi ribawi yang menyengsarakan hingga menyeret rakyat ke dalam kubangan maksiat. Masalah sesungguhnya terletak pada tatanan aturan kehidupan yang ada telah mengakibatkan meningkatnya kemiskinan, dan gaya hidup konsumtif. Sehingga masyarakat membutuhkan solusi yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup mereka.
Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu aturan yang komprehensif agar dapat memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara menyeluruh, sekaligus dapat menjamin distribusi kekayaan merata di antara masyarakat. Sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan. Pengaturan ini pun dapat mencegah maraknya lembaga keuangan yang memberikan pinjaman dengan bunga baik rendah terlebih yang tinggi.Tata aturan yang sempurna ini hanya ada pada sistem peraturan Islam. Dimana Islam dengan kesempurnaannya telah mengatur kehidupan manusia dalam seluruh aspek. Dalam Islam pinjaman yang bersifat ribawi hukumnya haram.
Sebagaimana firman Allah:
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (TQS. Al-Baqarah: 275)
Larangan riba menurut syariat Islam tampak jelas, tidak ada batasan, baik rendah ataupun tinggi bunga yang ditetapkan selama dikategorikan kelebihan maka hukumnya haram. Pemahaman terhadap syariat ini wajib dijalankan, mulai dari individu rakyat, masyarakat juga negara. Semua ini berlandaskan pada keimanan dan ketakwaan pada Allah Swt.
Begitu pula masyarakat mesti memiliki kacamata yang sama dalam memandang hukum riba agar menjadi kontrol terhadap pelaksanaan hukum di tengah masyarakat. Budaya amar makruf nahi mungkar dapat menjadi washilah (cara) agar hukum dapat ditegakkan. Budaya ta'awun (saling tolong menolong) menjadi asas yang dibangun dalam bermuamalah (hubungan antarmanusia) sehingga dapat saling membantu dan meringankan beban orang lain.
Oleh sebab itu, negara bertanggung jawab untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, serta membangun kesadaran bersama terkait keharaman riba dan bahayanya bagi kehidupan. Negara juga wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat individu per individu, menjamin kebutuhan kolektif seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Anggaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan ini diambil dari Baitul Mal. Bahkan ketika ada rakyat yang membutuhkan dana untuk kegiatan usaha, maka diambil pula dari Baitul Mal yang berasal dari pos kepemilikan negara untuk memberikan pinjaman tanpa riba. Bahkan, sangat mungkin Baitul Mal memberikan (iqtha’) dana tanpa menuntut pengembalian dari masyarakat. Untuk kebutuhan dana pendidikan, kesehatan, dan keamanan, negara langsung memenuhinya dengan menyediakan sarana dan prasarana terbaik dan gratis.
Dengan demikian negara mampu menutup segala akses menuju riba, sehingga sistem perbankan dan lembaga finansial lain yang bertentangan dengan syariat tidak akan tumbuh dan berkembang di wilayah negara Islam, baik didirikan warga negara Islam maupun asing. Hal ini tentu saja hanya dapat dilakukan oleh negara yang berdaulat penuh. Syariat Islam kaffah tidak boleh tunduk terhadap intervensi asing, baik dalam bidang ekonomi maupun politik negara lain.
Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, akan menghapus semua transaksi ribawi, baik legal maupun ilegal di tengah masyarakat.
Wallahu a'lam bishshawab.[]