"Desakan penghapusan Indonesia dari daftar merah perjalanan, justru hanya akan menambah beban kehidupan negeri, manakala belum ada kepastian bahwa wabah Covid-19 dan varian barunya yang sangat viariatif betul-betul telah hengkang dari dunia. Hal yang sangat mendesak adalah justru penerapan sistem Islam kaffah yang sangat manusiawi dan penghapusan dikte sistem sekuler kapitalisme yang membuat ekonomi Indonesia semakin terpuruk, sehingga sulit untuk bangkit."
Oleh. Ayu Mela Yulianti, S.Pt
(Pemerhati Generasi)
NarasiPost.Com-Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, meminta petinggi negara sahabat untuk menghapus Indonesia dari daftar merah perjalanan.
Retno mengatakan dalam pertemuan tinggi di Sidang Majelis Umum PBB ke 76 di New York, Jumat (24/9/2021) malam waktu AS, ia sudah melakukan pembahasan beberapa isu dengan 18 negara, salah satunya terkait penanganan Covid-19. (CNBC Indonesia, September 2021)
Banyak upaya yang dilakukan untuk kembali mendongkrak pertumbuhan ekonomi negeri. Satu di antaranya adalah upaya diplomasi yang dilakukan para menteri terhadap negara luar, antara lain adalah permintaan penghapusan Indonesia dari daftar merah perjalanan. Sehingga dengan adanya upaya penghapusan ini, diharapkan dapat kembali mendongkrak sektor pariwisata, dimana wisatawan asing kembali datang ke Indonesia, sehingga dapat mendorong dan mengembalikan ekonomi negeri menuju pertumbuhannya kembali setelah ambruk terpuruk akibat hempasan wabah Covid-19.
Kestabilan ekonomi negeri dan kebangkitannya sebetulnya sudah mulai tampak, sedikit demi sedikit, semenjak badai pandemi mulai mereda, walaupun harus dibayar dengan kehilangan jutaan nyawa. Namun benarkah dengan penghapusan Indonesia dari daftar merah perjalanan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi negeri ke arah yang lebih baik?
Jamak diketahui bahwa penghapusan daftar merah perjalanan, diharapkan akan membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang aman untuk dikunjungi oleh para wisatawan asing. Kedatangan mereka berarti pula kedatangan fulus bagi negeri ini. Namun haruslah diperhatikan tingkat keamanannya, mengingat wisatawan yang datang ke Indonesia juga bukanlah wisatawan yang steril dan bebas dari penyakit ataupun berbagai macam virus yang bisa saja menyebar masuk kembali ke dalam negeri seiring kedatangan para wisatawan tersebut. Artinya, harus ada kepastian keamanan dari setiap orang yang akan datang ke dalam negeri. Sebab risiko yang harus ditanggung oleh anak negeri terlalu besar dibandingkan harga yang diterima. Jika hal ini terjadi, maka yang kita terima malah tekor pendapatan bukan rekor pendapatan. Sebab berakhir dengan harus mengobati setiap anak negeri yang terinfeksi berbagai macam virus yang bisa saja ditularkan oleh para wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia tersebut.
Namun, lagi-lagi pola pikir negeri ini memang sudah terinfeksi pola pikir instan akibat cengkeraman sistem sekuler kapitalisme yang melihat segala hal dari sudut pandang untung-rugi materi duniawi semata, tidak peduli walaupun harus mengorbankan nyawa dan kesehatan publik. Sejatunya hingga hari ini dunia belum sepenuhnya bebas dari ancaman Covid -19 dan varian barunya yang muncul makin variatif. Namun sekali lagi, inilah buah simalakama dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Dihapus dari daftar merah perjalanan kurang tepat, tidak dihapus pun lebih tidak tepat lagi, mengingat risiko penghapusan yang terlalu dipaksakan adalah sangat besar, yaitu kemungkinan terjadi hantaman wabah Covid -19 dengan varian baru dari luar negeri yang semakin variatif.
Saat sistem sekuler kapitalis terlalu gambling dalam menetapkan kebijakan yang bisa menyelamatkan hajat hidup publik. Maka, tidak demikian dengan sistem Islam yang memiliki cara sangat tepat dalam menyelamatkan hajat hidup publik dan mendongkrak perekonomian negeri setelah mengalami gangguan, baik dari hantaman wabah ataupun bukan. Sebab sistem Islam telah menempatkan kemandirian dalam ekonomi, juga menggunakan metode penanganan wabah yang sangat mumpuni yang mampu menjadikan negeri ini kembali sehat.
Sistem Islam tidak menjadikan nilai ketergantungan terhadap hubungan luar negeri sebagai format dalam membangun hubungan internasional. Sehingga tidak menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor penghasil devisa bagi negeri, melainkan menjadikan pengelolaan sumber daya alam secara maksimal oleh negara untuk kemaslahatan publik. Sehingga dengan tata kelola sumber daya alam yang tepat, sebuah negeri memiliki pintu pendapatan bagi devisa negara tanpa harus pusing memikirkan jatuh tempo membayar utang luar negeri.
Sistem Islam sangat memungkinkan untuk membangkitkan setiap negeri yang mengalami keterpurukan ekonomi dengan penerapan sistem ekonomi Islam secara kaffah. Tidak mengandalkan sektor pariwisata sebagai pintu menjaring devisa negara. Sebab sistem Islam melarang menjadikan utang luar negeri sebagai jalan untuk memodali kehidupan negeri. Sehingga jika tidak punya utang, maka kita pun akan terbebas dari beban melunasi utang-utang yang jatuh tempo. Oleh karena itu, penghapusan daftar merah perjalanan pun akan terjadi secara normal dan tidak dipaksakan atas negara lain. Sebab kita tidak terlalu membutuhkan kedatangan wisatawan asing ke dalam negeri, seberapa pun kekayaan yang mereka bawa saat melancong ke negeri ini.
Karena itu, desakan penghapusan Indonesia dari daftar merah perjalanan, justru hanya akan menambah beban kehidupan negeri, manakala belum ada kepastian bahwa wabah Covid-19 dan varian barunya yang sangat variatif betul-betul telah hengkang dari dunia. Hal yang sangat mendesak adalah justru penerapan sistem Islam kaffah yang sangat manusiawi dan penghapusan dikte sistem sekuler kapitalisme yang membuat ekonomi Indonesia semakin terpuruk, sehingga sulit untuk bangkit. Sungguh, jalan yang didiktekan oleh sistem sekuler kapitalisme adalah justru jalan yang membinasakan, yaitu jalan yang berpotensi pada kembalinya serangan wabah Covid-19 varian baru.
Wallahualam.[]