"Kebijakan zonasi yang sedianya bertujuan memeratakan kualitas sekolah, faktanya tidak diiringi dengan perbaikan tenaga pengajar juga sarana dan prasarana. Membawa dampak tersisihnya anak-anak berprestasi dari sekolah yang bisa memberikan pendidikan bermutu."
Oleh. Ashaima Va
NarasiPost.Com-Wajah pendidikan negeri, rupanya kini kian buruk saja. Rencana pengenaan PPN bagi sekolah swasta komersial hanya bisa bikin rakyat mengelus dada. Di tengah sulitnya masyarakat mengakses pendidikan berkualitas, lembaga yang bisa memberikan pendidikan berkualitas dipajaki. Ke depannya sekolah bagus makin tak terjangkau saja.
Kebijakan zonasi yang sedianya bertujuan memeratakan kualitas sekolah, faktanya tidak diiringi dengan perbaikan tenaga pengajar juga sarana dan prasarana. Membawa dampak tersisihnya anak-anak berprestasi dari sekolah yang bisa memberikan pendidikan bermutu. Alhasil, orang tua siswa lebih memilih sekolah swasta, meski harus merogoh kocek lebih, tak mengapa asal anak mereka bisa bersekolah dengan kualitas layak.
Menteri Keuangan menyatakan, bahwa PPN atas jasa pendidikan hanya diberlakukan bagi jasa pendidikan swasta komersial. Sedangkan, madrasah dan lainnya yang sifatnya nonkomersial, tentu tidak ditarik pajak. (Kompas.com, 13/9/2021).
Sekilas hal ini terasa benar, toh yang ditarik memang sekolah-sekolah yang bertarif mahal. Namun begitulah paradigma kapitalisme, menyerahkan tanggung jawab pembiayaan pendidikan sepenuhnya pada orang tua. Bahkan, kalau bisa pemerintah ikut minta jatah. Padahal, pemerintah selaku penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan mestinya mendukung keberadaan sekolah-sekolah swasta ini, karena bisa menyuguhkan pendidikan yang bermutu. Bukan malah membebaninya dengan pajak.
Bukan rahasia lagi, jika rakyat sulit mengakses pendidikan bermutu. Alokasi pendidikan sebesar 20% dari total belanja APBN, sayangnya belum bisa mengatasi kesenjangan kualitas pendidikan di tiap sekolah. Dari segi infrastruktur, masih banyak sekolah yang ruang kelasnya rusak berat. Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Anggi Afriansyah mengutip data BPS pada tahun 2020, ruang kelas yang mengalami kerusakan pada tiap jenjang pendidikan sebesar lebih dari 70%. (Beritasatu.com, 3/5/2021).
Belum lagi pemerataan tenaga guru yang masih timpang. Guru-guru berkualitas banyak berkerumun di perkotaan sementara di daerah-daerah kekurangan tenaga pengajar. Pada kondisi ini pemerintah justru menarik pajak, alih-alih memberikan subsidi demi memberikan pendidikan yang bermutu pada rakyatnya.
Dari sini muncul pertanyaan, benarkah tanggung jawab pendidikan adalah tanggung jawab orang tua? Sehingga, jika ingin sekolah anaknya berkualitas harus berani bayar mahal. Ada harga, ada rupa.
Berharap Pendidikan Bermutu dan Cuma-cuma, Hanya pada Islam
Benarlah bahwa ideologi akan berpengaruh pada arah suatu negara, memberikan basic values pada tiap embusan napasnya. Pada ideologi sekularisme-kapitalisme yang kini diterapkan di banyak negeri, penyelenggaraan pendidikan bukan jaminan penuh dari penguasa. Jika dana apa adanya, orang tua harus puas dengan pendidikan apa adanya pula. Jika dana besar, kepuasaan memperoleh pendidikan layak akan didapat.
Kurikulumnya hanya menghasilkan individu-individu yang kering dari nilai-nilai agama. Outputnya hanyalah orang-orang yang profit oriented dan economic animal. Maka, jangan heran jika dari sektor pendidikan saja pemerintah minta pungutan.
Sekolah bermutu tinggi dengan biaya cuma-cuma pernah ada, yaitu pada masa keemasan Islam. Saat sistem Islam diterapkan, penguasa bertanggung jawab penuh pada pendidikan warganya. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah. Kemenangan kaum muslimin pada perang Badar membuat banyaknya kafir Quraisy yang jadi tawanan. Alih-alih meminta tebusan, Rasulullah hanya meminta mereka mengajarkan baca dan tulis pada kaum muslim di Madinah.
Kepedulian Rasulullah pada kemampuan baca tulis penduduk Madinah menunjukkan tanggung jawab pemimpin pada rakyatnya. Terbukti, setelah itu minat baca warga Madinah menjadi tinggi.
Para sahabat Rasulullah pun berijma' dalam menyediakan kas dari Baitul Mal untuk gaji para guru. Tradisi menerapkan apapun yang Rasulullah contohkan oleh generasi setelahnya, telah membawa kegemilangan dalam sektor pendidikan.
Contohnya pada masa Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky, terdapat Madrasah An-Nuriah di Damaskus. Madrasah ini dilengkapi fasilitas asrama siswa, tempat peristirahatan, ruang ceramah dan diskusi juga perumahan staf pengajar. Begitu pula Madrasah Al-Muntanshiriah pada masa Khalifah Al-Muntansir Billah di Baghdad. Bukannya membayar, tiap siswa malah menerima emas seharga satu dinar (4,25 gr emas) sebagai beasiswa.
Sebagai umat Islam mana yang kita pilih, aturan manusia yang semena-mena dan berbiaya mahal? Atau aturan Allah yang adil dalam memeratakan pendidikan bermutu dan mudah dijangkau bagi tiap kalangan?
Wallahu a'lam bishshawab.[]