Produk hukum dalam sistem kapitalisme terbukti cacat dan mudah berubah mengikuti kepentingan penguasa dan pengusaha dengan dalih investasi. Hal ini wajar, mengingat negeri ini telah berubah menjadi negara korporatokrasi, di mana sistem politik dan ekonomi dikendalikan oleh korporasi, sedangkan penguasa sebagai bonekanya.
Oleh. Nurjamilah, S.Pd.I.
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Penataan tata ruang suatu negara idealnya mampu mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, berkelanjutan, serta memperhatikan hak-hak dasar makhluk ekologis. Namun, atas nama investasi dan perluasan lapangan pekerjaan, penataan ini akhirnya disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan UU Cipta Kerja. Tentu saja, ini menimbulkan gesekan dan ketidaksesuaian di tengah masyarakat. Sehingga, pemerintah menggawangi terbitnya PP No.43 Tahun 2021 untuk menyolusikan persengketaan tersebut.
Diwartakan dari pikiranrakyat.com (07/09/2021) bahwa terjadi alih fungsi lahan yang sangat signifikan di wilayah Jawa Barat. Bahkan, sumbangan pertanian wilayah ini merosot, hanya 9% yang mampu disetorkan ke pusat. Sementara, sumbangan industri mencapai 40%. Ini yang dinamakan provinsi industri yang kebablasan.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mendata ada 150 ribu hektare lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi nonpertanian. Bukan hanya terlibas menjadi perumahan masyarakat, namun juga disulap menjadi kawasan industri dan jalan (cnnindonesia.com, 30/03/2021).
Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) merampas 2.550 hektare lahan pertanian, hampir 900 KK kehilangan pekerjaan sebagai petani dan buruh tani. Bahkan, menurut Agustian Hidayat Kepala Dusun dari 4 desa di Cikalong Wetan Jawa Barat, warga kampung ini mengalami kesulitan air bersih akibat pembangunan proyek KCJB (kompas.com, 02/03/2021).
Lantas, bagaimana sebenarnya pengaturan rencana tata ruang wilayah di negeri ini? Apa dampaknya bagi masyarakat khususnya kaum perempuan? Bagaimana upaya pemerintah dalam menyelesaikan ketidaksesuaian rencana tata ruang ini? Serta bagaimana pengaturan tata ruang yang ideal dalam kacamata Islam?
Lika-liku RTRW
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan produk dari rencana umum tata ruang nasional. Namun, digolongkan lagi menjadi dua berdasarkan ruang lingkupnya yakni Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK).
Secara global, Indonesia mengacu pada politik hukum internasional yang berasal dari berbagai Konferensi Internasional seperti Deklarasi Stockholm tahun 1972, Deklarasi Rio de Janeiro tahun 1992, dan Deklarasi Johannesburg tahun 2002. Kemudian diejawantahkan dalam UU Penataan Ruang (PR) tahun 1992, diganti dengan UU PR No. 26 tahun 2007. Tahun lalu, bertransformasi menjadi UU Cipta Kerja No. 11 Pasal 16 Tahun 2020. Terbaru, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 tahun 2021 untuk penanganan ketidaksesuaian RTRW.
Menurut UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ada empat metode yang digunakan dalam proses pemanfaatan ruang agar tetap terkendali, di antaranya peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pemberlakuan sanksi. Semua ini dibahas dalam RTRW. Rencana tata ruang berlaku selama 20 tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 tahun.
Kondisi Riil Sebelum PP Terbit
Kondisi ideal dalam pengaturan tersebut pada faktanya hanya isapan jempol. Pada praktiknya, RTR dapat diubah-ubah sesuai kepentingan dan suasana politik pemerintah. Ketidakpastian ini berdampak pada tidak jelasnya arah perwujudan RTR, yang diharapkan 20 tahun ke depan akan mampu mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Kenyataannya, jauh panggang dari api.
Salah satu bukti konkret adalah pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Proyek ini tidak direncanakan dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional, Peraturan Pemerintah Daerah Jawa Barat No. 22 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota yang akan dilintasi. Bukan sulap bukan sihir, KCJB menjelma menjadi proyek siluman.
Hal tersebut mengindikasikan adanya pemaksaan kepentingan pusat kepada daerah. Daerah dipaksa mengakomodasi proyek KCJB menjadi rencana penggunaan ruang daerah. Bahkan, menurut pakar hukum ada pelanggaran berlapis yang bisa dikenai sanksi berupa denda atau pidana. Aturan yang dilanggar di antaranya UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; PP No.27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan; dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 16 Tahun 2012 Tahun tentang Pedoman Penyusunan Dokumen AMDAL (Kontan.co.id, 16/06/2021).
Namun, sayangnya semua unsur pelanggaran itu tidak dapat diberlakukan karena terbitnya Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2015. Walhasil, segala peraturan tadi kehilangan taring dan wibawanya. Miris.
Dampak Disahkannya UU Cipta Kerja (Omnibus Law)
UU Ciptaker resmi disahkan pada 2 November 2020. Hal ini memberikan efek yang sangat besar pada berbagai lini kehidupan, termasuk pada RTRW. Awalnya RTRW mengacu pada UU Penataan Ruang No. 26 tahun 2007. Namun, bertransformasi menjadi UU Cipta Kerja No. 11 Pasal 16 Tahun 2020.
Setidaknya ada 38 pasal aturan tata ruang yang diubah, dihapus, dan ditambahkan. Di antaranya berubahnya klausul izin menjadi kesesuaian; kewenangan gubernur dan bupati dipangkas; aturan tata ruang desa ditiadakan; klausul ‘mengajukan tuntutan’ raib berganti menjadi ‘mengajukan keberatan’; dan pidana korporasi dikorting, awalnya dikenakan denda 3 kali lipat dari denda untuk individu pelanggar, kini denda yang diberlakukan pada korporasi hanya satu pertiga saja dari denda individu. Dapat dikatakan UU Cipta Kerja menyulap aturan RTRW agar memudahkan jalan investasi bagi investor.
Latar Belakang Terbitnya Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2021
Omnibus Law tak hanya melahirkan UU Cipta Kerja No. 11 Pasal 16 Tahun 2020 tentang tata ruang. Namun, turut mendorong terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 tahun 2021 tentang penyelesaian ketidaksesuaian tata ruang, kawasan hutan, izin dan/atau hak atas tanah. Berdasarkan PP ini, ketidaksesuaian yang mungkin terjadi antara berbagai pihak yakni antara pusat dan daerah, pemprov dan pemda, kementerian, badan usaha dan masyarakat ditangani dan ditetapkan oleh kementerian terkait, misalnya menteri agraria/tata ruang, kelautan dan perikanan, kehutanan dan lain sebagainya.
Tak berlebihan, jika banyak pihak yang menduga PP ini ditunggangi kepentingan pusat (keputusan serba menteri dan presiden). Memungkinkan menteri yang merangkap pengusaha melakukan abuse of power, tindak korupsi, bahkan cenderung disetir oleh pihak tertentu (korporasi) dalam mengatur RTRW. Alih fungsi lahan dan hutan menjadi tak terelakkan, sehingga menimbulkan konflik yang merugikan masyarakat dan lingkungan.
Sebab dan Dampak Ketidaksesuaian RTRW
Banyak hal yang menyebabkan ketidaksesuaian RTRW yakni rendahnya produk tata ruang; adanya konflik kepentingan dari berbagai pihak; pemaksaan kehendak pusat atas daerah; kondisi politik, ekonomi, dan hukum dalam pemerintahan; peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah); dan rendahnya penegakan hukum.
Sehingga, dampak ketidaksesuaian RTRW adalah adanya alih fungsi lahan (area persawahan menjadi pemukiman, kawasan industri, jalan tol, bendungan). Sehingga produksi pangan turun, kesediaan pangan berkurang, gizi buruk (distribusi pangan tidak jelas), generasi lemah dan mudah didikte. Akhirnya mengandalkan impor, negara kembali terjajah oleh dominasi negara lain dan sulit bangkit.
Parahnya, alih fungsi lahan itu menyebabkan kerusakan lingkungan. Sehingga, memicu terjadinya bencana alam yang bisa menerjang negeri ini kapan saja. Kalau sudah begini, siapa yang dirugikan?
Bukan hanya itu, lagi-lagi perempuan kena imbasnya. Perempuan diberdayakan menjadi bagian dari aset perekonomian seperti bekerja di hotel, mengelola home stay, memasarkan produk UMKM, dan berperan dalam terbentuknya desa wisata. Bahkan, eksploitasi sisi feminitas perempuan tak bisa dihindarkan, seperti kampung prostitusi, area lokalisasi baru (Pantura), desa pelacur, human trafficking, kawin kontrak, dan lain sebagainya. Miris, perempuan kembali menjadi korban, termarginalkan dari segi upah dan terjadi konflik batin.
Kapitalisme Melahirkan Produk Cacat
Produk hukum dalam sistem kapitalisme terbukti cacat dan mudah berubah mengikuti kepentingan penguasa dan pengusaha dengan dalih investasi. Hal ini wajar, mengingat negeri kita ini telah berubah menjadi negara korporatokrasi, di mana sistem politik dan ekonomi dikendalikan oleh korporasi, sedangkan penguasa sebagai bonekanya.
Oleh karena itu, berapa pun UU dan aturan yang dilahirkan sistem ini, sejatinya tak akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena untung rugi menjadi patokan dalam menyusun berbagai kebijakan. Bagai menegakkan benang basah, jika kita masih berharap kebaikan pada sistem cacat ini.
Tak ada masalah yang tak ada jalan keluarnya. Jika kita mau berpikir out of the box, maka kita akan menemukan solusi cemerlang dari sistem yang telah menjadi penerang jagat raya ini selama 13 abad lamanya, yakni Islam.
Tata Ruang dalam Islam
Islam merupakan agama sekaligus ideologi, yang memancarkan aturan dari akidahnya. Kesempurnaan aturannya mampu memberikan jalan keluar bagi setiap permasalahan. Semua tertata begitu rapi. Khilafah sebagai institusi negaranya, mampu mengeksekusi setiap permasalahan berdasarkan tuntunan hukum syarak.
Begitu pula dengan pengaturan tata ruang, maka Islam berpijak pada konsep pemilikan dalam Islam. Kepemilikan (Al-Milk) berasal dari bahasa Arab, akar katanya ‘malaka’ artinya penguasaan terhadap sesuatu. Secara syar’i, bermakna kekhususan seseorang terhadap harta yang diakui syariat, sehingga menjadikannya legal mengambil manfaat dan mengelolanya. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 120, “Kepunyaan Allah-lah kerajaan di langit dan di bumi, dan apa yang ada di dalamnya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Islam memandang ada tiga jenis kepemilikan, yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Kepemimpinan individu (private property) adalah izin dari Allah Swt. untuk memanfaatkan harta bagi individu seperti uang, rumah, mobil, barang tambang dengan jumlah sedikit dan lainnya.
Sedangkan kepemilikan umum (public property) adalah izin dari Allah Swt. untuk memanfaatkan harta secara bersama-sama oleh masyarakat. Di antaranya harta yang menjadi hajat hidup orang banyak seperti air, padang rumput, dan lain-lain; bentuk benda yang tak bisa dikuasai individu seperti jalan, danau, sungai, jembatan, dan lainnya; serta barang tambang dalam jumlah besar kapasitas produksinya.
Sementara, kepemilikan negara (state property) adalah jenis harta yang pengelolaannya diserahkan kepada kepala negara (khalifah) seperti jizyah, ghanimah, kharaj, dharibah, dan lain sebagainya. Namun, hasilnya sepenuhnya digunakan untuk kemaslahatan umat.
Hukum kepemilikan ini bersifat ajek alias tak bisa diubah-ubah sesuai kepentingan manusia. Sebab, ini merupakan ketentuan Allah Swt. Lihatlah bagaimana ketegasan Khalifah Umar ra. yang pernah mengambil kembali tanah milik salah satu sahabat karena telah menelantarkan tanah selama tiga tahun. Abu Ubaid telah mengeluarkan sebuah riwayat di dalam kitab Al-Amwal dari Bilal bin Al-Harits Al-Muzni ra., “Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah memberikan lembah secara keseluruhan. (Bilal berkata): Pada masa Khalifah Umar, ia berkata kepada Bilal, “Sesungguhnya Rasulullah saw. tidak memberikan lembah itu kepadamu sekadar kamu pagari sehingga orang-orang tidak bisa mengambilnya. Akan tetapi, beliau memberikannya kepadamu agar kamu garap. Karena itu, ambillah bagian tanah tersebut yang sanggup kamu garap, dan sisanya kami kembalikan.”
Begitu pula ketika mulai menata wilayah di Irak, Khalifah Umar bin Khattab ra. menghitung potensi dan kategori tanah, ruang, serta makhluk ekologis yang ada di sekitarnya. Kemudian melakukan pembangunan dengan memperhatikan kebutuhan, kenyamanan, dan keamanan masyarakat. Bukan, dengan hitungan bisnis.
Berpijak dari hukum kepemilikan dan pemetaan potensi tanah inilah dirancang penataan ruang wilayah. Tentu saja, pembangunan yang dilaksanakan tidak akan merampas kepemilikan individu masyarakat seperti penggusuran yang semena-mena serta memperhatikan kemaslahatan umat dan lingkungan.
Perintis Tata Kota Era Klasik
Abi Al-Rabi’a dan Ibnu Al-Azraq merupakan intelektual muslim yang berjasa dalam merintis tata kota era klasik pada zaman kekhilafahan sebelumnya. Prinsip utamanya adalah sustainability (berkelanjutan) dan pemerataan pembangunan yang memadai. Gambaran secara umum bahwasanya sebuah wilayah harus memiliki rancangan pengaturan kawasan pemukiman, masjid, sekolah, perpustakaan, taman, sumber air minum, tempat bekerja, sanitasi, tempat komersial, tempat singgah untuk musafir, industri, hingga tempat pemandian umum yang terpisah bagi laki-laki dan perempuan. Bahkan, pemakaman umum dan pengelolaan sampah tak ketinggalan.
Tentu saja, masjid menjadi pusat kota dan bangunan publik mengitari masjid. Masyarakat tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, menuntut ilmu, dan bekerja. Sebab, semua ada dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar.
Memberi kemudahan dalam akses air, sumber ilmu dan kehidupan, serta mengatur jumlah penduduk dengan jumlah masjid dan fasilitas umum lainnya agar memberikan kenyamanan bagi masyarakat. Bahkan, harus memperhatikan kondisi topografi dan geografi (mitigasi bencana) serta terkondisi dengan cuaca yang baik dan udara segar. Wilayah pun harus aman dan terlindungi dari serangan musuh (membangun benteng yang kokoh).
Wilayah atau kota dijadikan sebagai pusat intelektual dan membekali keterampilan masyarakat. Tak lupa, menjaga hubungan dengan wilayah sekitarnya (penyokong) misalnya wilayah agraris. Agar tercipta keseimbangan dan kemaslahatan satu dengan yang lainnya.
Khatimah
Sudah saatnya kita kembali pada Islam yang telah memberi tuntunan dalam menata kehidupan termasuk tata ruang wilayah. Khilafah mengelolanya dengan prinsip pelayanan, bukan mencari keuntungan. Kita akan dapati pembangunan yang mampu mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, berkelanjutan, serta memperhatikan hak-hak dasar makhluk ekologis. Inilah solusi yang semakin dirindukan kehadirannya.
Wallahu’alam bi ash-shawwab. []