"Orang kaya makin kaya, orang miskin makin sengsara." Inilah 'prestasi' yang diukir kapitalisme. Alih-alih menyejahterakan rakyat, pejabat justru bersenang-senang di atas penderitaan rakyat. Miris."
Oleh. Aulia Rahmi
NarasiPost.Com-Selama pandemi Covid-19, hasil laporan kekayaan harta penyelenggara negara (LKHPN) memperlihatkan kenaikan harta kekayaan pejabat negara. KPK mencatat adanya kenaikan sebesar 70,3%. Fenomena ini terjadi bukan hanya pada oknum tertentu saja. Namun, terjadi pada banyak orang di berbagai level jabatan. Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan mengatakan kenaikan yang paling banyak terlihat pada tingkat Kementerian dan DPR mencapai lebih dari Rp1 miliar. Sedangkan, di tingkat legislatif dan eksekutif daerah penambahannya berkisar di bawah Rp1 miliar. Persentase kenaikan harta dalam Kabinet Indonesia Maju di bawah naungan Presiden Joko Widodo ini yaitu sebesar menteri 58%, DPR/MPR 45%, gubernur/wakil 30%, DPRD 23%, 18 % bupati/walikota, dan DPRD Kota/Kabupaten dengan 11%.
Hal ini sungguh miris, jika melihat keadaan rakyat. Dilihat dari Survei konsumen Bank Indonesia yang diwakili oleh rumah tangga responden, menghasilkan 70% lebih responden rumah tangga mengaku kondisi ekonomi mereka memburuk selama pandemi. Padahal, respondennya termasuk rumah tangga golongan menengah keatas. Belum lagi rakyat yang terkena dampak covid. Perekonomian mereka hancur, seperti para pelaku mikro usaha kecil yang banyak gulung tikar dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dari manapun harta yang didapatkan pejabat, memunculkan kesenjangan yang tajam. Hal ini cukup membuktikan, hilangnya empati penguasa pada kondisi rakyat. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak menjamin kebutuhan masyarakat. Misalnya, rencana kebijakan menaikkan pajak pertambahan nilai atas jasa pendidikan, menaikkan harga bahan pokok, memberlakukan PPKM namun tidak menjamin kebutuhan rakyat, dan kebijakan-kebijakan lain yang menyulitkan rakyat.
Di lain sisi, pemerintah justru memberikan honor dan tunjangan kepada pejabat negara, seperti bonus fantastis yang akan diterima wakil menteri (Wamen). Hal ini tertuang pada Perpres 77/2021 tentang perubahan kedua terkait Wakil Menteri (Wamen) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo. Miris, rakyat seharusnya menjadi pihak yang diayomi oleh pejabat, namun yang terjadi justru sebaliknya.
Hal ini akan menimbulkan distrust atau lunturnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Sebab, kebijakan yang dikeluarkan tidak dapat menyelesaikan persoalan masyarakat.
Tampak dalam kehidupan demokrasi kapitalis hari ini, kebijakan sejatinya hanya berpihak pada sekelompok rakyat pemegang kekuasaan atau oligarki, yaitu para pemilik modal. Semua kebijakan untuk keuntungan para pemilik modal. Negara seakan hanya berperan sebagai pembuat regulasi untuk kepentingan pemilik modal sehingga rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan kehidupan mereka. Demokrasi kapitalis akan membuka lebar pintu bagi pejabat dan segelintir elite untuk memperkaya diri mereka sendiri. Sedangkan, rakyat tertutup akses dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Inilah bukti bahwa sistem demokrasi yang rusak hanya akan menghasilkan pemimpin yang tidak amanah mengurus rakyatnya.
Berbeda dengan sistem Islam, di mana pemimpin tidak hanya bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, namun juga kepada Sang Pencipta. Seorang pejabat dilarang memanfaatkan jabatan dan mengambil yang bukan haknya. Firman Allah Swt., “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu. Kemudian, tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali-Imran:161)
Hal ini dibuktikan oleh para khalifah. Ketika Khalifah Umar bin Khatab meragukan harta seorang pejabat, maka beliau akan menyita kelebihan harta dari jumlah yang ditentukan. Kemudian, pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatab, dalam hal mengelola perekonomian, mereka mendistribusikan zakat kepada 8 golongan yang berhak menerima dan tidak digunakan untuk urusan negara. Beliau juga membiayai pemenuhan kebutuhan masyarakat dari fa'i, kharaj, jizyah, dan ghanimah.
Untuk mencapai kesejahteraan, perlu adanya sistem dan aturan yang rasional, adanya pemimpin yang konsisten dan amanah dalam menerapkan aturan, dan yang terakhir untuk mendapatkan rida Allah Swt. perlunya adanya aturan atau sistem yang sesuai dengan aturan Allah. Kesejahteraan dalam kehidupan hanya akan lahir pada sistem yang Allah ridai yaitu pemerintahan Islam (Khilafah). Sebab, sistem Islam akan menerapkan syariat Allah secara total pada semua lini kehidupan di tengah masyarakat.[]