Paradoks Gernas BBI di Kala Impor Dicintai

Bagaimanapun, gerakan ini tentu patut diapresiasi di tengah ekonomi dalam negeri yang sempat terguncang sebagai akibat dari pandemi yang bahkan belum menunjukkan akhir. Namun demikian, kritik dan sorotan juga tidak bisa dinihilkan begitu saja, mengingat Indonesia per September 2021 malah masih diserbu oleh berbagai produk impor, seperti dari Jepang, Cina, dan Korea Selatan. Melalui fakta ini saja, membanggakan produk berupa barang ataupun jasa buatan sendiri nyatanya tidak cukup, jika tidak diikuti oleh kebijakan ekonomi yang lingkupnya lebih luas, yang justru pro terhadap aktivitas impor.

Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com )

NarasiPost.Com-“Cintailah produk-produk Indonesia” kini bukan hanya sebatas jargon yang sering diucapkan semata. Hal ini disebabkan karena pemerintah telah menggalakkan sebuah gerakan berskala nasional, yakni Gernas BBI atau Bangga Buatan Indonesia. Sebagaimana yang dikabarkan oleh IDN Times Kaltim pada 12 Oktober 2021, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan bersama beberapa menteri terkait dan Gubernur Kalimantan Timur resmi meluncurkan Gernas BBI di Samarinda.

Salah satu tujuan besar dari peluncuran gerakan ini adalah agar berbagai UMKM bisa memasuki platform digital sehingga pemasaran produknya bisa terjadi secara lebih luas. Kuatnya UMKM disinyalir juga akan menjadi salah satu faktor penguat ekonomi nasional. Luhut dalam kesempatan yang sama juga mengungkapkan bahwa UMKM sangat berkaitan dengan puluhan juta lapangan kerja yang bisa mendorong bangkitnya ekonomi kerakyatan. Meski demikian, penunjukan Luhut sebagai ketua gerakan ini juga sempat menuai kritik, tersebab menyandang jabatan ketua Gernas BBI menggenapkan jabatan skala nasional yang dipegangnya menjadi lima. Di mana, sesuai “kebiasaan” yang telah berjalan selama ini, pemegang jabatan prestisius tentu akan mendapat kucuran insentif yang tidak sedikit.

Bagaimanapun, gerakan ini tentu patut diapresiasi di tengah ekonomi dalam negeri yang sempat terguncang sebagai akibat dari pandemi yang bahkan belum menunjukkan akhir. Namun demikian, kritik dan sorotan juga tidak bisa dinihilkan begitu saja, mengingat Indonesia per September 2021 malah masih diserbu oleh berbagai produk impor, seperti dari Jepang, Cina, dan Korea Selatan. Melalui fakta ini saja, membanggakan produk berupa barang ataupun jasa buatan sendiri nyatanya tidak cukup, jika tidak diikuti oleh kebijakan ekonomi yang lingkupnya lebih luas, yang justru pro terhadap aktivitas impor.

Selain itu, berbagai bahan pokok juga masih saja diimpor, padahal jika diperhatikan, Indonesia dikategorikan sangat mampu untuk memproduksi bahan tersebut, sebut saja garam. Hal ini berdampak pada produsen lokal juga akhirnya harus berusaha lebih keras lagi untuk memasarkan produknya karena tersaingi oleh produk luar. Belum lagi lapangan kerja yang tersedia di Indonesia, justru dibuka lebar untuk tenaga kerja asing dari berbagai negara. Akhirnya paradoks ini menimbulkan pertanyaan besar, seriuskah negara dalam membangkitkan ekonomi yang katanya berporos pada rakyat?

Di sisi selain pemerintah, masyarakat yang tidak sedikit masih memiliki “mental inlander” atau mentalnya para kaum jajahan juga turut andil dalam menguatkan paradoks ini. Mental ini agaknya sudah terkristalisasi dalam benak sebagian masyarakat, yang memberi pengaruh pada banyak aspek. Mental ini juga membuat seseorang mudah tersilaukan oleh barang-barang bermerek yang diproduksi luar negeri, akhirnya membuat produk di negeri sendiri mendapatkan peminat tak sebanyak dari produk luar. Inferioritas terhadap barang produksi sendiri karena dianggap tidak semenawan buatan luar.
Tapi begitulah aktivitas muamalah di negeri yang menjadikan kapitalisme sebagai asas ekonominya. Apa pun aktivitasnya, selama mendatangkan profit atau keuntungan bagi negara, maka akan tetap dilaksanakan. Begitu juga dengan aktivitas impor, yang salah satu sebab istikamahnya aktivitas ini digalakkan adalah karena distribusi hasil produksi yang belum merata, sehingga membuat terus merasa tidak cukup dan akhirnya mengambil opsi impor sebagai solusi. Ditambah lagi dengan barang-barang impor yang datang juga akan memberikan pemasukan pada negeri ini. Di sini letak paradoksnya. Gernas BBI digencarkan, namun di waktu yang bersamaan serbuan produk asing terus menghujani negeri.

Berbeda dengan sistem Islam yang telah menggariskan berbagai hal, termasuk urusan ekonomi dengan sangat detil dan jelas. Hal-hal seperti impor memang bukan suatu hal yang diharamkan di dalam Islam, karena aktivitas impor tetap dibolehkan, meski terdapat syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Walau demikian, sistem ekonomi Islam yang mengatur dengan baik perkara produksi dan distribusi, kemungkinan besar tidak akan bermudah-mudah menjadikan impor sebagai pilihan yang diambil.

Jargon “berdikari” alias berdiri di atas kaki sendiri pada akhirnya terdengar utopis bila sistem sosial-ekonomi negeri masih berasaskan ide yang menjadikan modal dan keuntungan belaka sebagai asasnya. Aturan Islam yang didasarkan pada nas serta bukti historis dahulu saat penerapannya benar-benar terlaksana, justru dianggap bak angin lalu yang konon tak pantas diterapkan di negeri yang mayoritas meyakini kerasulan Muhammad saw. Wallahu a’lam bisshawwab.[]

Photo : Pixabal

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Iranti Mantasari BA.IR M.Si Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Tersesat
Next
Diabetes, Penyakit Manis Mematikan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram