Para bedebah. Demikian julukan yang tepat disematkan pada para aktor penghindar pajak yang termuat dalam Pandora Papers. Betapa tidak, dunia kembali terbelalak setelah terbukanya “kotak” yang menyibak aksi culas para konglomerat dan penguasa di dunia dalam upaya menumpuk harta dan menimbunnya di negara “surga pajak”, termasuk mencuatnya keterlibatan dua nama pejabat Indonesia.
Oleh. Dian Afianti Ilyas
NarasiPost.Com-Pandora Papers atau yang disebut tsunami data kekayaan di surga pajak adalah dokumen keuangan yang merangkum 2,95 terabyte data mengenai bisnis rahasia para elite dunia dari 200 negara (cnnindonesia.com, 15/10/2021)
Dokumen ini dirilis oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), dimana sumber datanya diperoleh dari bocoran data rahasia dari 14 perusahaan layanan keuangan di negara “surga pajak”.
Tak tanggung-tanggung, investigasi ini melibatkan lebih dari 600 orang wartawan di 117 negara yang bekerja sama selama berbulan-bulan untuk menganalisis lebih dari 12 juta dokumen berupa catatan keuangan, kontrak kerja, personal email, dan dokumen pendukung lainnya.
Dalam dokumen keuangan tersebut, ada 35 pemimpin dunia dan 300 pejabat publik yang berasal dari 90-an negara yang terlibat. Tak hanya itu, para artis, bilioner, bankir, atlet, pemuka agama hingga keluarga kerajaan pun disinyalir turut menjadi pelaku. Sejumlah nama seperti Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, Raja Yordania, Abdullah II, Andrej Babis selaku Perdana Menteri Ceko, Elton Jhon, Ringo Star dan Shakira juga terseret dalam kasus ini. Di dalam negeri, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, juga Airlangga Hartanto selaku Menteri Koordinator Perekonomian disebutkan terlibat dalam konspirasi kriminal dunia ini.
Skema Penghindaran Pajak, Upaya Mengelabui Negara
Bagi mereka yang ingin menyembunyikan hartanya dari otoritas pajak, “surga pajak” menjadi pilihan. Surga pajak adalah istilah bagi negara yang tidak memberlakukan pajak penghasilan atau memiliki rasio pajak penghasilan yang rendah, di antaranya Swiss, South Dakota, Singapura, Hongkong, Panama, Belize dan lain-lain.
Di negara “surga pajak” tersebut terdapat perusahaan layanan keuangan yang menyediakan jasa bagi korporasi atau konglomerat yang ingin membangun perusahaan cangkang dengan menjamin kerahasiaan identitas klien dari regulator negara dan publik. Perusahaan cangkang didirikan dengan tujuan menghindarkan harta kekayaan dari pajak yang tinggi secara offshore (lintas batas) dengan modus mengalihkan laba perusahaan afiliasi ke perusahaan cangkang, bisa pula membeli sejumlah aset melalui perusahaan cangkang ini.
Walaupun terkesan melanggar hukum, namun perusahaan cangkang ini terdaftar secara resmi dalam wilayah “surga pajak”, padahal perusahaan ini tidak beroperasional sama sekali.
Lantas, apa dampak yang ditimbulkan dari mangkirnya para bedebah pajak ini ?
Potret Kegagalan Demokrasi Kapitalisme
Terkuaknya Pandora Papers seyogianya membuka mata warga dunia akan potret kegagalan konsep bernegara ala demokrasi kapitalisme dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Di sisi lain, ideologi rusak ini turut sukses menciptakan kesenjangan kekayaan. Kegagalan ini bisa ditinjau dari dua variabel.
Pertama, konsep bernegara demokrasi kapitalisme memberi celah terjadinya praktik korupsi. Mahalnya biaya politik untuk sampai pada tampuk kekuasaan membuat para penguasa berusaha untuk mengembalikan modal dalam kurun waktu masa jabatannya. Selain itu, dalam sistem politik demokrasi tidak ada larangan bagi penguasa untuk menjadi pengusaha. Hal tersebut menjadi celah bagi penguasa mengeluarkan kebijakan yang sarat akan kepentingan bagi individunya, kelompoknya, atau orang-orang yang ada dilingkaran kekuasaannya.
Kedua, regulasi ekonomi yang ada dalam negara kapitalisme terbukti gagal mendistribusikan harta kekayaan secara lancar di semua lapisan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dari lahirnya beberapa regulasi. Pertama, regulasi organisasi bisnis yang membolehkan Perseroan Terbatas (PT) membuka perusahaan cabang lintas negara. Regulasi inilah yang memberikan peluang para pengusaha untuk mendirikan perusahaan cabang/anak perusahaan di negara “surga pajak”. Kedua, regulasi terkait perusahaan gabungan / konsolidasi yang rentan terhadap munculnya perusahaan fiktif. Hal ini tentunya berpotensi terjadi penggelapan dana, penghindaran pajak dan praktik-praktik kotor lainnya untuk mengelabui negara. Ketiga, regulasi terkait pajak yang menjadi sumber utama penerimaan negara. Tatanan kehidupan kapitalistik yang ada hari ini meniscayakan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Jika negara sudah dicurangi sedemikian rupa, tentunya akan berimbas pada defisitnya APBN. Negara pun harus memutar otak mencari sumber pendapatan lainnya. Akhirnya, negara harus mengorbankan rakyat dengan melahirkan kebijakan baru berupa pungutan pajak di beragam sektoral. Pun jika masih belum mencukupi, maka pengajuan utang luar negeri akan dijadikan opsi. Keempat, regulasi pengelolaan sumber daya alam dimana ide kebebasan hak milik yang lahir dari ideologi ini membolehkan individu atau swasta baik asing maupun aseng untuk mengelola sumber daya alam sebebas-bebasnya.
Oleh karena itu, dengan terkuaknya Pandora Papers ini kita bisa mencium aroma busuk dari ideologi sekuler kapitalisme yang diterapkan di dunia. Demokrasi kapitalisme melahirkan individu serakah yang gemar menumpuk harta dan menimbunnya. Juga di alam kapitalisme ini terdapat pangsa pasar yang menawarkan jasa untuk melakukan praktik culas penghindaran pajak oleh para konglomerat dan korporasi dalam rangka mengelabui otoritas pajak di negaranya. Kemudian diperparah dengan kebrutalan penggunaan hukum lewat pengesahan perundang-undangan untuk memuluskan kepentingan para kapitalis.
Pandora Papers ini bukanlah dokumen keuangan pertama yang mengungkap skandal pajak. Pada 2016, Panama Papers juga menghebohkan publik menguak deretan nama-nama yang menimbun hartanya.
Sejatinya, selama ideologi sekuler kapitalisme yang dijadikan sebagai konsep bernegara di dunia, maka sangat mungkin pada tahun-tahun berikutnya akan muncul dokumen keuangan berisi skandal pajak yang lebih menghebohkan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari alternatif konsep bernegara yang secara tegas mendudukkan posisi penguasa sebagai pelayan umat, negara yang regulasinya menutup celah bagi pejabatnya untuk menumpuk harta kekayaan, negara dengan format budget minim ketika suksesi kepemimpinan, negara yang menjamin pendistribusian harta secara merata di seluruh lapisan masyarakat.
Khilafah sebagai Solusi Fundamental
Kegagalan demokrasi kapitalisme yang mewujud nyata menjadikan dunia butuh kepemimpinan yang dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan di atas. Dalam Islam, terdapat sebuah sistem pemerintahan yaitu Khilafah dimana pemimpin negaranya disebut Khalifah.
Khilafah sigap menutup celah penguasa untuk melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya serta tidak diperbolehkannya penguasa untuk berbisnis. Hal ini pernah terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Abu Hurairah yang pada saat itu ditunjuk menjadi gubernur Bahrain memiliki uang 10 ribu dinar yang merupakan hasil jasa sewa kuda pribadinya. Walaupun uang tersebut diperoleh dengan cara yang halal, Umar bin Khattab meminta Abu Hurairah untuk menyerahkannya ke Baitul Mal. Begitu hati-hatinya seorang Khalifah dalam melakukan penjagaan terhadap para pejabatnya dari penyalahgunaan jabatan.
Dalam sistem ekonomi Islam pula, regulasi yang dilahirkan akan sempurna mendistribusikan harta kekayaan di semua lapisan masyarakat. Masyarakat dilarang tegas untuk menimbun hartanya (kanzul mal) dan terlibat dalam bisnis yang di dalamnya mengandung unsur riba, judi, dan gharar (tidak pasti).
Tak hanya itu, regulasi kepemilikan dengan gamblang membagi tiga jenis kepemilikan di mana sumber daya alam yang melimpah terkategori sebagai kepemilikan umum yang pengelolaannya dilimpahkan pada negara Khilafah dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat secara adil dan merata. Hal ini yang menjadikan Khilafah memiliki kedaulatan sebab dalam penyelenggaraan negara pemerintah tak perlu mengajukan utang luar negeri sehingga terbebas dari intervensi asing.
Baitul Mal (kas negara) pun akan stabil sebab tiga pos pendapatan utamanya tidak disokong oleh pajak dan utang, melainkan dari zakat mal, pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
Pembinaan negara dalam rangka menjaga ketakwaan individu akan melahirkan pribadi yang tidak serakah. Orang-orang kaya secara sukarela akan menyedekahkan harta kekayaannya, tidak menimbunnya atau bahkan mengelabui negara. Terlepas dari itu semua, perlu diingat bahwa penerapan institusi Khilafah adalah mahkota kewajiban yang mana regulasi-regulasi di dalamnya bersumber dari wahyu Allah yang tentunya membawa keberkahan, bukan sekadar konsep regulasi yang tujuannya untuk dipelajari semata. Menegakkannya tentu menyelamatkan manusia dari segala kerusakan dan mengabaikannya justru mengantarkan manusia ke jurang kesengsaraan.
Oleh karena itu, untuk menghentikan secara total skandal pajak ini, dunia membutuhkan konsep bernegara yang terbukti mampu menyejahterakan selama 13 abad lamanya. Konsep bernegara ini tidak lain adalah Islam.
Wallahu’alam bisshowab[]