Pajak Naik, Rakyat Kecil Semakin Tercekik,Bagaimana Islam Memberikan Solusi Terbaik?

"Seperti inilah kenyataan pahit saat sistem buatan manusia digunakan untuk mengatur permasalahan kehidupan. Sistem kapitalisme yang diterapkan negeri ini akan terus menjadikan pajak sebagai pemasukan utama bagi negara. Sementara sumber daya alam (SDA) yang melimpah terus diliberalisasi."

Oleh. Ummu Ainyssa

NarasiPost.Com-Hukum yang mengabdi materi, menumbalkan rakyat bertubi-tubi. Kiranya ungkapan seorang jurnalis sekaligus presenter berita Najwa Shihab tersebut benar adanya. Hukum yang dibuat hanya demi mengeruk materi, tidak akan merasa iba saat berulang kali menjadikan rakyat sebagai tumbalnya. Lagi-lagi rakyat yang dikorbankan. Bak membunuh tanpa menyentuh. Bagaimana tidak, di saat pandemi belum juga usai, kondisi ekonomi akibat PHK dan pembatasan sosial masih dirasa berat, ujian kepada rakyat kecil kembali datang. Pemerintah menambah derita mereka dengan kenaikan tarif pajak.

Seperti diberitakan oleh Kompas.com (7/10/2021), pemerintah secara sah kembali menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 mendatang. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 7/10/2021 lalu.

Bahkan menurut Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, pemerintah telah merencanakan kenaikan PPN kembali hingga 12 persen pada tahun 2025 mendatang. Hal ini dilakukan karena pemerintah mengklaim bahwa angka itu masih lebih rendah dibanding tarif rata-rata dunia, yakni 15,4 persen.

Keputusan kenaikkan tarif PPN ini pun banyak mendapat tanggapan dari para tokoh maupun masyarakat. Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Benny Soetrisno, kenaikan tarif PPN ini justru akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi masyarakat. Hal ini diungkapkan berkaitan dengan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa pada September 2021 ini telah terjadi deflasi sebesar 0,04 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,53. Sehingga daya beli masyarakat pun belum sepenuhnya pulih seperti sebelum pandemi.

Sebagaimana harapan pemerintah, dengan kenaikan tarif PPN ini, diharapkan bisa menambah penerimaan negara. Namun, benarkah hal itu bisa terwujud sesuai harapan? Bagaimana jika kenaikan PPN ini justru malah akan berisiko menahan laju pemulihan ekonomi di negeri ini? Secara kalkulasi, kenaikan PPN ini memang bisa berpeluang untuk menambah penerimaan negara, namun hal ini belum tentu berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Bayangkan saja, dengan kenaikan tarif pajak ini otomatis harga barang-barang pun akan ikut naik. Dengan kondisi ekonomi masyarakat yang masih terasa sulit di masa pandemi ini, daya beli masyarakat pun akan menurun. Masyarakat akan lebih berhemat, terutama bagi mereka yang semakin menurun pendapatannya atau bahkan tidak ada pendapatan. Padahal kata Ekonom sekaligus Direktur Riset Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan bahwa konsumsi rumah tangga berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

Seperti inilah kenyataan pahit saat sistem buatan manusia digunakan untuk mengatur permasalahan kehidupan. Sistem kapitalisme yang diterapkan negeri ini akan terus menjadikan pajak sebagai pemasukan utama bagi negara. Sementara sumber daya alam (SDA) yang melimpah terus diliberalisasi. Jika saja negeri ini bisa mengolahnya secara benar, pasti akan cukup untuk penerimaan negara. Sayangnya, semua pengolahannya diserahkan kepada swasta, dimana negara hanya mendapat secuil dari kekayaan alam ini yang tentunya tidak akan cukup untuk menyejahterakan rakyat.

Akibatnya, rakyat yang sudah melarat akan terus dipalak dengan pajak. Jangankan bisa menikmati hasil SDA yang melimpah tersebut, untuk merasakan jalan yang mulus, sekolah yang layak ditempati pun mereka harus membiayai sendiri dengan membayar pajak. Belum lagi jika nantinya pajak tersebut masih dikorupsi, maka rakyat kembali hanya bisa gigit jari. Ibarat sudah jatuh masih tertimpa tangga.

Hal ini sangat berbeda dalam sistem Islam. Di dalam Islam pajak bukanlah satu-satunya pemasukan negara yang utama. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam Al Amwal cetakan III hal. 157 menjelaskan makna pajak atau yang biasa disebut dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Swt kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi dimana Baitul Mal sedang kosong tidak ada uang atau harta.

Islam telah menetapkan pembiayaan atas berbagai kebutuhan di pos-pos pengeluaran wajib dipenuhi oleh Baitul Mal, baik dalam kondisi sedang ada harta ataupun tidak. Jika di Baitul Mal tidak ada uang atau harta, maka kewajiban pembiayaan itu beralih kepada kaum muslim. Dalam kondisi seperti inilah, maka negara akan mewajibkan kaum muslim untuk membayar pajak yaitu hanya untuk menutupi kekurangan biaya terhadap berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan, tidak lebih dari itu. Kewajiban membayar pajak ini hanya dibebankan kepada kaum muslim yang mempunyai kelebihan harta dan diambil dengan cara yang makruf.

Di antara pemungutan pajak ini nantinya akan digunakan untuk pembiayaan hal-hal yang mendesak dan penting saja. Yaitu yang pertama, membiayai jihad dan segala hal yang berkaitan dengan jihad. Kedua, untuk pembiayaan industri militer serta pabrik-pabrik penunjangnya yang memungkinkan negara memiliki industri senjata. Ketiga, untuk pembiayaan para fuqaha, orang-orang miskin dan Ibnu sabil. Keempat, untuk pembiayaan gaji tentara, para pegawai, para hakim, para guru, dan lain-lain yang melaksanakan tugas untuk kemaslahatan kaum muslim. Kelima, pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umat, yang keberadaannya sangat dibutuhkan, dan jika tidak dibiayai maka bahaya akan menimpa umat. Misal untuk pembiayaan jalan-jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit, masjid, pengadaan saluran air minum, dan lain-lain. Keenam, untuk pembiayaan keadaan darurat (bencana) seperti gempa bumi, angin topan, tanah longsor, atau mengusir musuh.

Adapun pengambilan pajak ini tidak boleh dipaksakan melebihi kesanggupan, atau melebihi kadar harta orang kaya, atau berusaha untuk menambah pemasukan Baitul Mal. Negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa ada kebutuhan yang mendesak.

Demikian juga negara tidak boleh mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadilan, atau untuk pungutan biaya di muka (dalam urusan administrasi negara), atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat-suratnya, gedung-gedung, serta timbangan barang dagangan. Jika hal itu dilakukan maka negara telah berbuat zalim dan terlarang, karena hal itu masuk dalam pemungutan cukai (al-maksu).
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, ad-Darami dan Abu Ubaid, Rasulullah saw bersabda: "Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai."

Begitulah negara Islam tidak boleh asal mewajibkan pajak. Sementara untuk pendapatan negara sendiri ada 12 sumber pendapatan dalam negara Islam, yaitu di bagian fai dan kharaj meliputi ghanimah, kharaj, status tanah, jizyah, fai, dan pajak (dlaribah), selanjutnya bagian kepemilikan umum meliputi minyak dan gas, pertambangan, laut, sungai, perairan dan mata air, hutan dan padang gembalaan, listrik serta aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus.

Selain itu, ada pemasukan yang berasal dari zakat atau shadaqah atas kepemilikan harta yang hanya wajib bagi kaum muslim. Zakat ini hanya diambil pada harta yang sudah mencapai nisab, setelah dikurangi utang-utangnya dan telah mencapai satu tahun (haul). Kecuali untuk zakat tanaman hasil pertanian dan buah-buahan,maka zakatnya diwajibkan pada saat panen. Zakat ini meliputi zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, serta zakat ternak (unta, sapi, dan kambing).

Untuk pos zakat ini akan dibuatkan tempat khusus di dalam Baitul Mal agar tidak bercampur dengan harta lainnya. Karena penyaluran harta zakat ini hanya untuk delapan golongan saja yaitu orang fakir, orang miskin, pengurus zakat (amil), para mualaf, untuk memerdekakan budak, orang yang berutang, untuk jalan Allah (fi sabilillah), dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) sebagaimana yang telah diwajibkan Allah di dalam surat at-Taubah ayat 60.

Demikianlah Islam memberikan solusi terbaik dalam mengurusi rakyat. Negara Islam mampu menyejahterakan umatnya tanpa menzalimi dengan pungutan pajak yang mencekik. Dan semua ini tentu hanya bisa terwujud dalam negara yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah.[]


Photo : Pixels

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Ummu ainyssa Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Islam sebagai Hukum Berkeadilan Langit
Next
Muslim Minoritas yang Masih Tertindas(Sebuah Refleksi bagi Muslim Dunia)
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram