Naik Pitam yang Tak Padam

"Naik pitam sebab miskomunikasi, dimana lawan komunikasi kita tidak mengerti cara pandang yang dijelaskan, apalagi jika meluapkan amarah sambil menunjuk-nunjuk, hingga mempertaruhkan kehormatan orang lain adalah hal yang tidak dibenarkan oleh Islam. Marah dan berbagai emosi lainnya perlu dikelola dan diatur dengan pengaturan yang benar, yang telah Allah Swt tetapkan."

Oleh. Muthi Nidaul Fitriyah

NarasiPost.Com-Ibu Risma naik pitam lagi di pertemuan formal bersama para pejabat Provinsi Gorontalo ketika membahas pemadanan data Program Keluarga Harapan (PKH) Kabupaten Gorontalo. Hal ini berbuntut panjang sampai pada pemecatan Husain Ui selaku Kepala Dinas Sosial Kabupaten Gorontalo oleh Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo. Keputusan pemecatan sudah diperhitungkan dengan matang, ada lima kesalahan yang dilakukan oleh Kandinsos, di antaranya koordinasi dan komunikasi yang kurang baik. Padahal pendamping PKH adalah ujung tombak dari Dinas Sosial. Sanggah sang gubernur, pemecatan tidak ada kaitannya lagi dengan kemarahan Mensos.

Mudah naik pitam atau (menjadi) marah tampaknya sudah menjadi karakter khas Ibu Risma. Entah apa tujuannya sang Mensos membangun branding diri dengan sikap 'marah-marah' tersebut. Kemarahan sang Mensos di Gorontalo, yang sempat viral di media sosial itu, berhasil membuat Bupati Gorontalo prihatin. Ia tidak menyangka seorang menteri, bahkan seorang menteri sosial bertindak demikian. Menurutnya, hal itu adalah contoh yang tidak baik. (cnnindonesia.com, 4/10/202)

Marah-Marah dalam Islam

Memiliki perasaan marah adalah hal yang manusiawi, manifestasi dari garizah baqa' (naluri mempertahankan diri). Akan tetapi sebagai makhluk yang telah Allah sempurnakan dengan akal, jangan sampai membebaskan perasaan atau emosional yang berkuasa atas diri. Ada akal yang harus tetap rasional, melakukan pertimbangan, kapan harus marah dan kapan tidak perlu marah. Sebagaimana kita menghukumi perbuatan yang harus disesuaikan dengan syariat Islam, begitu pun dengan sikap marah. Kita harus menempatkan marah yang mendatangkan keridaan Allah dan mana marah yang menjerumuskan pada dosa.

Naik pitam sebab miskomunikasi, dimana lawan komunikasi kita tidak mengerti cara pandang yang dijelaskan, apalagi jika meluapkan amarah sambil menunjuk-nunjuk, hingga mempertaruhkan kehormatan orang lain adalah hal yang tidak dibenarkan oleh Islam. Marah dan berbagai emosi lainnya perlu dikelola dan diatur dengan pengaturan yang benar, yang telah Allah Swt tetapkan.

Islam mewajibkan kita untuk menunjukan kemarahan kepada penjajah dan antek-anteknya yang secara nyata melakukan pengekangan, perampasan, penindasan dan kezaliman atas umat ini. Seperti penjajahan Israel di tanah Palestina dan masyarakatnya, marah dengan kebijakan zalim yang mengizinkan neoimperialisme, penjajahan berbentuk investasi asing, utang luar negeri masuk ke negara kita, dan lain sebagainya.

Sebagai seorang muslim tentu kita harus merapikan kembali nilai-nilai dan cara pandang kita untuk sesuai dengan Islam. Lebih dari sekadar menempatkan rasa marah sesuai dengan syariat, tapi juga berpikir lebih mendalam dan ideologis untuk bisa meluapkan emosi dengan hal-hal yang produktif, yang berkontribusi menggelorakan semangat, yang menggerakan kepada kebangkitan yang hakiki.

Pemimpin Ideal

Kita sudah lama kehilangan sosok pemimpin yang ideal, pemimpin yang bekerja tanpa pencitraan, pemimpin yang benar-benar peduli dengan rakyatnya. Sikap marah-marah pejabat kini justru dipelihara, padahal itu mampu membutakan rasionalitas dan menjauhkan dari berpikir jernih. Seharusnya para tokoh pejabat itu mampu menjaga perilaku dan memberikan teladan terbaik untuk rakyatnya.

Secara psikologis memang sosok perempuan itu lebih emosional atau perasa dibandingkan laki-laki, wajar jika mudah terpancing emosi. Hebatnya Islam, sejak jauh-jauh hari telah memosisikan perempuan dalam kemuliaan, dan kehormatan atas penciptaannya, baik dalam ranah domestik maupun ranah publik. Islam mengharamkan perempuan menjabat sebagai pemimpin negara, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, “Tidak akan pernah berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada wanita.”

Agenda feminisme dengan ide kesetaraan gendernya yang terus disuarakan, secara perlahan tapi pasti akan mengubah cara pandang dan menghancurkan tatanan keluarga muslim. Akhirnya menjadi niscaya bagi perempuan untuk menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam sebuah negara, melampaui batasan-batasan yang telah ditetapkan syariat. Dalam waktu yang sama, tentu saja pasti ada kewajiban lain yang telah ditetapkan syariat atasnya yang terlalaikan, karena disibukkan pada sesuatu yang melampaui kapasitasnya sebagai perempuan. Banyak salah paham sehingga salah prioritas.

Perempuan tetap memiliki kewajiban berperan di ranah publik, seperti berdakwah. Jika mengutip penjelasan Syeikh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam kitab Ajhizah Dawlah al-Khilafah, perempuan boleh menjabat atau bekerja sebagai pegawai dan pemimpin swasta maupun pemerintahan yang bukan termasuk wilayah al-amri atau wilayah al-hukm, di antaranya menjadi kepala Baitul Mal, anggota majelis wilayah, anggota majelis umat, qadhi hisbah (hakim yang langsung menyelesaikan pengurangan atas hak-hak rakyat).

Perempuan boleh juga mejabat sebagai kepala departemen kesehatan, departemen perindustrian, departemen perdagangan, departemen pendidikan, rektor perguruan tinggi, direktur perusahaan, kepala rumah sakit, dan lain-lain.

Posisi yang tidak dibolehkan di antaranya, menjadi Khalifah (kepala negara), Mu’awin (Pembantu Khalifah), gubernur, menjadi pemimpin para qadhi/hakim, Qadhi Mazhalim (hakim yang mempunyai kewajiban menghilangkan kezalimam).

Kepemimpinan ideal itu terdiri dari dua hal. Pertama, harus berdasarkan sistem bernegara yang ideal, sahih, sesuai dengan fitrah manusia, yaitu harus dengan sistem Islam. Kedua, sosok individu yang layak, mampu untuk mengemban amanah memimpin umat. Ada tujuh syarat sah (in’iqad, harus dipenuhi), yakni muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil (tidak fasiq), merdeka (independen), dan memiliki kapabilitas untuk memimpin negara. Syaikhul Islam dalam kitab As Siyasah Asy Syar’iyah menjelaskan, “Selayaknya untuk diketahui siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Karena kepemimpinan yang ideal itu memiliki dua sifat dasar: kuat (mampu) dan amanah.”

Terbukti, Indonesia sudah enam kali berganti kepala negara, akan tetapi kesejahteraan, keadilan bahkan keberkahan semakin jauh panggang dari api. Maka, sebenarnya bukan dengan menunggu pergantian periode kepemimpinan demokrasi, akan tetapi kita harus berpikir untuk rekonstruksi sistem bernegaranya. Dari sistem buatan manusia (Kapitalisme) beralih kepada sistem Islam yang Allah Swt turunkan.

Bergerak Melakukan Perubahan

Krisis multidimensi secara nyata menimpa kita, sistem kapitalisme demokrasi telah kolaps, tak mampu lagi membendung kekacauan. Berbagai pencitraan dihadirkan untuk mengalihkan perhatian umat dari kelalaian rezim dan kekacauan sistemis, sebagaimana aksi marah-marah yang tampak ‘dipelihara’, pencitraan dibuat, seolah dirinyalah yang paling peduli dengan umat. Demi merawat dukungan umat atas krisis yang tidak berkesudahan, saling lempar tanggung jawab pun sudah biasa kita saksikan. Drama demi drama dimainkan para politisi negeri bak lingkaran setan yang yang tidak ada ujungnya.

Ingat, perubahan bukan sekadar mengganti rezim, bukan sekadar mengganti orang, akan tetapi wajib mengganti sistem. Mari bergerak melakukan perubahan, menjadikan Islam sebagai satu-satunya alternatif solusi, yakni satu-satunya sistem yang akan mengatur seluruh aspek kehidupan kita. Hal ini bisa kita mulai dari sekarang, dengan terus menambah pemahaman Islam dan menyebarkan apa yang kita pahami dengan melakukan dakwah Islam kepada orang-orang yang ada di sekitar kita. Wallahu alam bi shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Muthi Nidaul Fitriyah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Mendamba Kesejahteraan Buruh, Butuh Partai Buruh atau Sistem Tangguh?
Next
Ya Rasulullah, Kami Rindu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram