"Pemahaman bahwa Islam adalah agama satu-satunya yang diridai Allah, menjadikan muslim sadar bahwa kata itu harus dibuang jauh dalam kamus kehidupan. Persoalannya, menjaga keimanan di tengah gempuran pemikiran Barat seperti sekularisme dan pluralisme, bagai memegang bara api. Maka murtad, menjadi bukti bahwa pluralisme telah berhasil melebur dalam sendi negara ini."
Oleh. Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kemunduran dalam kehidupan tentu bukanlah suatu tujuan yang hendak dicapai siapa pun di dunia ini. Namun, terkadang manusia ‘tak sadar’ jika langkah yang ia tempuh adalah kemunduran yang dapat menjerumuskannya. Murtad, menjadi momok tersendiri bagi kaum muslim.
Pemahaman bahwa Islam adalah agama satu-satunya yang diridai Allah, menjadikan muslim sadar bahwa kata itu harus dibuang jauh dalam kamus kehidupan. Persoalannya, menjaga keimanan di tengah gempuran pemikiran Barat seperti sekularisme dan pluralisme, bagai memegang bara api. Maka murtad, menjadi bukti jika pluralisme telah berhasil melebur dalam sendi negara ini.
Tentu publik geger ketika mendapati seorang putri pendiri bangsa ini, dalam usia senjanya malah memunggungi agama yang sejak lahir dianutnya. Diwartakan dalam laman cnnindonesia.com (26/10/2021), Diah Mutiara Sukmawati Soekarno Putri diketahui melakukan proses perpindahan agama dari Islam ke Hindu dimulai pada Senin 25 Oktober 2021. Alasannya, profesi sebagai ahli di bidang seni budaya, membuat ia tertarik dengan Hindu yang berada di Pulau Bali. Apalagi semenjak suami dan ibunya meninggal, ia merasa jika orang terdekat yang mengajarkan Islam padanya sudah tak lagi ada. Maka, ia meneruskan percikan keinginan lamanya untuk masuk dalam agama Hindu. Kembali ke agama leluhur juga menjadi salah satu alasan kuat Soekmawati untuk memeluk Hindu.
Murtadnya Soekmawati, nyatanya telah mendapat restu dari orang-orang terdekatnya, baik dari pihak putra-putri, hingga saudara-saudarinya. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Soekarno Center, Arya Wedakarna, saat ia didapuk menjadi juru bicara kepindahan Soekmawati ke dalam agama Hindu.
Peran Negara Jaga Akidah
Kenyataan banyaknya muslim yang pindah agama, mencuatkan pertanyaan besar, bagaimana peran negara dalam menjaga akidah? Pertanyaan ini terjawab dengan menilik kembali undang-undang Pasal 29 ayat 2, yang ternyata melindungi hak warganya dalam kebebasan memilih agama dan keyakinan. Tersiratnya, negara tak ikut campur dalam wilayah peribadahan rakyatnya, apalagi sekadar menjaga akidah pada masing-masing pemeluk agama. Karena keyakinan dianggap sebagai ranah privat yang tidak boleh dicampuri oleh negara.
Pembiaran ini dibuktikan lebih dalam dengan hadirnya berbagai pemikiran Barat. Negara malah terlihat sebagai fasilitator dalam masuknya produk pemikiran Barat tersebut. Digelarnya ajang Miss Queen di Bali beberapa waktu lalu, juga golnya peraturan moderasi menjadi salah dua gelagat kuat upaya negara dalam memasukkan pemikiran Barat pada benak masyarakat.
Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang membatasi pelajaran agama di sekolah. Apalagi negara juga telah melabeli rakyatnya yang ingin memperdalam agama dengan sebutan ‘radikal’, yang akhirnya menjadi ketakutan tersendiri untuk lebih memahami agama. Namun, pelabelan ini tentu tak menggeneralisasi seluruh agama sebagai objeknya. Sebab hingga saat ini, sebutan radikal hanya diarahkan pada kaum muslim yang kukuh dengan ajaran syariat Islam. Hasilnya pendangkalan akidah dan keimanan secara struktural tak dapat dihindarkan.
Kaum muslim pun harus bertahan dengan bekal ilmu yang mereka peroleh secara mandiri, sebab berharap pada negara untuk mengajarkan Islam kaffah bagai pungguk merindukan bulan, takkan pernah sampai. Demikianlah betapa minim peran negara dalam hal jaga akidah dan keimanan warganya. Yang akhirnya dengan dalih pluralisme, negara abai terhadap kemurtadan warganya.
Meleburnya Pluralisme
Pluralitas beragama di Indonesia merupakan keniscayaan. Hal tersebut tidak menjadi masalah yang berarti. Namun berbeda jika pluralisme yang ditancapkan. Ide ini malah justru merusak nilai dari agama itu sendiri. Sayangnya, hal ini tidak dipahami dengan benar oleh negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini. Hingga para punggawa beserta influencernya terus menggaungkan pluralisme sebagai tunggangan bagi kebijakan moderasi beragama.
Gencarnya kebijakan memuluskan pluralisme dan moderasi tak lepas dari campur tangan negara adidaya Amerika Serikat. Pluralisme dianggap perlu untuk menyokong jaminan kebebasan berpendapat dan beragama. Hal ini termaktub dalam amandemen pertama Konstitusi AS, yang juga menjadi salah satu tujuan polugri AS.
Sebagai negara paling berpengaruh, tentu kebijakan polugri AS akan diambil sebagai kebijakan baru bagi negara-negara lain. Padahal jika dipikirkan lebih dalam, kebijakan AS hanyalah mekanisme yang dibuat untuk melanggengkan cengkeraman kekuasaan Amerika atas negara-negara di dunia. Itulah alasan mengapa pluralisme di Indonesia bagai berpacu di jalan tol, mulus tanpa hambatan, melebur dengan mudah dalam bingkai kebijakan. Sebab tak lain, tersistem secara struktural oleh negara besar dan diimplementasikan oleh negara pengikutnya.
Islam Agama yang Diridai
Tujuan utama disodorkannya pluralisme adalah untuk menakar kesamaan setiap agama. Dinarasikan jika tempat tujuannya sama, namun jalannya yang berbeda. Tentu sesuai logika jika diindra dengan kacamata manusia. Namun, berbeda jika ayat yang berbicara, Allah berfirman dalam surah Ali-Imran ayat 19, yang berarti, “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam…” ayat ini menunjukkan jika mencari perbandingan setelah Nabi Muhammad saw. diutus dengan Islam maka akan tertolak. Karena Allah telah jelas menyatakan jika Islamlah satu-satunya agama yang diridai-Nya.
Pun dalam firman Allah lainnya, Ali-Imran ayat 85 yang berbunyi, “Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Telah jelas peringatan Allah terpampang sebagai peringatan untuk manusia.
Kasus Murtad pada Era Khilafah
Akar pemurtadan tak hanya terjadi pada era ini. Bibit-bibit pemurtadan tumbuh dengan tujuan yang sama, yakni jauhnya umat dari Islam kaffah. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, terjadi pemurtadan sesaat setelah wafatnya Nabi saw. Keluar dari Islam dan enggan membayar zakat menjadi pilihan bagi kaum murtadin untuk menunjukkan pembangkangan mereka terhadap Khilafah. Mereka menganggap wafatnya Rasul saw. adalah momentum untuk melemahkan Islam dan kaum muslimin.
Tanpa terduga, Abu Bakar yang terkenal lembut perangainya, tak segan mengangkat pedang demi mengembalikan kehormatan Islam dan kaum muslim. Beliau merespons keras atas kemurtadan, dan mengambil langkah tegas untuk menyelesaikannya. Sebab, sebagai seorang Khalifah pundaknyalah yang akan menanggung beban tanggung jawab penjagaan akidah umat Muhammad. Ketegasan Abu Bakar menjadi acuan bagi kaum muslim lainnya, bahwa permasalahan kemurtadan adalah masalah vital yang harus segera mendapat penyelesaian. Karena fitnah dapat merebak jika tidak ditangani dengan benar.
Islam Jaga Akidah Umat
Akidah laksana jantung bagi umat Islam, yang dengannya kehidupan akan berlanjut. Begitu pentingnya akidah, hingga harus dengan sekuat tenaga menjaganya. Tugas ini tak hanya akan dilimpahkan kepada umat belaka. Namun Islam dan institusinya, yakni Khilafah juga mempunyai andil dalam menjaga akidah umat agar tetap sekokoh batu karang di lautan.Oleh karena itu, pertama, negara tidak akan memberi kesempatan hadirnya pemikiran, aliran atau aturan dari sisi mana pun baik dari media, perjanjian maupun yang lainnya. Sebab, semua hal tersebut dapat merusak kemurnian akidah umat. Seperti, sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Aliran sesat seperti Ahmadiyah serta Baha’i. Hingga aturan kufur seperti kapitalis-demokrasi dan komunis-sosialis.
Kedua, Khilafah akan menanamkan akidah dengan diimplementasikan dalam dunia pendidikan. Kurikulum yang diambil pun akan menjadikan syariat Islam dan akidah Islam sebagai acuan.
Ketiga, negara berupaya membangun kesadaran politik bagi warganya, hingga ketika muncul paham, aliran atau kelompok yang bertentangan dengan akidah Islam dapat ditangkis lebih awal.
Keempat, Khilafah akan memberi sanksi tegas bagi pengusung ide-ide kufur. Bahkan pada taraf hukuman mati, jika dirasa perbuatannya memunculkan bahaya besar bagi kejernihan akidah umat Islam.
Demikianlah cara Khilafah dalam membentengi kaum muslim dari bahaya pendangkalan akidah yang dapat berujung pada pemurtadan. Tugas ini, tak akan pernah ada di negara yang menggunakan kapitalisme sebagai dasarnya. Karena pluralisme sendiri merupakan alat untuk memuluskan agenda negara-negara pengusung kapitalisme dalam memperdalam pengaruh di negeri-negeri kaum muslim. Allahu a’lam bis-showwab.[]