Adanya dukungan dari negara yang menerapkan sistem ini, akan semakin memperkuat dan menyuburkan keberadaan mereka. Tak peduli berbagai suara sumbang yang menentangnya karena dianggap melanggar nilai-nilai agama. Sehingga, mustahil untuk bisa menghentikan pertumbuhannya.
Oleh. Neneng Sri Wahyuningsih
NarasiPost.Com-Berbicara soal kaum pelangi, seolah tidak ada habisnya. Meski sudah jelas-jelas tindakannya tidak sesuai dengan norma dan agama yang berlaku di negeri ini, tapi nyatanya eksistensinya tak mampu dibendung. Keberadaannya semakin merajalela. Bahkan, kini mereka pun kembali mendapatkan panggung untuk menunjukkan kepercayaan dirinya.
Dilansir dari news.detik.com (4/9/2021), Kamis (30/9), telah digelar ajang kecantikan Miss Queen Indonesia 2021 di Denpasar, Bali. Kontes yang dikhususkan untuk kaum transgender ini diikuti oleh 17 peserta. Sontak gelaran tersebut pun menuai polemik di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, kontes yang kini juaranya disandang oleh Milley Cirus, bukanlah suatu prestasi yang harus dibanggakan, melainkan aib bagi negeri ini.
Mempertunjukan Aib, kok Bangga?
Jika ditelusuri, sebenarnya kontes yang dikhususkan untuk kaum transgender ini sudah ada sejak tahun 2004. Dulu bernama kontes waria, sedangkan kini berganti nama menjadi kontes Miss Queen Indonesia. Pemenangnya kelak akan menjadi perwakilan negara dalam ajang internasional, yang biasanya diselenggarakan di Thailand.
Pada awalnya, kontes ini digelar secara tertutup meski tetap meriah. Tujuannya tak lain agar tidak menyulut kemarahan publik yang notabene mayoritas Muslim. Pernah juga akhirnya mencuat ke publik dan mendapatkan penolakan keras dari sebuah ormas Islam. Akan tetapi, nyatanya tak menghentikan langkah mereka untuk tetap eksis. Faktanya, tahun ini ajang tersebut pun kembali diselenggarakan.
Beberapa tokoh dan kalangan masyarakat mengecam keras diselenggarakannya kontes ini. Salah satunya datang dari Prof Utang Ranuwijaya, Ketua Bidang Pengkajian dan Penelitian MUI. Beliau mengungkapkan bahwa adanya kontes tersebut merupakan aib, bukanlah prestasi. Agama sudah jelas melarang transgender. Tidak boleh laki-laki menyerupai perempuan, begitu pun sebaliknya. Selain itu, menganggap bahwa tindakan tersebut termasuk penyakit kejiwaan, yang seharusnya diobati bukan justru dilombakan (news.detik.com, 4/9/2021).
Ya, memang keliru ketika menganggap bahwa kontes di atas merupakan sebuah prestasi. Apa yang mesti dibanggakan? Seharusnya, negeri ini malu ketika mendapati warganya memiliki penyimpangan seksual. Mereka telah menyalahi kodrat dan fitrah penciptaan. Semestinya diberi perlakuan yang tegas, diedukasi, dan diobati agar tidak melakukan dan 'menularkan' penyimpangannya kepada yang lain.
Hanya saja, ada pihak yang terus menyokong agar keberadaannya tetap ada. Bahkan terus 'dipupuk' agar semakin subur. Kini mereka pun sudah lebih terorganisir. Menurut data yang diperoleh dari republika.co.id (27/10/2020), hingga akhir 2013 terdapat 119 organisasi LGBT di 28 provinsi di Indonesia.
Miris! Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, tapi memberikan panggung bagi para pelaku penyimpangan seksual. Bukankah ini pertanda bahwa negeri ini mengakui dan membolehkan aksi mereka?
Liberalisasi Suburkan Kaum Pelangi
Perilaku kaum pelangi sebenarnya berasal dari barat yang dalam tatanan kehidupannya mengesampingkan agama dan mendewakan kebebasan. Namun, akhirnya kini diadopsi pula oleh negeri mayoritas muslim. Kemudian berlindung dibalik landasan kebebasan dan hak asasi manusia, mereka menuntut mendapatkan hak yang sama, dihargai, diberikan ruang untuk berekspresi dan memperoleh apresiasi dari publik.
Tak bisa dielakkan, derasnya arus liberalisasi yang menghunjam di negeri ini pun semakin membawa paradigma berpikir masyarakat yang keliru. Banyak kalangan masyarakat yang menganggap bahwa tak ada yang salah dengan perilaku tersebut. Akhirnya, mereka memberikan dukungan agar para kaum pelangi ini tetap bangga dan percaya diri dengan keadaannya. Ironis. Sesuatu yang benar dikatakan salah, begitu pun sebaliknya, yang salah dikatakan benar. Standar kebenaran menjadi rancu dan disesuaikan dengan keinginannya manusia.
Inilah nilai-nilai yang dilahirkan dari sistem yang rusak dan lemah, yakni sistem demokrasi sekularisme. Darinya terlahir paham yang mengagungkan kebebasan. Aturan bebas dibuat oleh manusia tanpa bimbingan Sang Pencipta.
Adanya dukungan dari negara yang menerapkan sistem ini, akan semakin memperkuat dan menyuburkan keberadaan mereka. Tak peduli berbagai suara sumbang yang menentangnya karena dianggap telah melanggar nilai-nilai agama. Sehingga, mustahil untuk bisa menghentikan pertumbuhannya.
Kacamata Islam Memandang Penyimpangan Seksual
Islam dengan tegas telah mengharamkan perilaku penyimpangan seksual (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Dalam hadis riwayat At-Tirmidzi dikatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Dilaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (homoseksual).”
Adapun terkait kasus di atas yakni mengenai transgender, para fukaha telah bersepakat bahwa tindakan laki-laki yang menyerupai perempuan dan sebaliknya, telah dilaknat oleh Allah Swt. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Al-Bukhari, dari Ibn ‘Abbas juga dinyatakan, “Rasulullah saw. melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.”
Pada dasarnya, Allah Swt. pun telah menetapkan terkait fitrah penciptaan manusia dalam surat Al-Hujurat ayat 13 bahwa hanya menciptakan dua jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Sehingga tidak boleh manusia mengubah jenis kelaminnya (transgender) hanya karena lebih cenderung menjadi laki-laki ataupun perempuan. Oleh karena itu, tindak penyimpangan ini tidak boleh dibiarkan menjamur. Harus ada upaya dari institusi terbesar yakni negara untuk dapat menghentikan dan memberantasnya.
Upaya Negara dalam Memberikan Proteksi
Permasalahan kaum pelangi ini merupakan permasalahan sistemis karena berdampak pada berbagai aspek, sehingga dibutuhkan penyelesaian hingga ke akarnya. Dalam upaya penyembuhan dan perlindungan, tidak bisa hanya dilakukan sendiri oleh dirinya atau pihak keluarga saja, tetapi haruslah bersinergi dengan masyarakat, dan negara. Percuma saja jika di lingkup keluarga sudah dibentengi dari penyimpangan tersebut, sementara pemicunya masih bebas berkeliaran di luar sana.
Maka dari pihak keluarga, orang tua harus menanamkan akidah yang kokoh pada seluruh anggota keluarganya dari sejak dini. Adapun peran masyarakat yakni membantu untuk saling melakukan amar makruf nahi mungkar. Ketika melihat kemungkaran di depan matanya, langsung diingatkan, bukan dibiarkan dan didukung. Sedangkan peran negara dalam memberikan proteksi, diantaranya:
Pertama, negara akan menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan di tengah-tengah masyarakat baik melalui pendidikan formal maupun nonformal, agar mereka terhindar dari perilaku penyimpangan ini. Kedua, negara akan menghentikan segala bentuk penyebaran yang mengandung pornografi dan pornoaksi. Ketiga, negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyatnya, sehingga pelaku penyimpangan seksual tersebut tidak menjadikan alasan ekonomi sebagai kambing hitam atas tindakannya. Keempat, jika ternyata masih ada yang melakukannya, maka akan diberikan sanksi yang tegas. Sehingga, tidak menstimulus orang lain untuk melakukan hal serupa.
Dengan berbagai upaya yang telah dijelaskan di atas, maka tak ada celah bagi kaum pelangi ini untuk unjuk gigi. Tentu semuanya akan terlaksana ketika sistem yang diberlakukan oleh negara hanyalah sistem Islam yang paripurna. Terbukti, bahwa sistem demokrasi sekularisme tidak mampu membendung derasnya arus penyimpangan seksual dan hanya Islamlah yang mampu menghentikan dan menyelesaikannya. Sudah saatnya kita kembali pada aturan Ilahi agar kemaksiatan tidak merajalela dan keberkahan selalu menyelimuti negeri ini.
Wallahu a'lam bishshowab[]