Lukisan Buram Wajah Pendidikan dalam Sistem Kapitalisme

"Buruknya output pendidikan di Indonesia tentu tak terlepas dari kebijakan pemerintah mengenai sistem pendidikan. Indonesia yang menggunakan kapitalisme sebagai sistem negara, harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh induk kapitalis, tak terkecuali dalam dunia pendidikan."

Oleh. Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Masa kecil bermain air dengan menaiki perahu mungkin menjadi kenangan indah yang tak terlupakan. Namun ketika perahu yang dinaiki berbahan kotak busa di tengah derasnya air sungai yang dalam, bisa menjadi mimpi buruk bagi semua orang. Apalagi tujuannya untuk mereguk ilmu. Hal ini terjadi di negeri kaya sumber daya. Video tiga anak SD di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, menyeberangi sungai menggunakan kotak busa menjadi viral. Bukan sebab hebatnya mereka menahan keseimbangan, namun mirisnya negeri ini dalam memfasilitasi sarana bagi rakyatnya, bahkan aksi tersebut bisa berpotensi mengantarkan nyawa. (regional.kompas.com, 27/9/2021)

Potret ini jamak ditemukan di Indonesia. Infrastruktur yang tak memadai berimbas pada pendidikan. Padahal Indonesia sendiri memandang pendidikan adalah sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 2, yang menyatakan bahwa pendidikan mempunyai tujuan untuk mencerdaskan anak bangsa dan membentuk keimanan serta ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun sayang, Undang-undang bagai lembaran tak bermakna. Sebab, kenyataannya pendidikan Indonesia jauh dari amanat perundangan. Dilihat dari data Unesco pada tahun 2000 tentang Human Development Index (Indeks Pengembangan Manusia), dengan indikator capaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per orang. Dalam data tersebut terlihat bahwa indeks pengembangan manusia terus merosot. Dari 174 negara, urutan ke-102 menjadi milik Indonesia pada tahun 1996, kemudian pada tahun 1997 merangkak ke posisi 99, lalu merosot ke-105 pada 1998, dan ke-109 pada tahun 1999.

Begitu pula hasil survei PERC (Political and Economic Risk Consultant), Indonesia malah menjadi penghuni terakhir, yakni posisi ke-12 dari 12 negara di Asia. Dan data yang dikeluarkan The World Economic Forum Swedia tahun 2000, melaporkan bahwa daya saing Indonesia berada di level 'rendah', dengan urutan ke-37 dari 57 negara (kompasiana.com, 19/12/2020). Yang terbaru, menurut PISA (Programme for International Student Assesment), Indonesia menempati peringkat ke-72 dari 77 negara. (www.dw.com, 5/12/2019).

Ternyata, negara ini belum berbenah pada aspek genting seperti pendidikan. Puluhan tahun tetap kerasan pada kualitas yang bisa dibilang rendah. Padahal sebanyak apa pun jumlah sumber daya manusia, jika tidak berkualitas maka tidak akan berkontribusi pada pembangunan negara. Bagai buih di tengah lautan, banyak jumlahnya namun mudah pecah terkena angin dan gelombang. Lalu, di manakah letak kecacatan pada pendidikan negeri ini?

Permasalahan dalam Dunia Pendidikan

Jika diteliti, maka negeri ini bermasalah dalam pengolahan aspek-aspek pendidikan. Pertama, kualitas pendidik yang tidak memadai. Seorang guru dituntut untuk mencerdaskan dan membentuk kepribadian unggul murid-muridnya. Namun dijumpai, guru-guru di Indonesia masih di bawah standar dalam mengajar, hal ini dikarenakan guru kesulitan menguasai materi bahan ajar. Apalagi dengan bergonta-gantinya kurikulum pendidikan, belumlah kurikulum lama tercapai, sudah harus mempelajari kurikulum baru. Bahkan dunia digital menjadi permasalah tersendiri bagi para guru yang sudah lama mengabdi.

Rendahnya kualitas pendidik ini sesuai dengan data yang dikeluarkan Global Education Monitoring (GEM) pada 2016, bahwa kualitas pendidikan di negeri ini menghuni posisi ke-10, dan berada di posisi buncit untuk kualitas guru dari 14 negara berkembang. (akseleran.co.id). Belum lagi permasalahan guru honorer. Bagai penyakit kronis yang tak kunjung sembuh, guru honorer terus mendapat luka baru, sudahlah pengangkatan menjadi PNS butuh belasan hingga puluhan tahun, gaji bulanan sebesar Rp300-Rp400 ribu pun sering telat dibayar.

Kedua, biaya pendidikan mahal. Data dari HSBC Global Report pada tahun 2017, Indonesia tercatat sebagai negara berbiaya pendidikan termahal di dunia. Meski pemerintah Indonesia membuat kebijakan wajib belajar 12 tahun, namun nyatanya angka putus sekolah malah tinggi. Pada tahun ajaran 2019/2020, jumlah siswa putus sekolah mencapai 157 ribu. Angka yang fantastis dilihat dari betapa besar anggaran dana yang dikeluarkan oleh pemerintah. Lalu, ke mana larinya dana besar tersebut? mengingat biaya masuk sekolah tiap jenjang membayar iuran gedung, iuran bulanan, buku, seragam dan segudang biaya lainnya.

Ketiga, sarana dan prasarana yang tidak mendukung. Berita bangunan sekolah ambruk atau bangunan yang buruk hampir tiap tahun menjadi langganan di media. Apalagi ketika letak sekolah dipelosok, jauh dari perhatian pemerintah. Tak hanya itu, kelengkapan sarana pendidikan seperti layanan internet, laboratorium komputer, laboratorium bahasa, gedung bagus, sarana olahraga, perpustakaan lengkap kerap ditemui hanya di sekolah perkotaan atau sekolah dengan standar nasional dan internasional. Tidak meratanya sarana dan prasarana pendidikan ini berdampak pada kualitas pendidikan, bahkan seolah pendidikan bagus hanya bisa dinikmati di wilayah perkotaan. Pelosok menjadi PR besar bagi pemerintah untuk dibenahi, tak hanya sarana dan prasarana yang buruk, tenaga pendidik pun sangat minim ditemui. Apalagi infrastruktur seperti jalan berlubang bahkan berlumpur juga jembatan gantung, bukan rahasia lagi menjadi penghuni wilayah pelosok negeri. Pelajar pun tak jarang harus membelah sungai dengan sepatu di tangan, bahkan kotak busa jadi alat penyeberangan. Tenaga yang seharusnya tercurah untuk belajar, terbuang sia-sia di perjalanan.

Keempat, bongkar pasang kurikulum. Sejauh ini, Indonesia telah belasan kali mengganti kurikulum pendidikan. Dimulai dari tahun 1947 dengan kurikulum Rencana Pembelajaran Dirinci dalam Pembelajaran Terurai, dilanjutkan dengan pergantian kurikulum Rencana Pendidikan Dasar pada tahun 1964. Kemudian pada 1968 menjadi Kurikulum Sekolah Dasar. Pada tahun 1974 kurikulum berubah menjadi Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan, dan pada tahun 1975 kembali menjadi kurikulum Sekolah Dasar. Pun pada tahun 1984 berubah menjadi Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (K-CBSA). Tak hanya itu, ditahun 1994 Kurikulum 1994 telah disahkan, kemudian ganti dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004. Tak sampai di sana, pada tahun 2006 kurikulum diubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dan pada tahun 2013 menjadi Kurikum 2013 (K-13). (tirto.id, 13/5/2017)

Bongkar pasang kurikulum, selain menguras tenaga dan biaya, juga tak mampu menghasilkan output pendidikan yang berkualitas. Dari peralihan kurikulum satu ke lainnya hanya menciptakan kebingungan bagi peserta didik dan tenaga pengajar. Bahkan hal ini juga menjadi cermin betapa negara ini kesulitan dalam menentukan arah pendidikan bangsa.

Kapitalis sebagai Dalang

Buruknya output pendidikan di Indonesia tentu tak terlepas dari kebijakan pemerintah mengenai sistem pendidikan. Indonesia yang menggunakan kapitalisme sebagai sistem negara, harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh induk kapitalis, tak terkecuali dalam dunia pendidikan. Sistem kapitalis yang menitikberatkan kebijakan-kebijakannya pada ekonomi, akan berpengaruh langsung pada pendidikan. Pendidikan dijadikan sebagai pabrik sumber daya manusia yang akan memberi support besar bagi langgengnya sistem kapitalisme di Indonesia.

Kebijakan kapitalis ini juga merambah pada aspek lain, seperti politik yang melahirkan pejabat korup, memutuskan kebijakan jauh dari kepentingan rakyat. Dari aspek budaya dan sosial, masyarakat diperkenalkan dengan budaya dan paham Barat seperti permisif, hedonis, dan liberalis. Pun dari aspek ekonomi, melahirkan ekonomi neoliberalis, yang menuntut pemerintah memberi 'kebebasan' berekonomi bagi warganya. Yang bermodal bebas melakukan eksploitasi, yang miskin bebas tak diberi subsidi.

Surutnya subsidi, berimbas pada dunia pendidikan. Pendidikan semakin mahal, hingga banyak siswa dan mahasiswa yang terpaksa putus sekolah, tak hanya karena besarnya biaya, namun juga terpaksa ikut menanggung beban kerja orang tua. Pendidikan rendah berdampak pada kualitas dan daya saing dalam bekerja. Akhirnya upah murah yang diterima. Semua hal tersebut bagai lingkaran setan yang susah diurai.

Pendidikan dalam Islam

Pendidikan dalam Islam mempunyai tujuan untuk mengembangkan manusia yang berkepribadian Islam, dan menguasai tsaqofah agama dan kehidupan. Maka menjadi tugas negara Islam untuk membuat kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Dalam negara Islam, pendidikan diadakan dengan jenjang tingkat dasar hingga tinggi.

Pada tingkat dasar akan diberi pelajaran yang bertujuan membentuk kepribadian Islam, yang dilanjutkan dalam tingkat menengah dan dimatangkan ditingkat tinggi. Pengajaran hukum syara pun harus disampaikan sebelum anak memasuki usia baligh, dan dimantapkan pada jenjang selanjutnya. Hingga anak bisa memasuki masa tamyiz dengan sempurna. Tsaqofah diajarkan sesuai dengan daya serap dan pemahaman siswa. Sedangkan ilmu terapan akan diajarkan pada semua jenjang pendidikan, dari dasar hingga tinggi. Tsaqofah asing diajarkan ketika anak sudah memiliki kemantapan dalam akidah Islam.

Metode pengajaran akan ditentukan oleh negara, maka negara pun bertugas menyediakan sarana dan prasarana yang mampu menunjang keberlangsungan pendidikan, juga keberadaan guru yang mempunyai kualitas untuk keberhasilan tujuan pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Hal yang tak kalah penting adalah manajemen pendidik dan tenaga kependidikan. Negara akan menentukan kualifikasi pendidik sesuai dengan tujuan pendidikan, mempunyai akidah yang kuat, akhlak yang baik, kepribadian Islam dan etos kerja profesional. Guru akan dibekali tsaqofah sebagai pengayaan untuk mendalami metodologi pengajaran, hingga ia mencapai kualifikasi yang diinginkan oleh negara. Tak hanya itu, negara juga wajib memberikan gaji dan tunjangan yang memadai, hingga dapat menjamin kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan. Semua hal dalam kependidikan merupakan tanggung jawab negara dalam memenuhinya. Sebagaimana sabda Rasul saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, "Setiap orang adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggunhjawaban atas kepemimpinannya."

Demikianlah pendidikan dalam Islam akan mampu membentuk generasi berkepribadian Islam dengan kualitas tinggi, sebab negara hadir dengan penuh perhatian mencetak generasi penerus yang berkualitas. Bukan generasi yang cinta dunia dan takut mati, tanpa kualitas yang jelas. Dan pencapaian output berkualitas hanya bisa diaplikasikan pada negara yang menjadikan Islam sebagai poros kehidupan, yakni Khilafah. Allahu a'lam bis-showwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Dia Dwi Arista Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Tali Kasih
Next
Ajang “Miss Queen” di Negeri Miskin Aturan Syariat
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram