"Longgarnya aturan menjadi sumber petaka bagi lingkungan. Apalagi banyak daerah di Indonesia merupakan tempat industri. Perusahaan yang dibangun berdekatan dengan permukiman penduduk, menghasilkan limbah yang dapat mengubah kandungan air tanah dan sungai sekitar. Kandungan yang berbahaya, akan berefek domino terhadap lingkungan dan kesehatan."
Oleh. Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.com-Tak dapat dimungkiri, perkembangan zaman pasti diikuti dengan perkembangan industri. Negara yang maju juga ditandai dengan majunya perindustrian. Selain dari sisi positif perindustrian, ada sisi lain yang menjadi masalah klasik dari banyaknya industri dalam sebuah negara, yakni limbah. Hampir semua negara mengalami pencemaran lingkungan akibat limbah berlebihan. Namun, persoalan ini bertambah pelik jika negara diatur oleh peraturan kapitalistik.
Diwartakan cnnindonesia.com (02/10/2021), para peneliti dari Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendapati dua pantai di Jakarta, Muara Angke dan Muara Ancol tercemar dengan parasetamol berkonsentrasi tinggi. Kandungan parasetamol di Muara Ancol sebesar 420 nanogram per liter, sedangkan kandungan parasetamol di Muara Angke tercatat lebih tinggi lagi, yakni berada di angka 610 nanogram per liter. Angka ini mengantarkan kedua teluk tersebut menjadi teluk dengan konsentrasi parasetamol lebih tinggi dari Brazil dan Portugal.
Hal ini dikhawatirkan berbagai pihak akan berpengaruh pada peternakan kerang di sekitar laut Jakarta. Belum lagi dampak jangka panjang yang belum diketahui, membuat pemerintah harus ekstra waspada. Sebab, pencemaran tersebut terkait dengan keselamatan lingkungan dan warga. Prof Zainal Arifin, salah seorang peneliti dari BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) mengatakan bahwa kemungkinan sumber pencemaran berasal dari tiga hal. Pertama, berasal dari pembuangan penduduk yang memakai parasetamol secara berlebihan, mengingat parasetamol adalah obat bebas tanpa resep dokter. Kedua, limbah rumah sakit. Ketiga, limbah produsen farmasi. Data yang diperoleh tim ini menunjukkan dua dari lima muara terdapat kandungan parasetamol, yakni Muara Sungai Ciliwung Ancol serta Muara Sungai Angke. (inet.detik.com, 3/10/2021)
Apa itu Pencemaran?
Pencemaran adalah peristiwa masuknya suatu zat atau benda asing pada air atau udara yang menyebabkan perubahan terhadap komponen aslinya, sedangkan menurut Yogi Ikhwan, Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, mengatakan segala sesuatu yang tidak berada di tempatnya, serta melebihi kadarnya disebut pencemaran. Begitu pula dengan parasetamol yang ada di Muara Ancol dan Angke.
Dampak dari pencemaran pun beragam, mulai dari rusaknya biota laut, penurunan kualitas air, hingga gangguan rantai makanan. Pemerintah pun telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang pencemaran laut yang tertuang dalam PP Nomor 19 tahun 1999. Karena pencemaran dianggap menjadi masalah genting yang harus mendapat penanganan segera. Namun, apakah kasus pencemaran menghilang meski telah dipayungi undang-undang?
Kasus Klasik
Banyaknya pencemaran lingkungan kerap terjadi di belahan wilayah Indonesia. Data yang diambil dari bps.go.id menyatakan jika pada tahun 2014 pencemaran air di Indonesia mencapai 8786 kasus, sedangkan pada tahun 2018 sebesar 16847 kasus. Kemudian pencemaran tanah pada tahun 2014 sebanyak 1301, lalu pada tahun 2018 sebesar 2200. Pun dengan pencemaran udara tahun 2014 mencapai 11998, dan tahun 2018 sebanyak 8882 kasus. Hingga saat ini, kasus pencemaran seringkali berulang. Kendurnya peraturan dinilai sebagai faktor utama yang menjadikan tangan-tangan nakal tidak pernah tobat untuk membuang limbah sembarangan. Hal ini diperparah dengan perilaku masyarakat yang membuang sampah serampangan. Aliran sungai bak tempat sampah berjalan, membawa pergi berkantong-kantong buangan. Begitu pula perilaku instansi, seperti rumah sakit, juga dinilai tidak lebih baik. Banyak obat yang telah kadaluarsa (B3) dilarung di sungai. Menambah pekat kandungan air dengan zat-zat tak dikenal.
Longgarnya aturan menjadi sumber petaka bagi lingkungan. Apalagi banyak daerah di Indonesia merupakan tempat industri. Perusahaan yang dibangun berdekatan dengan permukiman penduduk, menghasilkan limbah yang dapat mengubah kandungan air tanah dan sungai sekitar. Kandungan yang berbahaya, akan berefek domino terhadap lingkungan dan kesehatan. Air sumur yang diminum oleh warga akan terkontaminasi zat-zat tambahan, berakibat pada turunnya kualitas kesehatan. Bahkan jika aliran sungai yang tercemar digunakan sebagai pengairan lahan pertanian, peternakan ikan, dan bebek, bisa dibayangkan bahwa kesehatan masyarakat sungguh dalam keadaan terancam.
Namun sayangnya, pembenahan pemerintah seperti tak bertaji. Masih banyak perusahaan yang melanggar dan membuang limbah sembarangan. Hal ini dibuktikan dari data yang diambil dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHL), yang diwartakan oleh mediaindonesia.com (04/04/2020) menyatakan dari 2045 perusahaan industri hanya 200 yang mendapat predikat hijau emas, 1507 berpredikat biru, dan 303 perusahaan mendapat peringkat merah, serta 2 perusahaan berpredikat hitam. Sedangkan terdapat 13 perusahaan masih menjalani proses hukum, 20 sisanya telah gulung tikar. Predikat hijau emas disematkan pada perusahaan yang mampu melebihi syarat yang diajukan pemerintah. Sedangkan predikat biru mampu menjaga kualitas lingkungan sesuai dengan perundangan yang berlaku. Kemudian merah adalah predikat yang diberikan pada perusahaan yang belum memenuhi standar pengelolaan lingkungan sesuai peraturan. Dan terakhir adalah hitam, diberikan pada perusahaan yang dengan sengaja atau lalai dalam pengelolaan lingkungan hingga menimbulkan kerusakan.
Kebijakan pemerintah haruslah tegas dalam permasalahan limbah, selain alasan keamanan dan kesehatan, juga menjaga wibawa pemerintah di mata perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Sikap longgar ini mampu mengundang berbagai kejahatan seperti suap, korupsi, dan penggelapan dana yang akan merugikan tak hanya negara, tapi juga seluruh rakyat Indonesia. Inilah gambaran singkat perlunya aturan ketat dalam pengelolaan limbah, namun kenyataannya aturan singset untuk pengusaha di negara kapitalis rupanya hanya angan belaka. Faktanya kebijakan negara lebih merunduk pada pengusaha.
Aturan Islam dalam Menjaga Lingkungan
Allah Swt. menciptakan bumi dan seisinya bertujuan untuk menjadi sumber penghidupan bagi manusia. Allah pun memerintahkan manusia untuk menjaga kelestarian alam, dalam surah Al-A'raf ayat 85 yang berbunyi, "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaiknya, yang demikian itu lebih baik bagimu, jika betul-betul kamu orang yang beriman."
Maka segala aspek dalam kehidupan haruslah sesuai dengan perintah Allah, tak terkecuali dalam berindustri. Islam akan mendorong pertumbuhan industri untuk kemaslahatan umat. Namun untuk memenuhi seruan Syara', negara akan membuat mekanisme melindungi lingkungan dari bahaya berbagai polutan. Jika limbah berasal dari buangan rumah tangga, maka akan dicari penyebab masyarakat membuang limbah sembarangan. Kemudian disediakan tempat yang baik untuk pembuangan sesuai dengan jenis sampahnya. Pun dengan limbah instansi, seperti rumah sakit yang sering kedapatan membuang limbah sembarangan, akan disediakan tempat pembuangan. Begitu pula dengan perusahaan, limbah yang terbuang harus dipastikan tidak mencemari lingkungan. Perusahaan dituntut agar mengelola limbahnya dengan benar.
Andai dengan fasilitas pembuangan yang disediakan masih ada yang melanggar, maka sanksi akan diberikan karena telah membahayakan alam dan manusia. Sanksi akan diputuskan oleh Qadhi atau Khalifah. Karena sesungguhnya, manusialah yang bertanggung jawab atas segala kerusakan yang ada di bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. Dalam surah Ar-Rum ayat 41, yang menyatakan jika dari tangan manusialah kerusakan di darat dan di laut terjadi. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah sistem yang mampu merawat bumi beserta makhluk di dalamnya. Sistem tersebut haruslah dari Sang Pencipta alam semesta, yakni Khilafah. Allahu a'lam bis-showwab.[]