"Ada indikasi peluang masuknya pihak swasta untuk mengelola Blok Wabu. Munculnya kebijakan memberikan peluang kepada pihak swasta ini justru dapat merugikan BUMN dan rakyat. Karena seharusnya yang menikmati hasil dari eksploitasi SDA di Blok Wabu adalah rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir orang."
Oleh. Diyani Aqorib S.Si.
NarasiPost.Com-Indonesia dikenal sebagai negeri zamrud khatulistiwa. Sebutan ini tidak terlepas dari melimpahnya sumber daya alam yang terkandung di darat maupun laut negeri ini. Berbagai sumber daya alam mulai dari emas, tembaga, batu bara, minyak bumi, dan masih banyak lagi tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu wilayah yang memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah adalah Provinsi Papua.
Sudah jamak diketahui bahwa provinsi yang terletak di bagian paling timur Indonesia ini merupakan wilayah penghasil emas terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, baik yang sudah dieksplorasi dan dieksploitasi maupun yang masih tahap pendataan secara teknografik. Banyak yang belum mengetahui bahwa terdapat gunung emas bernama Blok Wabu di Papua. Blok Wabu merupakan bekas lahan tambang PT. Freeport Indonesia yang telah dikembalikan hak pengelolaannya kepada pemerintah Indonesia.
Blok Wabu itu sendiri terletak di Kabupaten Intan Jaya, bersebelahan dengan Pegunungan Grasberg Kabupaten Mimika, wilayah Tembagapura, Papua. Sedangkan Pegunungan Grasberg merupakan pusat eksploitasi sumber daya alam terutama emas dari PT.Freeport Indonesia.
Berdasarkan hasil eksplorasi yang telah dilakukan PT.Freeport Indonesia bahwa Blok Wabu memiliki sumber daya emas yang sangat besar. Sekitar 117 juta ton dengan rata-rata 2,16 gram per ton emas dan 1,76 gram per ton perak. Sehingga total sumber daya yang terkandung di dalamnya diperkirakan mencapai 8,1 juta troy ons emas. Bila diasumsikan dengan nilai rupiah maka senilai dengan Rp300 triliun. (cnbcindonesia.com, 12/9/2021)
Perizinan Eksploitasi SDA di Papua
Terjadinya eksploitasi sumber daya alam (SDA) di Papua dimulai ketika terjadi kesepakatan kontrak karya pertama PT. Freeport Indonesia (PTFI) pada tahun 1967. Izin kontrak karya tersebut mengizinkan PTFI untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi barang tambang di Pegunungan Grasberg, Papua selama 30 tahun. Lalu diperpanjang kembali pada tahun 1991 sampai berakhir di tahun 2021. Serta memiliki kesempatan untuk diperpanjang kembali selama 20 tahun ke depan sampai 2041.
Sedangkan Blok Wabu adalah kontrak karya kedua PTFI yang disepakati pada tahun 1991. Namun, sehubungan dengan adanya Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara (Minerba), yang mengatur luas wilayah pemegang izin usaha pertambangan operasi produksi mineral yaitu maksimal 25.000 hektare, maka PTFI harus memperkecil luas wilayah operasi tambangnya yang pada saat itu mencapai 212.950 hektare. Akhirnya Blok Wabu dikembalikan ke pemerintah Indonesia sesuai kesepakatan.
Langkah ini sebenarnya sudah benar dengan menyerahkan pengelolaan Blok Wabu kepada BUMN, yang salah satunya adalah BUMN PT.Aneka Tambang (Antam). Sehingga seharusnya hasil dari eksploitasi atau pengelolaan SDA di sana dapat dikembalikan kepada rakyat. Dengan begitu, rakyat dapat merasakan hasil dari kekayaan alam negeri ini.
Namun, permasalahannya ada indikasi peluang masuknya pihak swasta untuk mengelola Blok Wabu. Munculnya kebijakan memberikan peluang kepada pihak swasta ini justru dapat merugikan BUMN dan rakyat. Karena seharusnya yang menikmati hasil dari eksploitasi SDA di Blok Wabu adalah rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir orang.
Hal ini didasarkan pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan pada kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Pelepasan wilayah izin usaha pertambangan mineral logam termasuk mineral turunannyadilakukan dengan lelang. Perusahaan yang memenangkan lelang akan memperolah izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi. Sehingga peluang pihak swasta masuk sebagai salah satu bagian dari pengelola SDA di negeri ini semakin besar.
Ditambah lagi fakta dengan adanya UU Minerba No.3 Tahun 2020 yang merupakan revisi UU Minerba No.4 Tahun 2009 yang sangat kontroversial. Dimana terdapat aturan-aturan yang dapat merugikan rakyat. Di antaranya:
- Masyarakat tidak bisa lagi mengajukan protes kepada pemerintah daerah.
- Perusahaan tambang masih bisa beroperasi meskipun terbukti merusak lingkungan.
- Risiko dipolisikan apabila menolak perusahaan tambang.
- Perusahaan tambang bisa mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, bahkan mendapat jaminan royalti 0%.
Semua fakta-fakta di atas terjadi akibat sistem ekonomi liberal yang diterapkan di negeri ini yang merupakan salah satu pilar tegaknya kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme terdapat empat kebebasan yang menopangnya. Salah satunya adalah kebebasan kepemilikan. Dengan kebebasan ini seorang individu bebas memiliki apa pun selama dia mampu. Maka, hal inilah yang memunculkan sistem ekonomi liberal. Dimana seorang individu ataupun perusahaan korporasi dibolehkan menguasai SDA di suatu negeri.
Mereka bekerja sama dengan para pemangku jabatan atas dasar simbiosis mutualisme, yaitu hubungan saling menguntungkan demi kekayaan pribadi dan kekuasaan. Dari sini, timbullah kebijakan-kebijakan yang memudahkan para pengusaha kapitalis ini untuk mengeruk dan menguasai SDA yang ada. Tanpa memedulikan imbas dari kebijakan-kebijakan yang mereka buat terhadap kesejahteraan rakyat.
Inilah gambaran ketidakadilan dalam sistem kapitalisme. Rakyat hanya bisa gigit jari di tengah melimpah ruahnya SDA di negeri ini. Sedangkan para pengusaha kapitalis mendapatkan banyak kemudahan dan keuntungan. Lantas, bagaimana pengelolaan SDA yang benar dan adil yang hanya terdapat dalam sistem Islam?
Pengelolaan SDA dalam Islam
Dalam Islam terdapat pilar-pilar ekonomi Islam, yaitu kepemilikan, pengelolaan atau pemanfaatan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia. Berkaitan dengan kepemilikan, terdapat tiga jenis kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Maka, berbagai macam SDA termasuk tambang emas, batu bara, nikel dan lain-lain adalah jenis kepemilikan umum. Artinya kekayaan SDA ini harus dieksplorasi dan dieksploitasi lalu hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Sebab kekayaan alam tersebut adalah milik rakyat, sementara negara hanya memiliki otoritas mengembangkan dan mengelolanya saja. Hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, serta untuk membiayai fasilitas-fasilitas umum yang dapat dinikmati oleh rakyat, seperti rumah sakit, sekolah-sekolah, transportasi umum yang semuanya bebas biaya alias gratis.
Maka, kekayaan SDA yang ada di Blok Wabu tidak boleh dimiliki oleh individu ataupun swasta. Karena itu adalah milik rakyat yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat. Dengan begitu, semua warga negara bisa menikmati hasil kekayaan alam negeri ini, terutama rakyat Papua itu sendiri. Apabila tercipta kesejahteraan dan keadilan, maka kondisi tersebut dapat meminimalisasi bahkan menghilangkan konflik bersenjata di Papua.
Inilah solusi tuntas pengelolaan SDA dalam Islam. Kekayaan SDA di Blok Wabu dan di mana pun di seluruh wilayah negeri ini bila dikelola dengan benar menurut aturan Islam, maka akan tercipta keadilan, kemakmuran, dan keberkahan dari Allah Azza wa Jalla.[]
Semoga tercipta keadilan Dan kemakmuran