"Pengangkatan guru honorer dengan program PPPK menegaskan buruknya sistem hari ini dalam menyediakan layanan pendidikan bagi rakyat. Kesejahteraan yang mereka harapkan hanya sebuah ironi. Visi misi pendidikan yang seharusnya murni untuk mencerdaskan generasi, seolah tidak pernah ada. Malah bisa jadi, dengan perhatian dan gaji yang minim akhirnya membuat para guru ini ada yang tidak maksimal dalam mendidik siswa siswinya.
Oleh: Ummu Ainyssa
NarasiPost.Com-Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, ungkapan tersebut tidaklah menjadi hal yang asing lagi di telinga kita. Bukan berarti mereka para guru tidak berjasa, tetapi justru karena besarnya jasa yang mereka berikan terkadang tidak bisa kita balas, atau bahkan sering tidak mendapatkan perhatian.
Mereka telah mencurahkan tenaga dan pikiran mereka untuk mendidik para siswa siswinya, namun seringkali usaha yang mereka lakukan tidak dihargai oleh pemerintah. Misalnya saja gaji yang mereka terima tidak sebanding dengan usaha yang mereka lakukan. Bahkan terkadang mereka masih harus mencari kerja sampingan untuk bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Seperti yang dialami oleh beberapa guru honorer di negeri ini.
Tahun ini pemerintah seolah memberikan secercah harapan kepada mereka. Adanya program untuk mengangkat guru honorer menjadi ASN melalui seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) seolah menjadi solusi untuk mengubah nasib mereka. Perekrutan satu juta guru melalui seleksi PPPK ini dianggap sebagai angin segar, harapan baru untuk para guru honorer untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik lagi. Realitanya, kebijakan ini hanya memupus harapan dari sebagian mereka, seleksi PPPK ini masih menyisakan berbagai kisah.
Cerita tentang mereka para guru honorer pun selalu menarik perhatian publik. Terlebih jika guru tersebut sudah berusia senja dan telah lama mengabdi. Seperti yang dialami oleh salah seorang guru honorer berusia 57 tahun yang tidak lolos tes seleksi PPPK baru-baru ini. Kisahnya viral setelah Novi Khassifa, seorang perempuan yang mengaku sebagai pengawas ruang PPPK TUK SMKN 1 Praya, Nusa Tenggara Barat menulis kisah pilu guru honorer tersebut melalui surat terbuka yang ia tulis untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim.
Novi mengawali tulisannya dengan mengisahkan sepasang sepatu tua yang lusuh yang digunakan sang pemiliknya saat mengikuti tes seleksi PPPK. Sepatu itu ia ceritakan sebagai bukti bagaimana sang pemilik yang juga guru honorer tersebut telah mengabdi selama bertahun-tahun, namun ia harus menanggung rasa kecewa karena ia tidak lolos saat harus bersaing dengan guru-guru honorer yang lebih muda darinya. Novi berharap dengan ditulisnya surat ini, Pak Nadiem akan lebih memperhatikan guru-guru yang telah lama mengabdi, khususnya mereka yang mengajar di daerah-daerah pelosok.
Masalah ini pun mendapat tanggapan dari Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat, Irwan Fecho. Ia beranggapan bahwa pengangkatan guru honorer menjadi ASN PPPK tidak perlu melalui seleksi seperti ini. Menurutnya, seharusnya pengangkatan ini dilakukan berdasarkan masa pengabdian mereka selama ini saja. Sehingga bagi mereka yang masa pengabdiannya sudah cukup lama, tidak perlu mengikuti proses seleksi lagi. Ia juga mempertanyakan kepedulian Nadiem Makarim terhadap guru honorer yang gagal mencapai passing grade atau ambang batas yang tinggi dalam tes PPPK guru 2021, sementara mereka telah mengabdi cukup lama.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, saat ini terdapat 3.357.935 guru yang mengajar di 434.483 sekolah. Sementara jumlah siswa mencapai 52.539.935. Ini artinya rasio rata-rata perbandingan antara guru dan siswa adalah 1:16. Ditinjau dari status kepegawaian, jelaslah peran signifikan guru honorer. Mayoritas mereka adalah guru honorer. Saat ini guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) baru 1.607.480 (47,8 persen), sedangkan sisanya merupakan guru honorer, yakni 62,2 persen.
Jika merujuk data di atas, maka seharusnya negeri ini masih sangat membutuhkan banyak guru untuk mendidik siswa siswinya agar menjadi generasi yang berkualitas. Sudah selayaknya negara membuka penerimaan guru ASN tanpa ada seleksi apa-apa.
Beginilah sistem pendidikan dalam sistem kapitalisme. Pengangkatan guru honorer dengan program PPPK menegaskan buruknya sistem hari ini dalam menyediakan layanan pendidikan bagi rakyat. Kesejahteraan yang mereka harapkan hanya sebuah ironi. Visi misi pendidikan yang seharusnya murni untuk mencerdaskan generasi, seolah tidak pernah ada. Malah bisa jadi, dengan perhatian dan gaji yang minim akhirnya membuat para guru ini ada yang tidak maksimal dalam mendidik siswa siswinya.
Hal ini berkebalikan dengan sistem di dalam Islam yang menempatkan pendidikan sebagai hak dasar publik. Sistem Islam juga memiliki sistem politik-ekonomi yang mendukung pembiayaan pendidikan secara maksimal, memfasilitasi pendidikan dengan jumlah guru yang memadai dan berkualitas, serta membiayai kebutuhan pendidikan termasuk dengan menempatkan guru sebagai sosok yang terhormat dan menggajinya secara layak.
Pada masa Panglima Sholahuddin Al Ayyubi Rahimahullah, guru begitu dihormati dan dimuliakan. Ia pernah menggaji guru di Madrasah Al-Shalahiyyah setiap bulannya dengan gaji 50 dinar (jika 1 dinar hari ini setara Rp3.200.000,00 maka setara dengan Rp160.000.000,00, dengan perhitungan emas 800 ribu per gram) untuk mengawasi waqaf madrasah. Selain itu guru juga diberi 60 liter roti setiap harinya dan air minum segar dari Sungai Nil.
Rasulullah saw pernah mengabarkan kemuliaan seorang guru di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa Allah dan para Malaikat serta semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai semut yang ada di liangnya dan juga ikan besar, semuanya bersholawat kepada Muallim yaitu orang yang mempunyai ilmu dan mengajarkannya, atau orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.
Maka, sudah sepantasnya kita memuliakan mereka para guru karena mereka adalah orang yang dikaruniai ilmu oleh Allah Swt yang dengan ilmunya itu dia akan menjadi perantara manusia yang lain untuk mendapatkan ilmu serta menuju kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Selain itu, guru tidak hanya bertugas mentransfer ilmunya saja, tetapi juga mendidik dan membina muridnya agar menjadi manusia yang berkepribadian islami. Sehingga sebagai orang yang mengemban tugas yang mulia, tentunya guru harus bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya, tidak sebatas rutinitasmengajar dan mendidik muridnya.
Bukan hanya negara, tetapi orang tua pun juga wajib memuliakan guru dari anak-anaknya. Rida Allah tergantung pada rida orang tua, jika orang tua rida dan memuliakan guru dari anak-anaknya, Allah pun akan rida, sehingga ilmu yang diperoleh oleh anaknya pun mudah diterima dan menjadi berkah. Keberkahan pun bisa mengalir kepada mereka para orang tua.
Demikianlah seharusnya seorang muslim dalam memuliakan para guru, apalagi jika ia sedang atau pernah berguru langsung kepadanya. Begitu juga negara yang wajib menampilkan sikap memuliakan (ikram), hormat (takzim) dan bila perlu melayani keperluannya (khidmat), bukan sekadar memberikan ucapan basa-basi, sementara di satu sisi tidak mempedulikannya. Dan semua ini hanya bisa terwujud dalam negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah.[]