Pemilu langsung sudah seperti industri dalam demokrasi bangsa ini. Biaya yang jumbo akan sangat rawan menyebabkan penyalahgunaan anggaran. Belum lagi jika ditambahkan dengan modal pemilu milik partai politik dan capres, pemilu langsung hanya akan jadi ajang adu kuat dan modal politik yang sumbernya berasal dari cukong dan oligarki.
Oleh. Ni’mah Fadeli
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
NarasiPost.Com-Indonesia akan melangsungkan pemilihan umum (Pemilu) pada tahun 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara telah menganggarkan dana sebesar Rp86 triliun untuk Pemilu dan Rp26,2 triliun untuk pilkada serentak. Anggaran dana ini dinilai Wakil Ketua Komisi II DPR, Junimart Girsang terlalu besar. Menurutnya, anggaran dana pemilu dan pilkada yang lebih dari Rp100 triliun itu sangat berlebihan apalagi di masa pandemi seperti sekarang (www.beritasatu.com, 23/09/2021).
Sementara itu, Wakil Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin menilai perlunya meninjau kembali sistem pemilu yang boros dan cenderung menyebabkan kerentanan sosial seperti ini. Menurutnya pemilu langsung sudah seperti industri dalam demokrasi bangsa ini. Biaya yang jumbo akan sangat rawan menyebabkan penyalahgunaan anggaran. Belum lagi jika ditambahkan dengan modal pemilu milik partai politik dan capres, pemilu langsung hanya akan jadi ajang adu kuat dan modal politik yang sumbernya berasal dari cukong dan oligarki. Apalagi sebagai negara berkembang, angka ratusan triliun untuk sebuah pemilu tentu terlalu mubazir. (Republika.co.id, 19/09/2021).
Pemilu adalah mekanisme yang biasa dilakukan dalam sistem perwakilan demokrasi. Dalam sebuah negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu pilar utama dari proses akumulasi kehendak masyarakat. Pemilu dipandang adil karena seluruh rakyat dilibatkan secara langsung. Faktanya, selama ini pemilu menjadi ajang untuk melanggengkan kekuasaan dalam sistem demokrasi.
Betapa banyak contoh penguasa yang “menjadikan” anak, menantu atau keponakannya sebagai penguasa demi keberlanjutan kekuasaan mereka yang telah habis masanya. Pemilu menjadi ajang kekuatan untuk melakukan pencitraan dan menunjukkan kemampuan membeli suara. Para pemburu kekuasaan dan mereka yang berkepentingan siap membayar berapapun demi keuntungan besar yang ingin diraihnya. Menyebarkan hoax, money politics, pembunuhan karakater adalah hal yang wajar terjadi ketika pesta demokrasi tersebut diselenggarakan.
Lantas apa yang didapat rakyat ? Tak lebih hanyalah janji manis yang menguap entah kemana. Harapan tetaplah harapan tanpa pernah terwujud. Rakyat pun harus siap menerima kebijakan yang sangat tidak pro rakyat karena jargon “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” yang digaungkan sejatinya hanyalah pepesan kosong. Rakyat tentu kalah dibanding mereka yang memiliki modal tinggi sehingga dapat menguasai negeri.
Demokrasi berdiri di atas asas sekularisme dan kebebasan. Sistem kapitalis yang mendasarinya tak memiliki aturan baku tentang mana yang benar dan mana yang salah. Semuanya diukur dari kemanfaatan materi yang diperoleh. Siapa yang memiliki kekuatan cuan maka dia akan berjaya. Maka sangat sulit mengharapkan demokrasi akan membawa kebaikan karena yang kerap terjadi adalah percampuran kebenaran dan kebatilan juga praktik menghalalkan segala cara demi kepentingan yang ingin dicapai. Pemilu hanya jadi ajang menghabiskan dana negara yang tentu sekali lagi menambah kezaliman yang harus dirasakan rakyat.
Islam sebagai sistem politik yang unggul tidak membutuhkan dana fantastis dalam mekanisme pemilihan pemimpin. Metode baku pemilihan pemimpin dalam Islam adalah baiat syar’i. Seorang calon pemimpin akan dibaiat jika mendapat dukungan rakyat. Dukungan dari rakyat ini tak harus berupa pemilu langsung yang akan menghabiskan dana negara. Keterlibatan rakyat hanya fokus pada pemilihan khalifah dan majelis umat, sedangkan pemilihan pejabat dan kepala negara merupakan mutlak kewenangan khalifah. Dengan demikian, tak dibutuhkan biaya mahal untuk pilkada.
Kedudukan pemimpin dalam Islam juga tak lebih mulia dari rakyat yang dipimpinnya. Baik rakyat maupun pemimpin sama-sama terikat pada syariat yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Pemimpin wajib menjaga rakyat, menfasilitasi segala kebutuhannya, berlaku adil serta selalu menerapkan segala syariat Islam dalam setiap kebijakan yang diambilnya. Sementara rakyat wajib taat pada pemimpin dan mengoreksi jika sekiranya pemimpin mereka telah melakukan penyimpangan dari syariat Islam.
Allah subhanaallahu wa ta’ala berfiman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al ‘raf: 96).
Negeri yang damai, sejahtera, dan penuh berkah akan dapat tercipta ketika seluruh penduduk negeri hanya bersandar pada Sang Khalik, Allah subhanallahu wa ta’ala. Baik rakyat maupun pemimpin menyadari akan berakhir kemana kehidupan dunia ini, sehingga tak mengharap apapun selain rida-Nya. Rakyat tak lagi dijadikan alat demi meraih kekuasaan dalam sebuah industri bernama demokrasi karena pemimpin dalam Islam tak berorientasi pada materi. Semuanya dapat tercapai ketika negara sudah menerapkan syariat Islam secara lengkap dan sempurna.
Wallahu a’lam bishawwab.[]