"Islam tak melarang untuk kaya, karena kaya dan miskin sama-sama akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti. Islam melarang menimbun harta (kanzul maal), dari Ma ' mar ia berkata, Rasul saw. bersabda: "Barang siapa yang menimbun barang, maka ia bersalah (berdosa)." (HR Muslim)"
Oleh: Sherly Agustina, M.Ag
(Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik)
NarasiPost.Com-Allah mencela hamba-Nya yang menumpuk (menimbun) harta. Di antara firman-Nya yaitu di dalam surat At Taubah: 34-35:
"Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”
Pandemi dan krisis yang terjadi membuat rakyat gigit jari, namun ternyata tidak bagi pejabat negeri ini. Dilansir dari Merdeka.com, dari hasil laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang diterima, KPK mencatat sebanyak 70,3 persen penyelenggara negara mengalami kenaikan harta kekayaan selama pandemi Covid-19. Bahkan mencapai di atas 1 miliar, mulai dari jajaran menteri hingga DPRD. (Merdeka.com, 9/9/21)
Utang negara kian meningkat, pajak semakin mencekik rakyat dan angka kemiskinan pun meningkat. Bahkan, rakyat hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja dalam kondisi terhimpit kesulitan saat ini. Rakyat butuh empati dan bantuan dari pejabat negeri, namun itu hanyalah mimpi. Kenyataannya, pemilik harta yang banyak itu tidak memihak kepada rakyat sama sekali.
Ketika Pengusaha menjadi Penguasa dalam Sistem Kapitalisme
Ke mana rakyat mengadukan semua kesulitannya, jika mereka yang diamanahi mewakili rakyat saja tak peduli? Para pejabat setelah mendapat jabatan, bukan menjalankan amanah tapi sibuk memperkaya diri dan menumpuk harta. Kapitalisme memfasilitasi manusia agar semakin rakus tehadap harta dan dunia. Buktinya, harta kekayaan pejabat sebelum dan setelah menjabat melesat dengan cepat.
Sementara di sisi lain, rakyat semakin terjepit dan sekarat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah warga miskin di Indonesia pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang (tirto.id, 13/9/21). Meningkatnya angka kemiskinan karena kebijakan pandemi yang tak tegas di awal, maka upaya untuk memulihkan kondisi ini memerlukan waktu yang cukup lama, begitu menurut peneliti. Berdasarkan data BPS, kategori miskin yaitu yang pengeluarannya di bawah Rp460 ribu per orang atau Rp2,2 juta per keluarga per bulan.
Banyak yang bertanya, apa penyebab harta kekayaan para pejabat meningkat selama pandemi? Padahal, kondisi rakyat berbanding terbalik dengan kondisi para pejabat. Penguasa di negeri ini plus sebagai pengusaha menjadi salah satu penyebab harta terus meroket. Pertanyaannya, bisnis apa yang dijalankan selama pandemi dan di tengah krisis saat ini, sehingga harta bisa naik tajam?
Jika bisnis yang dilakukan wajar dan bagian dari usaha yang selama ini dijalankan, maka publik tak heran. Begitu juga jika kenaikan harta tidak meroket drastis. Namun, apabila usaha yang dilakukan adalah menjadikan lahan basah bisnis atas penanganan Covid-19 di antaranya vaksin, alat kesehatan, tes PCR, maka tindakan ini tidak dibenarkan. Bagaimana bisa, pejabat yang menjadi wakil rakyat mengambil untung di balik penderitaan yang mendera rakyat.
Tak dapat dimungkiri jika penguasa merangkap pengusaha ditambah sistem Kapitalisme yang serakah memberi jalan, hal ini bisa terjadi. Pejabat dalam kapitalisme ketika mendapatkan jabatan sibuk memikirkan balik modal. Karena pengorbanan dana yang telah dikeluarkan oleh mereka selama kampanye dan pemilu tidak sedikit.
Ketika pun para pejabat menjadi wakil rakyat, maka dipertanyakan mewakili rakyat yang mana? Apakah segelintir rakyat para pengusaha yang sudah banyak membantu menggelontorkan dana selama kampanye dan pemilu? Padahal, suara rakyat kecil telah mereka ambil ketika pemilu. Mereka pun bersumpah ketika menjabat akan menjadi wakil rakyat yang baik. Nyatanya, sistem demokrasi-kapitalisme telah merusak hubungan antara rakyat dan penguasa. Sehingga penguasa sibuk dengan dirinya sendiri, bukan sibuk memikirkan rakyat. Apalagi kondisi pandemi dan krisis saat ini, rakyat bawah menjerit karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sulit, sementara pejabat kekayaannya melangit. Kapitalisme juga menjadi penyebab kesenjangan yang nyata antara si kaya dan si miskin.
Islam Satu-satunya Sistem yang Mampu Mewujudkan Keseimbangan Ekonomi
Jauh berbeda dengan Islam, penguasa benar-benar mengurus urusan rakyat mulai dari terpenuhinya kebutuhan pokok hingga kolektif. Penguasa sibuk mengurus rakyat, bukan memperkaya diri di atas penderitaan rakyat. Hanya dorongan keimanan ketika menjalankan amanah sebagai penguasa. Sadar, bahwa amanah sebagai penguasa akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Jika ada kekayaan di jajaran pemerintahan yang meroket drastis, maka akan segera diusut. Apakah kenaikannya hal yang wajar atau tidak wajar. Kalau terbukti kenaikannya tidak wajar, maka pilihannya adalah amanah yang diemban oleh orang tersebut digantikan oleh orang lain untuk menghindari kembali hal-hal yang tak diinginkan. Kemudian pejabat tersebut diingatkan agar terikat hukum syariah.
Pejabat pemerintahan dalam Islam fokus mengurus rakyat. Negara fokus menjamin segala kebutuhan rakyat, barang dan jasa diupayakan agar bisa terdistribusi dengan merata, sehingga kesenjangan dapat tersolusi oleh sistem ekonomi Islam. Dengan begitu, keseimbangan ekonomi dapat terwujud dengan baik. Allah Swt. berfirman dalam surat Al Hasyr ayat 7: "Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Islam memiliki konsep yang jelas tentang ekonomi, agar semua rakyat per kepala terpenuhi kebutuhan pokoknya. Sehingga, harta tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja. Islam tak melarang untuk kaya, karena kaya dan miskin sama-sama akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti. Islam melarang menimbun harta (kanzul maal), dari Ma ' mar ia berkata, Rasul saw. bersabda: "Barang siapa yang menimbun barang, maka ia bersalah (berdosa)." (HR Muslim)
Setiap kepala dijamin kebutuhan pokok dan kolektifnya agar merasakan kesejahteraan. Kerena keimananlah menjadi pengontrol kehidupan. Negara di dalam Islam mewujudkan keseimbangan agar tidak terjadi kesenjangan, sehingga praktik menimbun harta sangat kecil kemungkinan terjadinya. Sadar bahwa menumpuk atau menimbun harta dilarang dan di akhirat akan dihisab. Hanya Islam satu-satunya sistem yang menjaga manusia dari perbuatan dosa. Betapa Islam menginginkan berjalannya manusia di atas rel yang benar agar ketenangan dapat dirasakan. Islam pun mengondisikan manusia sibuk mempersiapkan bekal untuk 'pulang' ke kampung akhirat. Rindu Islam diterapkan? Mari menjadi bagian para pejuang di dalamnya.
Allahua'lam bishshawab.[]